Re-Transnasionalisasi Tasawuf Aceh
Makna Re-transnasionalisasi adalah untuk menyatakan ada suatu upaya melakukan aktualisasi kembali posisi Aceh dalam penyebaran tasawuf menjadi gerakan Islam penuh cinta dalam kehidupan umat manusia di dunia. Hal ini suatu yang lumrah mengingat Aceh pernah menjadi pusat perkembangan tasawuf di masa lalu.

Makna Re-transnasionalisasi adalah untuk menyatakan ada suatu upaya melakukan aktualisasi kembali posisi Aceh dalam penyebaran tasawuf menjadi gerakan Islam penuh cinta dalam kehidupan umat manusia di dunia. Hal ini suatu yang lumrah mengingat Aceh pernah menjadi pusat perkembangan tasawuf di masa lalu.
Dalam hal ini, Aceh memiliki lebih dari cukup bukti untuk menyatakan diri sebagai daerah perkembangan tasawuf. Keberadaan beberapa orang sufi penting di daerah ini menunjukkan bagaimana posisi strategis tasawuf dalam keberislaman masyarakat Aceh di masa lampau sebagai bagian penting dalam kehidupan kerajaan.
Setidaknya, kita telah mengenal empat ulama sufi penting di Aceh yang menjadi tokoh utama pemikiran dan perkembangan tasawuf. Hamzah Fansuri adalah tokoh penting dan utama dalam gerakan ini.
Hamzah Fansuri menjadi orang nomor satu dalam transformasi pemikiran tasawuf falsafi di Aceh dan kemudian berkembang di Nusantara. Dari namanya kita tahu kalau Hamzah berasal dari Fansur, sebuah wilayah di Singkil. Dari sana ia merantau ke Banda Aceh dan lalu menjadi orang penting di kerajaan Aceh Darussalam.
Hamzah Fansuri tidak hanya memiliki peran sebagai ulama kerajaan atau dikenal dengan Syekh al-Islam saja, namun juga seorang mufti kerajaan di masa Sultan Iskandar Muda serta sebagai diplomat dan perwakilan raja dalam negosiasi pedagangan dan politik.
Murid penting Hamzah bernama Syamsuddin as-Sumatrani. Ia berasal dari Pase, berguru kepada Hamzah dan menggantikan posisinya di kerjaan setelah sang guru wafat. Ide utama tasawuf Syamsuddin sama dengan Hamzah, pemikirn tasawuf falsafi ala Ibnu Arabi.
Ia menjelaskan beberapa terminologi tasawuf dengan pendekatan filsafat pelik yang banyak orang awam tidak paham. Hal inilah yang dikritik oleh Nuruddin Ar-Raniry, ulama yang berasal dari Raneer, India yang menjadi Syekh al-Islam pada masa Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultan Iskandar Tsani.
Ar-Raniry melakukan perlawanan pada ide-ide filsafat wujud dalam tasawuf yang dikembangkan oleh dua ulama sebelumnya. Usaha ini dilakukan dengan menggunakan tangan kekuasaan.
Sekilas berhasil, namun Abdurrauf as-Singkili yang menjadi penggantinya pada masa pemerintah Sultanah Safiatuddin menghidupkan kembali ide-ide wujudiyah dan menjadikannya sebagai bagian penting dalam keberagamaan orang Aceh.
Tasawuf ke Tarekat
Abdurrauf as-Singkili menjadi ulama yang sangat penting dalam perbincangan tasawuf Aceh. Pertama, pada masanyalah tasawuf Aceh bertransformasi kepada tarekat. Abdurrauf adalah seorang mursyid, setidaknya dalam dua tarekat besar, yaitu Naqsabandiyah dan Syattariyah.
Ia berguru pada Syekh Ahmad al-Qusyasyi dan Syekh Sulaiman al-Qurani di Haramain. Namun dalam praktiknya ia nampak lebih banyak mengembangkan Tarekat Syattariyah.
Azyumardi Azra (1991) mencatat pilihan ini sepertinya sebuah “pembagian tugas” antara Abdurrauf dengan Syekh Yusuf al-Maqassari yang sama-sama belajar dan mengambil tarekat di Haramain.
Dalam pembagian ini, Abdurrauf mengembangkan Syattariyah dan Abu Yusuf mengembangkan Naqsabandiyah dan Khalwatiyah.
