Guru Mursyid Sebagai Wasilah Pembimbing Ruhani

Rasulullah Saw. diutus ke dunia bukan sekedar menyampaikan kebenaran dari sisi Allah Swt. atau hanya menyampaikan hukum-hukum yang dibolehkan atau dilarang oleh Allah Swt. Tujuan lebih hakiki dari keberadaan Rasulullah saw. adalah agar manusia bisa mengenal Allah Swt. dan merasakan kehadiran-Nya dalam setiap saat. Rasulullah saw. adalah pembawa wasilah dari sisi Allah Swt. dan melalui wasilah itulah manusia bisa berkomunikasi dengan Allah Swt. Dalam Surat Al-Maidah ayat 35, Allah Swt. mewajibkan seluruh orang beriman untuk mencari wasilah agar menemukan kemenangan di dunia dan akhirat.
Wasilah bukanlah amal ibadah (shalat, puasa, zakat dll) seperti yang ditafsirkan secara syariat, karena seluruh amal ibadah hanyalah bentuk dari proses penyembahan terhadap Allah Swt. Shalat, Puasa dan lain-lain hanya akan menjadi ritual hampa, menjadi tradisi dan budaya saja kalau tidak mempunyai ruh dari ibadah itu sendiri.
Ibadah mempunyai unsur zahiriyah dan batiniyah dan keduanya harus ada agar ibadah tersebut diterima oleh Allah Swt. Secara zahir anggota badan kita harus mengikuti aturan-aturan yang telah disampaikan Allah Swt. kepada Rasul-Nya tanpa melebihkan dan menguranginya. Aturan itu sudah menjadi standar sebagai contoh bentuk gerakan shalat, jumlah rakaat shalat, aturan-aturan puasa, itu semua sudah baku dan tidak bisa ditambah atau dikurangi. Disamping aturan aspek zahir, ibadah memiliki aspek batin dan ini merupakan hal yang sangat pokok.
Fisik manusia harus diajarkan cara menyebut nama Allah Swt., begitu pula ruhani manusia harus diajarkan cara menyebut nama Allah Swt. Di dunia ini sangat banyak orang yang bisa mengajarkan cara fisik manusia untuk menyebut nama Allah Swt., dalam hal ini kita tidak kekurangan guru. Akan tetapi guru yang bisa mengajarkan ruhani kita untuk menyebut nama Allah Swt. itu sangat langka. Fisik manusia bisa dilatih oleh guru jasmani melalui gerakan shalat, aturan puasa dan lain sebagainya, sementara ruhani manusia harus diajarkan oleh ruhani pula. Tidak mungkin ruhani manusia diajarkan oleh guru Jasmani. Keduanya mempunyai unsur dan sifat yang berbeda. Ruhani manusia diajarkan oleh ruhani Rasulullah saw. yang telah berisi Kalimat Allah yang berasal dari sisi-Nya. Unsur Kalimat Allah yang ada dalam diri Muhammad bin Abdullah inilah yang menyebabkan pangkat seorang manusia biasa bisa menjadi Rasul. Nur Allah yang diberikan kepada Rasul dan orang-orang yang dikehendaki-Nya itulah yang kemudian disebut sebagai Wasilah.
Disinilah sebenarnya letak perbedaan antara pengamal tarekat atau tasawuf dengan orang yang hanya memahami Islam secara syariat saja. Pengamal tarekat untuk bisa menapaki jalan berguru terlebih dulu memahami dan menjalankan aturan-aturan Allah yang disebut syariat dan aturan itu akan tetap dilaksanakan seterusnya. Pelaksanaan syariat oleh pengamal tarekat tidak lagi hanya sekedar memenuhi kewajiban ibadah akan tetapi mereka sudah masuk kepada alam hakikat dari ibadah itu sendiri.
Untuk bisa menyelami samudera hakikat yang maha luas, diperlukan seorang pembimbing yang ahli dibidangnya agar tidak tersesat dan pembimbing ini dikenal sebagai Guru Mursyid.
