KH. Afifuddin Muhajir, Faqih Ushuli dari Timur

Buku ini menyajikan beberapa tulisan dari para tokoh dan kesaksian sebagian santri dan alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo tentang K.H. Afifuddin Muhajir, Rais Syuriah PBNU, Ketua MUI Pusat, Wakil Pengasuh PP Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo, dan penulis kitab Fathul Mujib al-Qarib syarah Kitab Taqrib.
Buku yang sedang Anda baca ini adalah buku pertama tentang K.H. Afifuddin Muhajir. Ia dibuat untuk menyambut penganugerahan Doktor Honoris Causa dari Fakultas Syari’ah UIN Walisongo Semarang kepada K.H. Afifuddin Muhajir. Sebagian besar kolom dalam buku ini belum pernah diterbitkan. Dan sekalipun ada dua kolom yang sudah diterbitkan, maka itu juga sudah dilakukan perbaikan oleh penulisnya untuk kepentingan dipasang kembali dalam antologi ini.
Artikel yang terangkum dalam buku ini rata-rata berbentuk kolom-kolom pendek bahkan sangat pendek. Sebagian kecil saja berupa tulisan panjang dan bercatatan kaki. Diksi para penulisnya pun sengaja ditayangkan secara otentik, karena penyunting datang bukan untuk mengubah gaya tulisan seseorang. Ada penulis yang suka membuat kalimat-kalimat panjang dan ada yang lebih memilih menggunakan kalimat-kalimat pendek yang efektif. Dalam kaitan itu, ada penulis yang memesan agar tulisannya tak diedit sama sekali.
Sebagai penyunting, saya cenderung membiarkan tiap fragmen dalam antologi ini berlayar ke arah yang berbeda-beda. Ada penulis yang coba memberikan kritik konstruktif terhadap pemikiran-pemikiran keislaman Kiai Afif. Walau harus diakui, arus utama dari kolom-kolom yang tersaji dalam buku ini memberikan apresiasi tinggi terhadap Kiai Afif. Bahkan, sebagian santri Kiai Afif mengisahkan sisi asketisme Kiai Afif— mungkin untuk memberikan pengayaan sudut pandang tentang Kiai Afif.
Buku ini tak hanya memuat pengakuan atas kealiman Kiai Afif melainkan juga penegasan tentang luasnya titik edar Kiai Afif. Beliau tak hanya bergaul dengan para kiai sepuh, melainkan juga dengan para kiai dan intelektual muda. Bahkan, sebagian besar penulis buku ini adalah para intelektual yang usianya jauh lebih muda dari Kiai Afif. Beliau berinteraksi dengan beragam varian pemikir Islam, mulai dari yang kanan hingga yang kiri, dari yang tekstualis hingga yang kontekstualis. Dan Kiai Afif selalu mengambil sikap moderat-tengah-tengah (tawassuth). Dalam beberapa kasus, Kiai Afif bukan hanya berada di tengah (wasath) bahkan sangat tengah (awsath), sesuai sabda Nabi SAW, “sebaik-baik perkara adalah yang paling tengah” (khairul umur awsathuha).
Moderatisme Kiai Afif tersebut terlihat salah satunya pada kemampuannya memadukan antara ushul dan furu’, nushush dan maqashid, ‘aqal dan naqal, wasilah dan ghayah (tujuan), al-waqi’ (kenyataan) dan al-mutawaqqa’ (yang diharapkan menjadi kenyataan). Mungkin karena berbasis moderatisme itu, pemikiran keislaman Kiai Afif diterima hampir di semua kalangan. Atas sikap dan pemikirannya tersebut, sebagian penulis menyebut Kiai Afif sebagai prototipe kiai moderat yang sesungguhnya.
Namun, mengacu pada ciri-ciri muslim progresif yang dibuat Abdullah Saeed, penulis lain menyebut Kiai Afif sebagai pemikir muslim progresif. Ini karena sebagai pemikir Islam, Kiai Afif dianggap mampu mendialogkan Islam dengan tantangan kekinian dan mampu memberikan arah yang menunjukkan kesesuaian Islam dengan segala tempat dan zaman. Kiai Afif misalnya merespons soal Pancasila, hak-hak penyandang disabilitas, dan Islam Nusantara dengan nalar maqashid al-syari’ah. Dengan alasan itu, penulis lain menjuluki Kiai Afif sebagai pemikir substansial-kontekstualis.
Lepas dari itu, semua penulis dalam buku ini tampaknya sepakat bahwa Kiai Afif adalah kiai yang alim di bidang fikih dan ushul fikih. Bahkan, kealimannya di bidang itu di atas rata-rata. Berdasarkan itu, maka buku kumpulan tulisan ini saya beri judul, “K.H. AFIFUDDIN MUHAJIR: FAQIH-USHULI DARI TIMUR”. Disebut dari Timur, karena Kiai Afif tinggal di ujung timur pulau Jawa, yaitu PP Salafi’iyyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur.
Saya berharap semoga para pembaca bisa mengambil manfaat dari buku yang juga menjelaskan sejarah perjalanan intelektual K.H Afifuddin Muhajir ini. Betapa untuk memenuhi derajat alim, Kiai Afif berpuluh tahun “bertahannuts” di pesantren— berkutat dengan kitab dan kitab. Ia jarang pergi ke luar. Dan sekiranya pergi ke luar pesantren, maka itu pun masih dalam konteks akademik; seminar, diskusi, dan bahtsul masail. Semua orang bertolak dari kebodohan tapi tak semua orang seperti Kiai Afif: mencapai puncak kealiman.
Last but not least, terima kasih sebesar-besarnya saya sampaikan kepada para penulis yang telah menyempatkan waktu menulis artikel tentang K.H. Afifuddin Muhajir ini. Semoga jerih payah mereka dibalas oleh Allah Subhanahu Wata’ala. [Dr. H. Abdul Moqsith Ghazali, M.Ag]