Dari catatan sejarawan, kita melihat Abdurrauf berada di posisi penting dalam silsilah Tarekat Syattariyah di Nusantara kontemporer. Nama Aceh sebagai “Serambi Mekkah” antara lain diambli dari realitas ini.
Sebagai alumni Timur Tengah yang belajar di sana selama belasan tahun, Abdurrauf menjadi magnet bagi ulama lain di Nusantara untuk mendalami Islam.
Dalam pelayaran menuju Haramain mereka singgah di Aceh untuk belajar dasar-dasar keislaman sebelum kemudian belajar ke Mekkah atau Madinah. Meskipun sebagai “pengantar” beberapa ulama merasa sudah cukup mahir dalam ilmu agama setelah berjumpa dengan Abdurrauf.
Kebanyakan ulama Tarekat Syattariyah yang ada di Indonesia memiliki silsilah yang terhubung kepada Abdurrauf As-Singkili. Di Pulau Jawa misalnya ada Abdul Muhyi Pamijahan. Ia adalah mursyid Tarekat Syattariyah yang sangat berpengaruh di Jawa.
Hampir semua Tarekat Syattariyah yang ada di Jawa saat ini memiliki silsilah yang terhubung kepadanya. Demikian juga dengan Burhanuddin Ulakan dari Sumatera Barat. Ia adalah murid penting Abdurrauf di Sumatera Barat dan menjadi tokoh utama dalam perkembangan Syattariyah di sana.
Abdurrauf As-Singkili berhasil mendamaikan dua kubu yang saling bertentangan yaitu antara pengikut Hamzah Fansuri dan pendukung Ar-Raniri untuk tidak saling sesat-menyesatkan dan mengkafirkan antara satu dengan yang lain. Dalam hal ini Syaikh Abdurrauf As-Singkili mengatakan :
أعلم ايها المريد إلى هذا المنتهى واطلب من مولاك الكريم أن يوصلك به إليه ولا تلتفت فى سيرك إلى ما سواه فإن ذلك حجاب شاغل يشغلك عن مطلوبك واحفظ لسانك من الغيبة والتكفير فإن فيهما خطرا عظيما عنه ربك الكبير ولا تلعن اخاك المسلم فتكن من الحجرومين يوم القيامة ولا تمدحه أيضا فتكن من المبغو ضين أو من الصاربين عنق أخيهم قال صلى الله عليه وسلم “لا يرمى رجل رجلا بالسوق ولا يرميه بالكفر إلا ارتدت عليه أن لم يكن صاحبة كذلك” وقال صلى الله عليه وسلم “من دعا رجلا بالكفر أو قال عدو الله وليس كذلك إلا حار عليه” وقال صلى الله عليه وسلم “أن للعانين لا يكونون شهداء ولا شفعاء يوم القيامة
“Ketahuilah wahai murid (orang yang sedang menuntut ilmu syariat, tarekat dan hakikat) sampai batas terakhir dan tertinggi (dari tauhid). Mohonlah kepada Tuhanmu Yang Maha Mulia agar engkau bisa sampai kepada-Nya. Janganlah engkau berpaling dari perjalananmu kepada selain-Nya, karena hal itu akan menjadi hijab yang menghalangi engkau dari tujuanmu. Peliharalah lidahmu dari perbuatan ghibah (membicarakan kejelekan) dan mengkafirkan orang lain, karena pada keduanya terdapat dosa yang sangat besar di sisi Tuhanmu Yang Maha Besar. Jangan pula engkau mengutuk saudaramu sesama muslim, karena hal itu akan menjerumuskan engkau ke dalam golongan orang-orang yang berdosa pada hari kiamat. Tetapi jangan pula engkau selalu memujinnya secara berlebih-lebihan, karena hal itu akan menjerumuskan engkau ke dalam orang-orang yang dimurkai Allah atau orang yang memenggal leher suadaranya sendiri.
Nabi Muhammad saw. bersabda, ‘Tidaklah seseorang menuduh orang lain berbuat fasik atau kafir, melainkan tuduhan itu kembali kepada dirinya, jika yang dituduhkan itu tidak terbukti fasik dan kafir.’
Selanjutnya Nabi saw. bersabda, ‘Barangsiapa yang memanggil seseorang dengan panggilan kafir atau musuh Allah, padahal orang itu tidak terbukti demikian, maka panggilan itu kembali kepadanya.’
