JEJAK RUHANI DI PANGGUNG KEKUASAAN: SUFISME POLITIK DARI SAMARKAND KE NUSANTARA

Sufisme politik

April 21, 2025 - 09:51
April 23, 2025 - 09:52
JEJAK RUHANI DI PANGGUNG KEKUASAAN: SUFISME POLITIK DARI SAMARKAND KE NUSANTARA
foto:tebuireng.online

TULISAN ini terinspirasi oleh Resume Amanah Mudir Idarah 'Aliyah JATMAN (yang asli) hasil Konggres Luar Biasa JATMAN NU 2024, Prof. Dr. KH. Ali Masykur Musa pada acara Halal Bihalal di Pendopo Agung Wedya Graha Kabupaten Ngawi pada Rabu Pon, 16 April 2025. Amanah dan kebijaksanaan yang terdiri atas 9 poin ini saya menyebutnya sebagai 'Nawa Mustika' Jatman NU.

BAB I. Apa Itu Sufisme Politik?

(Sebagai pembuka, bab ini akan menjadi dasar pemahaman tentang apa itu sufisme politik, dan kenapa ia penting dalam konteks kekuasaan yang bernafasakan tauhid, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan)

Oleh: Abdur Rahman El Syarif

"Dalam dunia yang terus berubah, nilai-nilai sufi tetap menawarkan jawaban bahwa kekuasaan harus dibimbing oleh jiwa yang jernih, bukan oleh ambisi yang buta." (El Syarif 2025) Sufisme atau tasawuf, biasa dipahami sebagai jalan sunyi menuju Tuhan. Ia adalah upaya penyucian diri, perjalanan ruhani yang menolak keserakahan dunia. Di balik zikir yang hening dan sajadah yang lusuh, seringkali kita bayangkan seorang sufi duduk terpencil dalam gua, surau, atau zawiyah, menjauh dari hingar bingar kekuasaan. Tapi sejarah mencatat kisah yang jauh lebih kompleks.

Sufisme tidak selalu berarti menjauhi dunia. Dalam banyak lintasan sejarah Islam, para sufi tidak hanya bertapa, mereka juga membentuk masyarakat, menggerakkan massa, bahkan mengatur negara. Ketika para penguasa bersaing memperebutkan takhta dengan pedang, para sufi menyusup lewat nasihat, doa, dan jaringan spiritual. Maka lahirlah istilah yang kini mulai dikenal dengan Sufisme Politik.

Sufisme Politik adalah ekspresi keterlibatan spiritual dalam ranah kekuasaan. Ia bukan bentuk politik praktis seperti partai, tetapi pengaruh moral dan sosial yang mendalam terhadap sistem pemerintahan. Dalam konteks ini, sufi bukan oposisi terhadap negara, tapi ruh bagi negara.

Para sufi mendekati penguasa bukan untuk meraih kekuasaan, tapi untuk mengarahkan kekuasaan agar tunduk pada nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kasih sayang. Dalam beberapa kasus, mereka menjadi penasihat sultan, mediator konflik antar bangsawan, atau bahkan penggerak rakyat saat kekuasaan tiran menguasai.

Dalam sejarah Islam, para sufi mampu masuk ke ruang-ruang kekuasaan karena tiga kekuatan utama, yakni karisma ruhani, jaringan transnasional tarekat, dan krisis kepemimpinan moral. Berikut uraian masing-masing dengan contoh konkret berbasis sejarah.

1. Kekuatan Kharisma Ruhani Seorang mursyid tarekat dihormati karena ketakwaannya, dan pengikutnya siap patuh lahir batin. Ini menciptakan pengaruh sosial yang besar, melebihi pemimpin politik biasa.

Seorang sufi tidak memimpin lewat gelar atau keturunan bangsawan, melainkan melalui reputasi spiritualnya. Karisma ini seringkali lebih kuat daripada legitimasi formal kekuasaan.

Khoja Ahrar (w. 1490), adalah seorang mursyid besar Thariqah Naqsyabandiyah dan masyhur dari Asia Tengah pada Era Dinasti Timuriyah. Dia tidak memegang jabatan pemerintahan apapun, tetapi disegani oleh para penguasa. Ia memiliki ribuan pengikut, lahan-lahan pertanian, dan madrasah, yang menjadikannya tokoh paling berpengaruh di Samarkand dan Bukhara.

