Ziarah 'Perjalanan Politik' Wali Songo

Januari 12, 2024
Ziarah 'Perjalanan Politik' Wali Songo

Wali Songo meninggalkan sejuta pelajaran. Tapi bukan perihal bagaimana ‘batu berubah jadi emas’ dan ‘jalan di atas air’. Melainkan bagaimana ‘politik Islam’ dijalankan.

Wali Songo hidup di era Kerajaan Majapahit. Ini bukan pemerintahan Islam. Majapahit, diklaim sebagai pemersatu Nusantara, yang mana sebetulnya VOC dan Hindia Belanda juga mengklaim hal itu. Mereka yang membuat garis batas negara. Dalam Treaty of London, 1840, ditentukan garis batas wilayah kekuasaan Inggris dan Belanda. Bengkulu di bawah Inggris, ditukar dengan Pulau Banda. Garis batas itulah yang dijadikan batas negara kini. Jelas bukan merujuk pada silsilah kerajaan Majapahit. Tapi buah permainan politik dagang Inggris-Belanda. 

Nun sebelumnya, Majapahit memang berkuasa hingga negeri Champa. Pusat kekuasaannya berada di timur Jawa dengan ibukotanya Trowulan. Pada abad ke 15, mulailah berdatangan wali-wali penyebar Islam ke negeri Majapahit, di tanah Jawa.

Bermula dari Sunan Ampel, Sayyid Ali Rahmatullah yang menjejak di Surabaya, kota yang belum semegah sekarang. Sunan Ampel dijemput secara resmi dari Istana Majapahit. Alkisah, Ratu Darawati, istri Prabu Sri Kertawijaya, Raja Majapahit kala itu, yang meminta Sayyid Ali hadir ke negerinya untuk berdakwah memerangi kemaksiatan yang merebak. Para pandhita Majapahit, tak lagi mampu menghalau.

Sayyid Ali adalah keponakan dari Ratu Darawati, puteri dari Kerajaan Champa yang dahulu masuk dalam wilayah Kedah. Antara Kedah (Champa) dan Majapahit, telah bersahabat lama. Maka, diundanglah Sayyid Ali ke Majapahit.

Sayyid Ali tidak memilih tinggal di Istana Majapahit yang megah. Ia juga tidak memilih menjadi penasehat resmi raja, melainkan mencari perkampungan untuk berdakwah dan menyebarkan Islam. Di tempat itulah Ampeldenta terbangun dan kemudian dikenal dengan Sunan Ampel yang letaknya di utara Surabaya kini.

Pada era itu, syariat Islam tentu belum tegak. Tapi tak ada epos Sunan Ampel menjadikan Raja Majapahit sebagai ‘Ulil Amri.’ Tidak pula ada riwayat ia menjadikan ‘hukum Majapahit’ sebagai syariat. Sunan Ampel menyebarkan Islam menuju tegaknya syariat. Ia tidak memilih berdakwah dari dalam Istana. Tapi menyebarkan Islam bak pola Madinah al Munawarah. Mendirikan perkampungan ulama yang diberi nama Ampeldenta dan dikenal sebagai sentral keilmuan Islam di wilayah Timur Jawa.

Epos berlanjut dari Blambangan yang masuk wilayah Kadipaten Majapahit. Adipati Blambangan, memiliki seorang putri yang bernama Dewi Sekardadu. Pada suatu waktu, wabah menyerang wilayah itu. Banyak masyarakat terjangkit, termasuk sang dewi. Adipati berpesan, siapa saja yang bisa mengobati wabah tersebut, maka ia akan dinikahkan dengan putrinya. Banyak pandhita menyerah. Dukun-dukun Majapahit pun tak mampu. Mencuatlah Syekh Maulana Ishak. Dia ulama asal Samudera Pasai yang sempat juga menetap di Ampeldenta. Tapi dia memilih menelusuri wilayah Gresik, Blambangan dan sekitarnya.