Dan Nabi Muhammad saw. juga bersabda, ‘Sesungguhnya orang yang suka mengutuk dan menuduh sesat orang lain itu ia tidak bisa menjadi orang yang mati syahid dan tidak mendapatkan syafa’at Nabi di hari kiamat.”
(Kitab Tanbihu Al-Masyi Al-Mansub Ila Thariq Al-Qusyasyih, hal 35-36)
Sayangnya serangan imperialisme Belanda dan Inggris ke Aceh sejak pertengahan abad 18 membuat perkembangan tarekat di Aceh cenderung memudar. Kita mengenal beberapa zawiyah yang muncul di Aceh, namun hampir tidak ada tokoh besar yang muncul dan setara dengan beberapa yang telah dijelaskan di atas.
Apalagi memasuki abad 20, di mana intensitas peperangan melawan Belanda semakin tinggi yang kemudian menyebabkan perkembangan pemikiran seperti sebelumnya menjadi redup. Ini adalah sebuah masa yang sulit dalam perkembangan pemikiran tasawuf di Aceh.
Namun pada abad 20 seorang tokoh ulama pembaharu tasaawuf Aceh, Syekh Muhammad Muda Waly Al-Khalidiy (Abuya Muda Waly) telah kembali menghidupkan tasawuf di Aceh yang kemudian dilanjutkan oleh anak-anak dan murid beliau, di antaranya Abuya Syekh H. Amran Waly Al-Khalidi.
Upaya yang dilakukan Abuya Amran adalah dengan mendirikan organisasi bernama Majelis Pengkajian Tauhid dan Tasawuf (MPTT-I) yang bertujuan untuk menghidupkan kembali ajaran tasawuf Dzuqi “Falsafi” ala Ibnu Arabi dan Syekh Abdul Karim Al-Jili sebagai mana di masa Hamzah Fansuri.
Muzakarah Ulama Sufi yang dilaksanakan di Banda Aceh pada 13-16 Juli 2018 adalah sebuah inisiasi yang sangat bagus untuk menjadikan Aceh kembali memegang peranan penting dalam transformasi gerakan sufi menjadi gerakan bersama di dunia Islam. Melihat dari tema yang diangkat, “Tauhid Tasawuf Jalan Untuk Mencapai Kedamaian Ummat Sedunia”, jelas menunjukkan adanya keinginan untuk mereposisikan tasawuf sebagai dimensi agama yang mampu berkontribusi langsung bagi kedamaian dunia.
Perang, terorisme, intoleransi yang terus merusak ketenangan umat manusia harus diakhiri. Para ulama sufi berkeyakinan kalau model pemahaman tauhid tasawuf yang mereka yakini adalah model ideal bagi penyelesaian masalah tersebut.
Di samping itu, muzakarah ini juga menjadi titik ideal bagi reposisi Aceh dalam kancah wacana ide-ide besar keagamaan yang mempengaruhi dan melingkupi kehidupan umat Islam di dunia. Hal ini sangat memungkinkan.
Melihat apa yang sudah dijelaskan di atas, Aceh pernah menjadi kiblat pembelajaran Islam dan tasawuf di Nusantara pada masa lalu. Sehingga sangat terbuka lebar kesempatan untuk memainkan peran yang sama dalam konteks kehidupan Islam masa kini. Apalagi Aceh sudah dikenal sebagai daerah mayoritas muslim pertama di Indonesia yang menerapkan hukum Islam. Hal ini tentu saja menjadi ladang yang dapat disemai bibit-bibit pemahaman dan diskursus tasawuf bagi upaya mencapai posisi tersebut.
Muzakarah ini merupakan sebuah pertemuan yang sangat potensial. Di satu sisi mempromosikan Aceh ke dunia Internasional, di sisi lain kembali menjadikan Aceh sebagai daerah sentral perkembangan tasawuf di Nusantara. Bahkan, kalau mungkin Aceh memproduksi pemikiran tasawuf yang kemudian berkembang ke seluruh dunia, baik dunia Islam maupun non-muslim. Inilah yang saya sebut dengan re-transnasionalisasi tasawuf Aceh. Ide-ide tasawuf dari Aceh meuceuhu ban sigom donya.
Wallahu a’lam bisshawwab
Penulis: Budi Handoyo (Dosen Prodi Hukum Tata Negara Islam Jurusan Syariah dan Ekonomi Islam STAIN Teungku Diruendeng Meulaboh-Kabupaten Aceh Barat)
Editor: Khoirum Millatin