Keutamaan Puasa 6 Hari di Bulan Syawal: Tinjauan Psikosufistik

September 19, 2023 - 17:22
Keutamaan Puasa 6 Hari di Bulan Syawal: Tinjauan Psikosufistik

Puasa Ramadan adalah sebuah sistem pelatihan atau pendidikan formal intensif pembentukan karakter Muttaqin. Sebuah pelatihan, agar seorang muslim bisa memiliki karakter Muttaqin, seorang sosok  manusia berkarakter malaikati. Seorang manusia yang gemar melakukan semua perintah dan anjuran-anjuran Allah swt., gemar (dengan senang hati) menjauhi larangan-larangan-Nya dan hal-hal yang membuat-Nya tidak suka atau bahkan murka.

Pelatihan tersebut meliputi tiga tahapan; tahap pemanasan (warming up), tahap pelatihan inti yang resmi, dan tahapan pendinginan (colling down).

Puasa di Bulan Rajab dan Sya’ban sebagai ‘warming up training’ sedangkan puasa di Bulan Ramadan adalah ‘focuss training’. Sedangkan puasa 6 hari di Bulan Syawal adalah puasa yang berfungsi sebagai puasa ‘colling down’ (pendingin).

Ketika seseorang melakukan puasa di Bulan Ramadan satu bulan penuh dengan baik (dengan spirit iimanan wa ihtisaaban) dan benar (sesuai dengan aturan syar’i dan sunni-nya), maka pasti akan terjadi proses peningkatan suhu spiritual dan ruhaniahnya. Karena di siang hari puasa ‘penuh’, sedangkan di malam hari ibadah ‘penuh’.

Dengan salat-salat sunnah, membaca al-Quran dan zikir-zikir, suhu ruhani terus meningkat dan mencapai puncaknya pada saat inti ruhani (ruh suci atau ruh qudus), ‘terlahir’ dalam diri seorang mukmin yang sedang berpuasa Ramadan.

Ruh suci yang baru terlahir itulah yang oleh Syekh Abdul Qadir al-Jilani disebut dengan Thiflul Ma’ani.  Dan malam kelahiran bayi ruhani itu juga yang namanya dikenal sebagai Lailatul Qadar. Muttaqin yang baru terlahir tersebut, mungkin di sekitar malam-malam terakhir di bulan Ramadan, masih sangat lemah. Dia memerlukan waktu yang cukup (sekitar sepuluh hari) untuk menguatkan organ-organ tubuh spiritualnya, sehingga dia mampu untuk survive (tetap hidup) dalam menghadapi tantangan hawa nafsu. Suhu ruhani ektrim yang dapat ‘mematikan’ bayi muttaqin timbul karena berbagai kemaksiatan dan perbuatan dholim karena terbawa oleh dorongan hawa nafsu.

Dengan berpuasa kembali, mulai tanggal 2 sampai tanggal 7 bulan Syawal, suhu ruhani tidak anjlok drastis yang bisa mematikan ‘bayi muttaqin’. Dengan demikian ruhani para shaimin menjadi selamat sampai memungkinkan ia mampu terbang ke alam malakut. Sehingga ia kuat untuk menjalankan ta’at kepada Allah swt. dengan Istiqamah,  juga gemar untuk mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah saw.

Karena dengan puasa 6 hari di awal bulan Syawal, selain kondisi ruhaniah seseorang akan tetap stabil, ia juga terhindar dari hal-hal yang dimurkai oleh Allah Swt. dan berbagai kemaksiatan. Seseorang juga dapat terhindar dari makan minum yang berlebihan, serta akan tetap merasa ringan dalam menjalankan qiyamullail.

Dengan tanpa puasa 6 hari di bulan Syawal, seseorang yang telah tercerahkan atau mengalami metamorfosis spiritual (mengalami Lailatul Qadar), akan rentan mengalami ‘kekagetan’  ruhani sehingga terjadi kecelakaan yang fatal, kejang dan mati. Akibat pola makan minum yang kontras dengan aturan Allah Swt. dan Sunnah Rasulullah saw. Atau akibat perilaku zalim dan maksiat yang terjadi karena hati yang sudah tidak terjaga. Sehingga dapat dikatakan bahwa puasa Sunnah Syawal adalah merupakan proteksi dari kematian ruhani bayi muttaqin. Proteksi dari kembalinya seseorang ke dalam akhlak buruk dan karakter negatif masa lalu.

Penulis: Kharisudin Aqib (Katib Ifadliyyah Idaroh Wustho JATMAN Provinsi Jawa Timur)
Editor: Khoirum Millatin