Prabu Menak Sembayu, Adipati Blambangan, berjanji akan masuk Islam jika Syekh Maulana Ishak bisa mengobati Dewi Sekardadu tadi. Qadarullah, sembuhlah sang dewi. Kemudian dinikahkan dengan Syekh Maulana. Setelah pernikahan mereka, Syekh Maulana menagih janji tentang keislaman Prabu Menak. Tapi diingkari. Bahkan justru dakwah Syekh Maulana Ishak dihalangi. Dia sempat akan dibunuh karena banyak rakyat Blambangan mengikutinya. Prabu merasa cemburu karena Blambangan ‘terancam’ dengan dakwah Islam.

Syekh Maulana pun pergi dari Blambangan dan kembali ke Samudera Pasai dengan meninggalkan istrinya yang telah hamil tujuh bulan. Hingga lahirlah anaknya lelaki yang kemudian dikenal Joko Samudro. Ada yang berkisah, bayi lelaki itu dihanyutkan ke laut karena diburu oleh sang Prabu yang cemburu. Kemudian Joko kecil diambil seorang pelaut dan didik di Ampeldenta, di bawah asuhan Sunan Ampel. Di situlah ia mendapat nama Maulana Ainul Yaqin.

Setelah dewasa dan matang, Maulana Ainul Yaqin hendak menunaikan haji ke Makkah. Tapi Sunan Ampel berpesan agar dia mampir dahulu ke Pasai untuk menemui ayahnya, Syekh Maulana Ishak. Alkisah, berjumpalah Maulana Ainul Yaqin dengan ayahnya. Ia singgah di Pasai hampir tujuh bulanan. Ayahnya memberinya segenggam tanah dari Gresik. Tanah itu dititipkan pada Maulana Ainul Yaqin. Dia dipinta mendirikan sentral dakwah di tanah yang serupa dengan itu.

Sekembalinya Maulana Ainul Yaqin, ia mentaffakuri pesan ayahnya. Ia membawa segenggam tanah yang dititipkan untuk mencari tempat asalnya. Maka didapatilah wilayah Gresik. Ia meyakini di tempat itulah asal tanah tersebut. Syekh Maulana Ishaq tak memberikan tanah berhektar-hektar sebagai warisan. Melainkan segenggam saja untuk mendirikan sentral dakwah. Demikianlah para wali berkisah karena mereka bukan pecinta dunia.

Di Gresik dia berdakwah. Gresik kala itu masih menjadi wilayah kekuasaan Majapahit. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Maulana Ainul Yaqin merupakan cucu Patih Blambangan yang kemudian hari dikenal pula sebagai Raden Paku. Walau trah Majapahit, Raden Paku tak memilih mengincar menjadi penerus kakeknya. Raden Paku memilih menyebarkan Islam murni.

Tak ada kisah yang menyatakan Raden Paku menjadikan Majapahit sebagai ‘Ulil Amri’. Tak ada epos, Raden Paku menjadikan ‘hukum Majapahit’ kala itu sudah dianggap sesuai dengan syariat. Tak pernah pula ia berfatwa, ‘Islam Rahmatan lil Alamin’ bermakna kita boleh mengikuti hukum kuffar. Tapi Raden Paku teguh mengajak orang pada Makrifatullah hingga ia memiliki banyak pengikut. Jadilah Giri (gunung) wilayahnya, tempat mukim kaum muslimin kala itu. Karena jumlahnya membesar, maka dikenal sebagai Giri Kedaton, Kedatuan Giri. Sehingga ia juga disebut Sunan Giri.

Giri Kedaton tentu bukan di bawah kekuasaan Majapahit. Bukan pula harus bersiyasah masuk ke dalam Majapahit. Barulah pada masa selanjutnya kemudian pelan-pelan mengislamisasi. Giri Kedaton itulah menjadi pemukiman kaum muslimin secara mandiri. Mereka menegakkan syariat dan hakikat secara menyatu.