Dalam khazanah ilmu tasawuf, Guru Mursyid mempunyai peranan besar dalam membentuk hierarki manusia untuk sampai ke tingkat realisasi tertinggi dalam menempuh perjalanan spiritual, karena dimensi al-Quran telah tertanam dalam dirinya. Hanya saja persoalan ini jarang dikupas dan diteliti lebih dalam sehingga masih menjadi sebuah misteri dalam kehidupan manusia. Bahkan pemuka agama sekalipun banyak yang belum mengetahuinya. Guru Mursyid hanya dimengerti oleh hati yang terbuka dan jiwa yang telah disucikan.
Predikat mulia yang diberikan secara khusus oleh Allah kepada manusia pilihan ini sebenarnya secara gamblang telah disebutkan dalam al-Qur’an pada Surat Al-Kahfi ayat 17 dengan sebutan “Waliyan Mursyida” artinya wali yang mursyid. Kata “Wali” di sini dalam versi kaum sufi diartikan sebagai figur manusia suci, pemimpin ruhani, manusia yang sangat taat beribadah kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan kata “Mursyid” diartikan sebagai nur Ilahi, cahaya Ilahi, atau energi Ilahi.
“Cahaya di atas cahaya, Tuhan akan menuntun kepada cahaya-Nya, siapa yang dikehendaki-Nya” (Qs. An-Nur : 35).
Jadi hakikat Mursyid itu tidak berwujud, akan tetapi setelah masuk ke dalam rumah wujud berulah ia memiliki wujud. Maka nur Ilahi atau energi Ilahi yang telah mewujud dalam ruhani sang guru itulah yang disebut dengan Waliyan Mursyida. Dan Mursyid itu tidak banyak, yang banyak adalah badan ragawi yang disinggahi, hanya penampakan fisiknya. Ibarat pancaran sinar matahari yang masuk ke berbagai lubang, terlihat banyak tetapi hakikatya hanya satu, sinar itu-itu juga.
Kata Nur (cahaya) yang bermakna mursyid, tidak diartikan sebagai cahaya dalam pegertian bahasa. Mursyid sendiri berasal dari kata “Irsyad” yang artinya petunjuk. Petunjuk yang bersumber dari nur Ilahi. Jika kata “Irsyad” ditambahkan “mim” di depannya maka petunjuk tersebut terdapat pada sesuatu (dimikili oleh sesuatu). Maka “mim” harus diartikan sebagai seseorang yang memegang kualitas irsyad.
Karena kata Waliyan Mursyida dalam Surat al-Kahfi ayat 17 secara umum diartikan sebagai “pemimpin” maka di zaman sekarang pemimpin organisasi yang tidak ada hubungan dengan tasawuf diberi gelar “mursyid” atau ada orang yang nama pribadinya itu mursyid. Karena mursyid hakikatnya adalah nur Allah, maka orang yang kita sebut Guru Mursyid itu benar-benar mempunyai kualitas sempurna sebagai pembawa wasilah dari Allah menjadi Nur Allah bukan sekedar gelar saja.
Begitu langkanya Guru Mursyid yang benar-benar memenuhi kualifikasi sebagai mursyid sehingga imam al-Ghazali mengatakan,
“Menemukan Guru Mursyid itu lebih mudah menemukan sebatang jarum yang disembunyikan di padang pasir yang gelap gulita”.
Pembahasan yang mendalam tentang Guru Mursyid diperlukan untuk memberikan keyakinan kepada pengamal tarekat khususnya betapa luar biasa orang-orang yang telah memiliki Guru Mursyid yang berkualitas sehingga hidup mereka benar-benar terbimbing ke jalan Allah Swt. sehingga mereka selalu bersyukur kepada Allah dengan jalan berkhidmat kepada Gurunya dengan penuh adab dan cinta.
Penulis: Tgk Selamet Ibnu Ahmad (Mudir Idaroh Syu’biyyah Kab. Bener Meriah, Aceh)
Editor: Khoirum Millatin