Akhlak kepada Diri Sendiri (1)
Berbeda dengan etika atau moral di luar Islam yang hanya mengatur atau menekankan etika social (hubungan seseorang dengan orang lain dalam kehidupan bermasyarakat), akhlak dalam Islam memiliki spektrum (ruang lingkup pembahasan) yang sangat luas. Selain mengatur hubungan antar sesama manusia dalam kehidupan masyarakat (علاقة الانسان للغير في الحياة الاجتماعية ), akhlak dalam Islam juga mengatur hubungan manusia kepada Allah SWT, Dzat Yang Maha Pencipta dan Pengatur kehidupan manusia dan alam semesta (علاقة الانسان لله) serta hubungan manusia dengan dirinya sendiri (علاقة الانسان لنفسه).
Berbeda dengan etika atau moral di luar Islam yang hanya mengatur atau menekankan etika social (hubungan seseorang dengan orang lain dalam kehidupan bermasyarakat), akhlak dalam Islam memiliki spektrum (ruang lingkup pembahasan) yang sangat luas. Selain mengatur hubungan antar sesama manusia dalam kehidupan masyarakat (علاقة الانسان للغير في الحياة الاجتماعية ), akhlak dalam Islam juga mengatur hubungan manusia kepada Allah SWT, Dzat Yang Maha Pencipta dan Pengatur kehidupan manusia dan alam semesta (علاقة الانسان لله) serta hubungan manusia dengan dirinya sendiri (علاقة الانسان لنفسه).
Pada dasarnya, akhlak manusia terhadap diri sendiri adalah sifat yang melekat dalam diri seseorang yang mencerminkan komitmen dan tanggung jawabnya terhadap keselamatan, kebaikan, dan kemuliaan dirinya yang bertujuan untuk mewujudkan hal-hal sbb.:
- Memelihara agama (حفظ الدين), yaitu komitmen seseorang untuk melaksanakan seluruh ajaran agama Islam yang diyakini kebenarannya, baik dalam bidang aqidah, syari’ah maupun akhlak dan tasawuf. Hal ini dapat terjadi, jika dalam dirinya telah tertanam kewajiban untuk melaksanakan shalat, berpuasa, membayar zakat, menunaikan ibadah haji dsb serta meninggalkan perbuatan dosa seperti ghibah, namimah dan menebar fitnah. Dengan demikian dia akan merasa bersalah atau merasa berdosa jika meninggalkan perintah agama atau melakukan perbuatan maksiat yang dilarang oleh agama, karena menyadari bahwa hal itu akan mendatangkan murka dan ‘adzab Allah SWT. Sebagaimana difirmankan dalam surat An-Nisa’ ayat 59:
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu” - Memelihara jiwa (حفظ النفس), yaitu komitmen seseorang untuk melindungi jiwanya dari hal-hal yang membahayakan (ضرر) dengan mencampakkan dirinya pada kerusakan (kebinasaan), melukai diri sendiri, usaha pembunuhan atau bunuh diri. Sebagaimana difirmankan dalam surat al-Baqarah ayat 195 :
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.
Juga firman-Nya dalam surat al-Nisa’ ayat 29 :
Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. - Memelihara akal (حفظ العقل), yaitu komitmen seseorang untuk memanfaatkan akal yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT untuk berpikir logic dan ilmiah; mengali dan mengembangkan ilmu pengetahuan setinggi mungkin serta melindunginya dari hal-hal yang membahayakan (ضرر) seperti minuman keras, narkoba dan zat-zat adiktif lainnya. Sebagaimana difirmankan dalam surat al-Maidah ayat 90 – 91:
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”. - Memelihara keturunan (حفظ النسل), yaitu komitmen seseorang untuk memelihara keturunan dengan cara menghindari pezinaan. Karena, selain merupakan perbuatan keji yang dimurkai Allah SWT dan menimbulkan berbagai macam penyakit kelamin seperti HIV AIDS, zina juga menjadi penyebab lahirnya anak-anak atau keturunan yang lahir dengan cara haram, meskipun mereka tidak ikut memikul beben dosa akibat perbuatan orang tuanya. Oleh karena itu, Allah SWT secara tegas mengharamkan perbuatan zina sehingga wajib dihindari. Sebagaimana difirmankan dalam surat al-Isra’ ayat 32 :
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. - Memelihara harta atau properti (حفظ المال), yaitu komitmen seseorang untuk memelihara harta atau properti yang telah dianugerahkan Allah SWT kepadanya dengan cara membelanjakan atau memanfaat harta benda di jalan yang benar sesuai dengan petunjuk-Nya, tidak merusaknya, juga tidak tabdzir atau berfoya-foya. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Furqon ayat 67 :
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian”.
