Viktor Frankl dan Pandemi COVID-19: Menemukan Makna di Tengah Krisis Kesehatan Mental dan Ekonomi

Okt 12, 2024 - 04:32
Okt 12, 2024 - 05:26
Viktor Frankl dan Pandemi COVID-19: Menemukan Makna di Tengah Krisis Kesehatan Mental dan Ekonomi

Bagi pembaca psikologi dan pemikiran eksistensialis nama Viktor Frankl tentu tidak asing. Dalam disiplin psikologi Frankl termasuk dalam tokoh aliran psikologi humanisme, aliran yang muncul sebagai antitesa dari dua aliran terdahulu yakni psikoanalisa dan behaviorisme.

Nama lengkapnya adalah Viktor Emil Frankl. Neurolog, psikiater, dan Yahudi berkebangsaan Austria. Frankl salah satu korban Holocaust Nazi yang selamat. Ia pernah disekap di beberapa kamp kematian Nazi antara tahun 1942–1945. Dalam kamp konsentrasi Frankl menyaksikan keluarga dan orang-orang Yahudi menderita dan bertarung melawan rasa takut dan keputusasaan akibat siksaan.

Banyak warga Yahudi yang meninggal karena tak mampu menghadapi rasa sakit. Namun ada juga yang mampu bertahan. Frankl adalah salah satunya sementara sebagian besar keluarganya (orangtua, saudara laki-laki, termasuk istri yang tengah hamil) tewas karena tidak tahan dengan siksaan.

Dari pengalaman hidup menderita dalam kamp Nazi itu Frankl menemukan pemahaman bahwa manusia tidak dapat menghindari penderitaan namun dapat memilih cara mengatasinya, menemukan makna di dalamnya, dan melangkah maju dengan tujuan baru. Pengalaman pahit selama dalam kamp nazi ia bukukan dalam Man’s Search for meaning yang kemudian mendasari teori logoterapi.

Frankl menjelaskan dorongan utama manusia dalam hidup bukanlah kesenangan (seperti diteorikan psikoanalisa) atau distimulasi bahkan didikte oleh lingkungan (seperti kata psikologi behaviorisme) melainkan penemuan dan pencarian dari apa yang secara pribadi manusia temukan bermakna. Apa pun dapat dirampas dari manusia tapi tidak dengan kebebasan untuk menentukan sikap dalam setiap keadaan.

Frankl beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) merupakan motivasi utama manusia menggapai kehidupan penuh makna (the meaningful life). Sederhananya mereka yang mampu menemukan makna hidup dan mampu menumbuhkan hasrat untuk bermakna dapat meraih kehidupan yang bermakna bagi dirinya.

Orang Yahudi yang mampu bertahan di kamp konsentrasi Nazi dalam penglihatan Frankl adalah yang mampu menemukan, mempertahankan hasrat, dan meraih kehidupan yang bermakna sebaliknya para penghuni kamp yang akhirnya meninggal bahkan memutuskan bunuh diri adalah mereka yang gagal mempertahankan kebermaknaan dalam diri sehingga kehilangan hasrat untuk hidup (putus asa).

Covid 19, Resesi Ekonomi, dan Krisis Kesehatan Mental

Bayangkan pandemi covid 19 yang berlangsung kurang lebih dua tahun (2019–2021) dan efeknya hingga sekarang sebagai situasi kamp Nazi. Bayangkan kita berada di dalamnya, sebut saja namanya kamp konsentrasi covid 19.

Pada kamp Nazi para Yahudi disiksa secara fisik dan membuat mental mereka hancur sedangkan dalam situasi pandemi covid 19 kita mengalami siksaan mental berupa kecemasan, depresi, ketakutan akan kematian, ketegangan dan was was karena berkurangnya penghasilan.

Pada kamp Nazi orang Yahudi mengalami krisis fisik dan mental sedangkan kita mengalami krisis berantai yakni dari krisis kesehatan yang merembet pada krisis ekonomi dan berujung pada krisis mental.

Jika korban kamp Nazi meninggal karena siksaan fisik dan keputusasaan karena penderitaan maka korban pandemi covid 19 karena serangan virus corona dan tekanan cemas dan depresi.

Orang-orang Yahudi korban kamp Nazi kehilangan harapan hidup karena intensitas siksaan yang mereka rasakan. Kita nyaris kehilangan harapan karena situasi pandemi yang berlarut bahkan efeknya sampai pada resesi ekonomi.

Menemukan kembali makna hidup sebagai penawar kegalauan akibat resesi ekonomi pasca covid 19.

Dalam kamp Nazi banyak korban meninggal tapi juga ada yang mampu bertahan melewati keadaan. Begitupun dalam situasi pandemi covid 19 banyak yang meninggal tapi lebih banyak yang mampu bertahan walaupun sama sama terkena sindrom cemas dan depresi.

Mereka yang bertahan adalah yang dikatakan Frank sebagai orang yang menemukan pemahaman bahwa manusia tidak dapat menghindari penderitaan namun dapat memilih cara mengatasinya, menemukan makna, dan melangkah maju dengan tujuan baru.

Salah satu cara menghadapi situasi penuh penderitaan menurut pengamatan Frankl adalah dengan humor. Menertawakan situasi dan kondisi walaupun pikiran dan perasaan tertekan sebagai pintu keluar dari kekalutan. ‘Humor was another of the soul’s weapon in the fight for self-preservation’ demikian sabda Frankl.

Humor dapat menjadi penawar derita ketika hidup dalam keadaan pahit. Orang memiliki dasar humor yang setiap saat dapat digunakan sebagai pemecah kegalauan dan kegabutan.

Di saat situasi ekonomi tidak menentu, ketiadaan pekerjaan dan penghasilan, konflik rumah tangga yang kian memanas akibat kesulitan ekonomi, dan permasalahan interpersonal lain yang memicu dan memacu ketegangan fisik dan mental pasca covid 19, menertawakan situasi diri adalah salah satu pilihan mengembalikan kondisi mental stabil sehingga membantu psikis menerima keadaan dengan lapang dada sambil berupaya menemukan makna dan melangkah maju menuju tujuan dan kehidupan baru. Dengan begitu kita termasuk bagian dari orang yang selamat dari kamp konsentrasi covid 19 beserta efeknya. 

Penulis: Muhammad Ghufron Alumni UIN Jakarta

Editor: Khumaedi NZ 

Khumaedi NZ Santri Gedongan, Penikmat Kopi Angkringan.