WALI RAJA: CAKRANINGRAT IV DALAM BAYANGAN SUFI

Wali Cakraningrat

Mei 3, 2025 - 08:47
WALI RAJA: CAKRANINGRAT IV DALAM BAYANGAN SUFI
Wali Cakraningrat

Alhamdulillah, setelah rehat sejenak kita dapat bersua kembali dalam fragmen-fragmen baru yang mengisahkan tentang sisi lain dari Sang Pangeran yang belum pernah terungkap. Tentang karomah, kesaktian dan kebijaksanaan nya sebagai seorang sufi/wali yang sengaja di hapus dan di tenggelamkan oleh sejarah (Belanda) dan para pihak yang tidak menginginkan kebenaran ini terungkap; Sebuah Novel Sejarah "WALI RAJA: CAKRANINGRAT IV DALAM BAYANGAN SUFI)

Oleh: Abdur Rahman El Syarif

PROLOG Dalam Bayang yang Terlupakan

 ما دامت الأسود عاجزةً عن الكتابة والقراءة، فستبقى روايات الصيد تمجِّد الصيادين.

"Selama singa tak bisa menulis dan membaca, maka sejarah perburuan akan selalu memuliakan para pemburu."

Demikian pepatah Arab klasik yang menggambarkan bahwa sejarah dan kebenaran yang seringkali dikubur oleh para pemenang. Ketahuilah, bahwa sejarah bukan sekadar catatan peristiwa, ia adalah bayangan yang ditarik oleh cahaya kekuasaan.

Dalam setiap kemenangan, ada kebenaran yang disingkirkan, bukan karena salah, tetapi karena tak sempat bersuara dan sengaja disembunyikan dan bahkan dimusnahkan.

Para pemenang menulis dengan tinta kehormatan sementara yang kalah terkubur dalam diam dan luka. Padahal di antara reruntuhan, terselip kisah yang lebih jujur, kisah para sufi, para pemberani, para pencari kebenaran yang tak butuh panggung, hanya ruang dalam hati manusia untuk diingat kembali.

Hakikat kebenaran jarang sekali kita temukan dalam sudut-sudut istana, tapi terpendam jauh di dalam relung-relung hati mereka yang tertindas dan terbungkam dan akan hanya dapat didengar dan dirasakan oleh mereka yang mau mendengarkan dan terpilih sebagai penerus suara kebenaran.

Demikianlah ungkapan ini mengawali petualangan panjang penelusuran dan pencarian tentang kebenaran yang belum terungkap dari sang kusuma negara (kembhàngnga naghàrà), Pangeran Cakraningrat IV.

Sejarah adalah bayang-bayang panjang dari cahaya yang kita pilih untuk nyalakan. Ada tokoh-tokoh yang dikenang karena takhta, ada pula karena pedang. Namun jarang kita membuka ruang bagi mereka yang menyalakan cahaya dari dalam, dalam kesunyian, dalam pengasingan, dalam zikir yang tak tercatat oleh tinta kekuasaan. 

Bagi banyak orang, nama Pangeran Cakraningrat IV adalah simbol keberanian dan kebangsawanan Madura. Ia dikenang sebagai kusuma negara, kembang agung negeri, penguasa yang bangkit melawan penjajahan, yang dibuang namun tak pernah tunduk.

Namun, benarkah itu seluruh dirinya? Apakah kisahnya hanya sebatas takhta dan pengasingan, strategi dan pemberontakan?

Buku ini tidak lahir untuk membantah sejarah, tetapi untuk menyingkap lapisan terdalam dari seorang raja yang selama ini terbungkus oleh narasi duniawi. Sebab di balik sabda perangnya, ada wirid yang tak terdengar. Di balik keberaniannya, ada kesunyian panjang yang membentuknya.

Cakraningrat IV bukan hanya raja, ia adalah murid dari langgar sunyi. Bukan hanya pejuang, ia adalah penempuh jalan ruhani. Di dalam dirinya, dua jalan bertemu: pecut dan tasbih, istana dan sajadah, Madura dan Mi'raj. Kisah ini adalah upaya untuk menziarahi sisi yang dilupakan bahwa seorang raja bisa pula menjadi wali, dan seorang wali kadang menyamar menjadi raja.

Jika selama ini kita mengenalnya dari luar, biarkan kali ini kita mengenalnya dari dalam. Dari titik kelam tempat ia ditundukkan, hingga cahaya yang perlahan ia pancarkan.

Dari keturunan yang diwarisi, hingga maqam yang diperjuangkan. 

Dan semoga, melalui lembar demi lembar, kita tidak hanya membaca sejarah, tetapi juga menyalakan kembali ingatan spiritual yang lama tertidur.

Sebab tak semua pahlawan bersorban, dan tak semua wali berseragam. Namun mereka tetap menjaga tanah ini, dengan zikir, darah, dan cinta. (Bersambung)