Akhlak terhadap Diri Sendiri
Akhlak manusia terhadap diri sendiri (علاقة الانسان لنفسه), tercermin pada sifat-sifat positif sbb.
Pertama: Shidiq, yakni jujur dan benar baik dalam pikiran, ucapan maupun perbuatan. Umat Islam khususnya para santri harus menghiasi diri dengan kejujuran, karena jujur merupakan sifat yang akan memperkokoh dan menjamin integritas kepribadian seseorang, baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial. Di antara contoh kongkret dari sifat al-shidqu adalah bersatunya ucapan dengan perbuatan sehingga perbuatan tidak berbeda apalagi bertentangan dengan ucapan. Jika berjanji maka akan dipenuhi, tidak diingkari. Seseorang yang tidak jujur, maka akan terjermus dalam kemaksiatan, kemunafikan, bahkan akan terjerumus ke dalam neraka jahannam. Na’udzu Billahi dan dzalik. Sebagaimana telah disabdakan oleh Rasululah SAW dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari sahabat Abdullah ibn Mas’ud RA. :
“Sesungguhnya kejujuran akan menunjukkan kepada kebaikan. Dan sesungguhnya kebaikan akan menunjukkan kepada surga. Jika seseorang bersikap jujur, maka akan ditulis di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur. Dan sesungguhnya kebohongan akan menunjukkan kepada kejahatan. Dan sesungguhnya kejahatan akan menunjukkan kepada neraka. Jika seseorang bersikap pembohong, maka akan ditulis di sisi Allah sebagai orang yang sangat pembohong”. (Hadits disepakati oleh Imam ala-Bukhari dan Imam Muslim).[1]
Kedua: Amanah, yakni dapat dipercaya. Umat Islam khususnya para santri harus bersifat amanah atau memiliki integritas moral sehingga tidak menipu, tidak berkhianat, tidak menyalah-gunaan jabatan dan kekuasaan serta selalu berusaha mengemban tugas yang dibebankan kepadanya dengan sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya. Sebagaimana sifat al-shidqu (jujur), al-amanah juga merupakan sifat yang akan memperkokoh dan menjamin integritas kepribadian seseorang, baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial. Kedua sifat ini harus dimiliki oleh setiap orang yang beragama Islam karena merupakan kunci kesuksesan seseorang dalam hidup bermasyarakat. Jika sesorang menghiasi dirinya dengan kedua sifat ini, dapat dipastikan hidupnya akan sukses. Sebaliknya, jika mengabaikan kedua sifat ini, pasti hidupnya akan gagal. Sehubungan dengan itu, Allah SWT telah memerintahkan ummat Islam untuk melaksanakan amanat dengan baik. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Nisa’ ayat 58 :
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
Ketiga: Tawadlu’ (rendah hati). Umat Islam khususnya para santri harus bersifat tawadlu’ atau rendah hati, sehingga semakin banyak ilmunya, semakin tinggi pangkat dan kedudukannya, semakin banyak harta dan pengaruhnya akan semakin bersikap tawadlu’ karena menyadari, bahwa semua yang dimiliki adalah karunia sekaligus amanah dari Allah SWT sehingga wajib disyukuri bukan untuk disombongkan. Sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Sulaiman ketika beliau berhasil memindahkan singgasana Ratu Bilqis dari Yaman ke Palestina. Hal ini dikisahkan dalam surat an-Naml ayat 40 :
Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab (Taurat dan Zabur) “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk menguji aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”.
Bahkan Rasulullah SAW pun diperintahkan oleh Allah SWT agar bersikap tawadlu’ (rendah hati) kepada orang-orang beriman yang mengikuti beliau. Sebagaimana difirmankan dalam surat al-Syu’ara ayat 215:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, Yaitu orang-orang yang beriman”.
Para santri harus bersikap rendah hati, karena sikap rendah hati merupakan cermin dari sifat-sifat orang yang bertaqwa kepada Allah SWT. Para santri tidak boleh menyombongkan diri dengan ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya, karena kesombongan merupakan watak dari syetan yang menolak perintah Allah SWT untuk bersujud (menghormati) Nabi Adam AS. Selain itu, para santri tidak boleh bersikap sombong karena mereka tidak akan tahu nasibnya di akhirat kelak, apakah termasuk orang yang beruntung dengan menjadi penghuni surga, atau termasuk orang yang celaka karena menjadi penghuni neraka, na’udzu billahi min dzalik.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn Abbas, Said ibn Jubair, Amr ibn Dinar, Sufyan ibn al-Humaid, Rasulullah SAW mengkisahkan bahwa pada suatu hari Nabi Musa AS berpidato di hadapan kaumnya dari Bani Israil. Nabi Musa mengajak mereka untuk mensyukuri ni’mat dan karunia Allah SWT dengan melaksanakan seluruh perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Untaian kalimat-kalimat dakwah yang disampaikan oleh Nabi Musa kepada kaumnya tersebut begitu memukau dan menyejukkan hati mereka. Sesudah menyampaikan dakwah, ada salah seorang kaum Bani Israil bertanya kepada beliau; “Wahai Nabi Musa AS, siapakah hamba Allah SWT yang paling pintar di muka bumi ini? Maka Nabi Musa pun menjawab; “Aku lah orangnya yang paling pintar di antara hamba Allah di muka bumi”.