Ketika Abu Sa’id Mirza, cucu Timur, bertarung memperebutkan takhta, Khoja Ahrar memberikan dukungan militer dan moral, yang menjadi penentu kemenangan politik sang penguasa. Tapi ia tetap menolak jabatan apa pun. Ia hanya meminta agar syariat ditegakkan, dan kemaslahatan umat diutamakan.

Kharisma ruhani semacam ini menjadikan para sufi sebagai poros kekuatan sosial-politik, yang sering lebih dipercaya rakyat daripada elit resmi.

2. Jaringan Tarekat yang Melampaui Batas Negara

Para sufi sering membangun jaringan dari kota ke kota, wilayah ke wilayah, yang melintasi batas kerajaan. Ini memberi mereka kekuatan mobilisasi dan diplomasi spiritual.

Tarekat bersifat transnasional. Ia tidak terikat oleh batas kerajaan atau etnis, dan karena itu mampu menyebarkan pengaruh lintas wilayah dan bahkan lintas peradaban.

Syekh Ahmad Sirhindi (w. 1624) di India pada masa Dinasti Mughal, sebagai tokoh besar Naqsyabandiyah-Mujaddidiyah, Sirhindi mengkritik kecenderungan sinkretik di istana Mughal yang mengaburkan batas Islam dan Hindu. Ia menulis ratusan surat kepada pejabat-pejabat penting dan membentuk jejaring tarekat yang luas dari Delhi hingga Asia Tengah.

Walaupun pernah dipenjara, pengaruhnya tak bisa dibendung. Murid-muridnya kelak menyebar ke wilayah Turki Utsmani, Afghanistan, dan Asia Tenggara. Tarekat ini kemudian diteruskan oleh Syekh Abd al-Rauf Singkel di Aceh, yang membawa semangat pembaruan spiritual dan sosial-politik di Nusantara.

Jaringan ini adalah “kekuatan hakiki sebuah negara", lembut, sunyi, tapi kuat menembus batas geografis dan ideologis.

3. Krisis Kepemimpinan Moral

Ketika penguasa kehilangan legitimasi moral, para sufilah yang mengisi ruang kosong itu, menjadi cermin hati nurani rakyat. Saat penguasa kehilangan legitimasi moral karena tirani, korupsi, atau hedonisme, masyarakat akan mencari figur alternatif dan para sufilah yang sering mengisi ruang kosong itu.

Tuanku Imam Bonjol (w. 1864) dari Sumatera Barat pada masa penjajahan Belanda. Di tengah kegagalan elite adat dan bangsawan Minangkabau dalam menghadapi pengaruh kolonial Belanda, muncul gerakan Padri yang dipimpin oleh para ulama tarekat, termasuk Imam Bonjol, yang berangkat dari tradisi Naqsyabandiyah.

Ia menyerukan reformasi moral, keadilan sosial, dan perlawanan terhadap penjajahan, bukan dengan mengatasnamakan suku atau kerajaan, tapi melalui semangat tauhid dan pembaruan. Krisis kepemimpinan adat dijawab dengan kepemimpinan spiritual, yang dalam beberapa dekade menggetarkan Belanda.

Sufisme di sini menjadi bentuk perlawanan politik yang dilandasi integritas moral, bukan sekadar ambisi kekuasaan.

Dengan tiga kekuatan yakni karisma ruhani, jaringan global, dan legitimasi moral, para sufi memasuki panggung kekuasaan, bukan sebagai penguasa formal, tapi sebagai bayangan ruhani yang mengarahkan arah sejarah.

Antara Kontemplasi dan Tanggung Jawab Sosial. Sebagian tarekat memang menolak keterlibatan dalam kekuasaan, tapi tidak sedikit yang menganggap pengaruh terhadap kekuasaan adalah bagian dari tanggung jawab spiritual. Thariqah Naqsyabandiyah, misalnya, dikenal karena prinsip “Khalwat dar Anjuman”, menyendiri di tengah keramaian. Bagi mereka, dzikir bukan berarti lari dari dunia, tapi menghadirkan Tuhan dalam realitas dunia. (Bersambung)