Sunan Giri sebagai ‘Ulil Amri’, tentu tidak menunggu adanya ‘pengangkatan’ dari Khalifah lebih dahulu. Ia berdakwah, bekerja secara spontanitas. Karena demikianlah Islam dijalankan. Sunan Giri, tak perlu membangun Islam di sekitar istana Majapahit. Karena mereka tak berorientasi merebut tahta Mahjapahit. Melainkan berorientasi mendirikan ‘kesultanan.’ Inilah tujuan dari dakwah Islam sejatinya.

Melalui Giri Kedaton itulah kehidupan Islam bisa diterapkan. Tatkala Islam belum hadir, maka para wali memberi contoh nyata bagaimana jalan kita untuk menghadirkannya. Bukan dengan ‘mengislamisasi’ hukum Majapahit yang seolah-olah telah sesuai dengan syariat. Bukan pula harus menunggu adanya SK Khalifah, baru bisa diterapkan. Sunan Giri telah memberi tauladan. Dan, mereka para wali tak pernah berhalusinasi harus menunggu Imam Mahdi, baru bisa berbuat melawan kemaksiatan. Tapi mereka bergerak di mana pun dan kapan pun. “Karena Islam itu di sini dan sekarang.” Jadi bukan mesti menunggu kehadiran Imam Mahdi, seolah kemasiatan baru bisa dilawan.

Dari Giri Kedaton inilah menjadi cikal bakal lahirnya sebuah Kesultanan Demak. Karena Demak merupakan buah dakwah koalisi Wali Songo di tanah Jawa. Kesultanan Demak, wujud bagaimana syariat ditegakkan secara utuh. Raden Patah, penerus tahta Majapahit, tidak memilih duduk di Istana leluhurnya. Melainkan duduk menjadi Sultan, penegak syariat. Ia berada di bawah Ahli Hallu Wal Aqdi, para Wali Songo. Demikianlah epos Islam hadir menjejak di tanah Jawa.

Wali Songo tentu meniru pola Sayyidinna Rasulullah saw. Membangun Madinah al Munawarah. Karena membangun Madinah dimulai dari kota kecil, kemudian membesar lebar. Inilah siklus peradaban. Bak dikata Ibnu Khaldun: Peradaban itu bak organisme, mulai dari lahir, kecil, besar, tua dan mati.

Dari Giri Kedaton, mencuat lahir Kesultanan Demak, yang kemudian membesar hingga melahirkan Kesultanan Mataram. Inilah siklus kejayaan Islam di tanah Jawa. Majapahit pun runtuh dengan sendirinya. Wali-wali mengikuti Al Quran. Kala yang Haq hadir, maka yang bathil musnah. Menghancurkan yang bathil, bukan harus masuk dari dalam. Melainkan dengan memunculkan yang Haq, maka kebathilan musnah (Al Quran: Surat Al Isra: 81).

Napak tilas politik Wali Songo telah memberi tunjuk ajar. Syariat dan hakikat akan tegak dalam bingkai sultaniyyah. Itulah makna ‘Islam Rahmatan Lil Alamin,’ kala Islam telah berdiri tegak, maka akan memberi rahmat pada seantero alam. Bukan dibalik, seolah ‘Islam Rahmatan Lil Alamin’ menjadi legitimasi seolah muslimin boleh mengadopsi non syariat. Wali Songo tak pernah mengajarkan demikian.

‘Politik’ Giri Kedaton memberi tunjuk ajar. Babad Ing Gresik mengkisahkan, bermula dari perkampungan yang bak pesantren Islam, maka berdirilah Kedatuan Giri. Penulis Belanda, H. J. de Graaf dan Samuel Wiselius juga menyebut pesantren Giri sebagai "Kerajaan Ulama" (Geestelijke Heeren).

Maka, dari kampung ulama, kemudian akan lahir sultaniyyah. Dari Giri Kedaton, memunculkan Kesultanan Demak. Inilah ziarah politik Wali Songo.

*Penulis merupakan Mudir JATMAN Jakarta

Editor: Khoirum Millatin