Jawaban itu wajar saja.Karena pada zaman itu hanya Nabi Musa yang berhasil membawa Bani Isra’il kepada hidayah ilahi. Dialah yang telah menaklukkan Raja Fir’aun dengan segala kekuasaan dan kesombongannya.Dia juga telah menaklukkan para tukang sihir istana sehingga mereka mengikuti agama Nabi Musa.Ia juga telah dikaruniai nikmat terbesar sebagai Rasul-Nya yaitu nikmat berupa kesempatan berbicara langsung dengan Allah. Selain itu, beliau juga telah berhasil membongkar rahasia tentang pembunuhan yang kejam.
Baru saja Nabi Musa mengingat kelebihan dan jasa dirinya atas kaumnya itu, datanglah wahyu Allah berupa teguran atas tindakan yang tak sepatutnya dilakukannya.Allah memperingatkannya bahwa seluas apapun ilmu pengetahuannya, itu semua niscaya hanyalah karunia pemberian Allah semata. Dan, tidak menutup kemungkinan bahwa ada hamba-Nya yang lain yang dianugerahi pengetahuan melebihi apa yang diberikan pada Nabi Musa.
Untuk lebih menekankan peringatan-Nya ini, Allah juga memerintahkan Nabi Musa untuk menemui hamba-Nya yang lain, di suatu tempat yang dalam Al-Qur’an disebut “bertemunya dua lautan”.Mendapat perintah itu, Nabi Musa bertanya, “Ya Allah, siapakah hamba-Mu itu? Dan bagaimana aku bisa menemuinya?” Allah menjawab dengan wahyu-Nya, “bawalah seekor ikan yang kau letakkan dalam sebuah keranjang.Di mana pun ikan itu mulai menghilang, maka di sekitar situ lah tempat tinggal orang tersebut”.
Setelah mendapat kejelasan, Nabi Musa segera menyiapkan bekal perjalanannya. Ia juga mengajak serta salah seorang pengikutnya yang paling setia dan dipercaya, Yusya’ bin Nun. Sebagai orang yang bertugas memastikan kelengkapan dan kelancaran perjalanan Nabi Musa, Yusya’ dipesani oleh Nabi Musa, agar dia memberitahu kepada Nabi Musa begitu ikan yang dibawanya menghilang.
Singkat cerita, ketika keduanya beristirahat di suatu tempat di dekat batu besar, di saat itulah ikan yang tadinya sudah mati, tiba-tiba hidup, bergerak-gerak, lalu meloncat dan mengarah ke lautan.
Setelah Yusya’ bin Nun melaporkan kejadian ini kepada Nabi Musa, Nabi Musa pun berkata, “inilah tempat yang kita cari”. Tak lama kemudian, ia pun menyambung, “aku mencium bau manusia. Pasti di sinilah kita akan menemui hamba Allah itu.”
Ternyata hamba Allah itu adalah seorang laki-laki tua yang kurus badannya, tetapi wajah dan sorot matanya menampakkan cahaya kenabian yang terpancar ke hadapan Nabi Musa. Setelah mengulukkan salam, ternyata orang tersebut sudah mengetahui seluk-beluk identitas Nabi Musa, seperti namanya dan statusnya sebagai pemimpin Bani Israil. Nabi Musa mulanya heran akan hal ini. Namun ia segera menyadari bahwa orang ini mungkin memang orang yang dimaksudkan oleh Allah. Karenanya, ia segera saja mengemukakan, “tujuanku kemari adlah untuk memenuhi perintah berguru kepadamu, apakah engkau berkenan mengajariku ilmu-ilmu yang sudah dianugerahkan Allah kepadamu?
