Buku Sejuta Pesantren Disebut Posko Hadirkan Model Baru Pembangunan Umat Berbasis Kampung

Desember 12, 2025 - 17:10
Buku Sejuta Pesantren Disebut Posko Hadirkan Model Baru Pembangunan Umat Berbasis Kampung

Judul Berita

Buku ‘Sejuta Pesantren Disebut POSKO’ Hadirkan Model Baru Pembangunan Umat Berbasis Kampung

Subjudul:

Buku karya Syamsul Kamal ini mengungkap bagaimana gerakan POSKO yang digagas Abuya Syech H. Amran Wali Al-Khalidi mampu menghidupkan kampung, memulihkan keluarga, dan membangun peradaban akar rumput tanpa dana negara.

Meulaboh 

Buku “Sejuta Pesantren Disebut POSKO” resmi dirilis sebagai dokumentasi mendalam tentang gerakan POSKO yang dibangun Abuya Syech H. Amran Wali Al-Khalidi. Gerakan yang lahir dari ruang-ruang kecil di kampung ini menunjukkan bahwa dakwah yang lembut dan merangkul mampu membangkitkan semangat keagamaan dan sosial masyarakat dari akar rumput, tanpa harus bergantung pada fasilitas besar atau dukungan anggaran negara.

POSKO kini dikenal sebagai pusat zikir, pusat akhlak, dan pusat persaudaraan yang tumbuh secara organik di berbagai kampung di Aceh dan wilayah lain di Indonesia. Melalui pendekatan yang sederhana namun mendalam, POSKO menghadirkan suasana belajar agama yang hangat, tidak menghakimi, dan dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat.

Dalam bukunya, penulis menegaskan bahwa kekuatan POSKO tidak terletak pada bangunannya, tetapi pada adab, pelayanan, dan ketulusan yang diajarkan Abuya. Banyak pemuda yang sebelumnya jauh dari agama kembali menemukan arah hidup melalui kegiatan zikir, tausiyah, dan kebersamaan yang tercipta di POSKO. Keluarga-keluarga yang mengalami keretakan pun terbantu melalui suasana spiritual yang menenteramkan.

Gerakan POSKO tidak hanya berkembang di Aceh, tetapi juga menyebar ke berbagai daerah dan negara melalui para perantau yang pernah merasakan manfaatnya. Di luar negeri, model kegiatan ala POSKO berkembang kuat di Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam, serta sejumlah komunitas Melayu Muslim di Thailand Selatan (Patani). Penyebaran ini terjadi secara natural, dibawa oleh diaspora Aceh dan simpatisan yang terinspirasi oleh keteladanan Abuya dalam membangun akhlak dan persaudaraan.

Yang membuat POSKO unik adalah bahwa seluruh kegiatan berjalan tanpa dukungan anggaran negara. Pembangunan dan pengelolaannya berlangsung melalui semangat kebersamaan, kerelawanan, dan keberkahan. Penulis menilai bahwa inilah bukti bahwa model dakwah yang sederhana namun tulus bisa menjadi gerakan peradaban yang kuat dan berkelanjutan.

Buku ini juga menggambarkan bagaimana Abuya menjalani kehidupan yang sangat sederhana. Rumah beliau tidak memiliki teras karena ruang tersebut dijadikan mushalla yang selalu hidup oleh ibadah dan zikir. Bagi penulis, kesederhanaan ini adalah representasi dari bagaimana Abuya lebih memilih membangun rumah bagi umat melalui POSKO, bukan membangun rumah untuk dirinya sendiri.

Dengan terbitnya buku “Sejuta Pesantren Disebut POSKO”, diharapkan masyarakat semakin memahami hakikat gerakan POSKO sebagai model dakwah yang ramah, lembut, dan dekat dengan kebutuhan umat masa kini. Buku ini menjadi rujukan penting bagi generasi muda, pendakwah, dan penggerak sosial yang ingin menghadirkan kembali peradaban kampung yang damai dan penuh cahaya.

Penulis berharap karya ini menjadi inspirasi bagi siapa pun yang ingin membangun masyarakat dari bawah, dimulai dari kampung dan keluarga. Melalui POSKO, Abuya telah menunjukkan bahwa ruang kecil yang dikerjakan dengan cinta dapat melahirkan perubahan besar. “Dari kampung kecil, lahir peradaban besar,” menjadi pesan utama yang ingin disampaikan dalam buku ini.