Lalu laki-laki yang kemudian diketahui bernama Khidir itu berkata, “Wahai Musa, sesungguhnya engkau tidak akan sanggup bersabar diri bersamaku.Allah telah mengajariku ilmu pengetahuan tentang sesuatu yang ghaib, yang engkau sendiri belum diajari oleh-Nya.Tetapi, jika engkau memang ingin belajar bersmaku, syaratnya, jangan sekali-kali menanyakan tentang sesuatu yang aku lakukan, kecuali akan aku jelaskan sendiri kepadamu”.Setelah syarat ini disepakati, Nabi Musa mulai mengikuti perjalanan dan segala gerak-gerik Khidir AS.
Ketika keduanya menyusuri tepi pantai, Nabi Khidir mengatakan, “wahai Musa, ketahuilah sesungguhnya perbandingan dan perumpamaan ilmu Allah dengan ilmu manusia adalah ibarat seluruh air di lautan dan sedikit air yang membasahi kakimu sebagai karunia-Nya kepada manusia. Dan kelak, manusia akan dimintai pertanggungjawaban akan ilmunya kelak”.
Setelah itu, Nabi Khidir naik ke atas perahu dan justru merusak dinding perahu itu. Melihat perbuatan yang janggal itu, Nabi Musa spontan menegurnya, “apakah engkau hendak merugikan orang lain dan menenggelamkan perahu ini dan awaknya?”. Nabi Khidir hanya menjawab, “bukankah sudah ku katakana bahwa jangan menanyakan sesuatu hingga aku menjelaskannya sendiri?”.
Setelah meminta maaf, Nabi Musa kembali mengikuti perjalanan Khidir AS. Hingga ketika mereka sampai di suatu perkampungan, lalu bertemu dengan anak kecil di kampong tersebut, Khhidir AS justru mencekik bocah itu hhingga mati di tangannya sendiri.Nabi Musa yang kaget melihat itu kontan bereaksi, “mengapa engkau membunuh anak tak berdosa ini, bukankah kau sudah melakukan kemungkaran”.Namun, Nabi Khidir hanya menjawab sebagaimana pada kesempatan sebelumnya.
Lalu keduanya meneruskan perjalanan sampai ketika mencapai suatu daerah yang penduduknya tak mau menghormati keduanya selayaknya tamu.Tetapi, ketika keduanya melihat suatu dinding rumah yang hamper rusak, Nabi Khidir justru memperbaikinya hingga tegak kembali.Nabi Musa yang keheranan kkembali bertanya, “kenapa engkau memperbaiki rumah itu, padahal pemiliknya sama sekali tak menghargai kita”.Nabi Khidir yang sudah merasa cukup hanya menanggapi, “sepertinya ini menjadi perpisahan antara aku dan engkau, karena engkau telah berkali-kali melanggar kesepakatan dan syarat yang sudah ditentukan tadi. Namun sebelum berpisah, akan aku jelaskan alasan-alasan kenapa aku mengerjakan hal-hal yang ku lakukan tadi.
Pertama, tindakanku merusak kapal, itu karena aku tahu bahwa di pulau seberang, tempat para nelayan akan berlabuh, ada seorang penguasa yang akan merampas kapal-kapal di sana. Dengan merusaknya, maka penguasa itu jadi tak berminat mengambil kapal itu, dan pemilik kapal bisa memperbaikinya kembali tanpa ia harus kehilangan kapal. Sedangkan anak kecil yang aku bunuh tadi, ia adalah anak yang ketika dewasa kelak akan menjadi seorang yang ingkar dan durhaka kepada Allah dan orang tuanya. Dengan membunuhnya, aku justru menyelamatkan nasibnya dari siksa Allah di akhirat kelak.Yang terakhir, tembok rumah yang aku perbaiki tadi, di bawahnya terdapat harta benda orang tua yang diwariskan kepada anak yatim pemilik sesungguhnya dari rumah tersebut.Kalau sampai dinding rumah itu rubuh dan lalu ketahuan di bawahnya terdapat harta peninggalan, niscaya harta itu akan diambil lebih dulu oleh walinya dan penduduk kampong itu, tanpa pernah sampai kepada si anak yang berhak mewarisinya”.
Bersikap rendah hati (tawadlu’), bukan berarti bersikap rendah diri (minder) dengan takut menyampaikan pendapat dan aspirasi; takut berpakaian yang bagus dsb.Imam Abu Hanifah mengajarkan, sebagai orang yang berilmu, para santri harus tampil dengan pakaian yang bagus dan rapi, agar tidak direndahkan orang lain. Demikian juga, para santri harus berani menyampaikan pendapat dan aspirasi serta menghadapi siapa pun,dengan tetap menjaga sopan santun dan al-akhlak al-karimah.
[1] Al-Imam Abi Zakaria Yahya ibn Syaraf al-Nawawi al-Dimasyqi, Riyadu al-Sholihin, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Jakarta, 2010, h. 33
Bersambung ke Akhlak kepada Diri Sendiri (2)…