Syeikh Marwani Angin; Ulama Kharismatik Asal Rancailat, Tangerang

Rancailat adalah nama desa yang terletak di perbatasan Kecamatan Kresek dan Kronjo. Nama tersebut berasal dari kata “Ranca” yang berarti Rawa dan “Ilat” yang berarti lidah. Pemberian diksi “Rawa” ditafsirkan sebagai kobangan air yang disekitarnya dipenuhi flora dan fauna.
Desa Rancailat terbagi menjadi beberapa kampung seperti Kampung Kandang, Pecung, Tonjong, Bojong, Cayur dan Rancailat Utara. Cikal bakal Desa Rancailat ada di kampung Rancailat Utara yang tepat berada di ujung utara Desa Rancailat. Pemberian nama desa tersebut juga berkaitan dengan letak wilayahnya yang dikelilingi oleh sawah. Sehingga, desa ini diumpamakan seperti lidah dan giginya sebagai sawah. Jadi, Desa Rancailat adalah gambaran lidah yang dikelilingi oleh gigi.
Legenda Musafir Sakti yang Dikecewakan
Ada semacam legenda di desa ini yang menyebabkan rasa air di Desa Rancailat menjadi asin dan hambar. Zaman dahulu ada seorang musafir beristirahat di Desa Rancailat. Ia merasa sangat lapar dan haus. Ia meminta makanan warga setempat tetapi warga disana tidak ada yang memberinya makan dan minum sedikitpun. Akhirnya dengan rasa kesal dan amarah musafir itu mengutuk seluruh penduduk Desa Rancailat agar terjadi kemarau sehingga menyebabkan kekeringan yang berkepanjangan. Kemudian lambat laun, sedikit demi sedikit mata air di Desa Rancailat mulai mengucur. Sayangnya, rasa air tersebut telah berubah menjadi asin dan hambar. Di sisi lain, secara geografis, rasa air yang asin itu sangat wajar karena jarak antara Desa Rancailat menuju laut lumayan dekat sebagaimana tempat wisata dan ziarah Pulo Cangkir dan Tanjung Kait.
Syeikh Marwani; Ulama Besar Setempat yang dilupakan Generasi Milenial
Wilayah Desa Rancailat menurut penduduk setempat adalah wilayah agamis. Banyak sekali hal-hal menakjubkan yang terdapat di sini diantaranya adalah cerita tentang Syeikh Marwani Angin. Menurut cerita, Syeikh Marwani tidak memiliki garis keturunan yang istimewa. Namun berkat ketaatannya yang dalam serta tirakatnya yang kuat, Syeikh Marwani menjadi salah satu ulama hebat di wilayahnya pada masa itu.
Syeikh Marwani hanyalah rakyat biasa yang seumur hidupnya tidak pernah makan nasi. Ia hanya memakan oncom tanpa garam yang dibungkus dengan aci sebagai pengganti makanan pokoknya. Perjalanan rohaninya bermula ketika ia frustasi disebabkan kematian anaknya yang tercebur sumur. Setelah itu, ia memutuskan untuk melalang buana hingga wilayah Jakarta Barat dan Jakarta Selatan. Ia sempat dianggap gila oleh sebagaian penduduk setempat. Namun kenyataannya yang mengatakannya gila justru kehidupannya tidak berkah. Menurut informasi, apa yang pernah ia ucapkan dulu, kini menjadi kenyataan. Konon, ketika ia dan rombongannya kehujanan dalam suatu perjalanan, baju orang-orang yang ikut serta basah karena kehujanan, sedangkan ia tidak.
Dalam mengemban misi dakwah, ia mendirikan Masjid Al-Aqsha dengan usahanya sendiri tanpa meminta sepeserpun dari warga. Demikian juga warga setempat, tidak ikut menyumbangkan hartanya untuk membangun masjid ini. Padahal selama hidupnya, ia hanya tinggal di sebuah gubuk. Masjid Al-Aqsha mulai dibangun pada tahun 1990 dan selesai dibangun pada tahun 2002. Masjid ini berasitektur Arab-Jawa.
Syeikh Marwani wafat pada tahun 2007 dan dimakamkan di bangunan yang berseberangan dengan Masjid Al-Aqsha yang berdekatan dengan kediaman keluarga. Sampai saat ini, setiap malam jumat banyak sekali jamaah yang menziarahi pesareannya. Menurut cerita, siapa saja yang memiliki masalah kehidupan kemudian dan datang bertaqarrub serta melaksanakan shalat di lima masjid di Rancailat yang salah satunya adalah Masjid Al-Aqsha ini, maka Insyaa Allah permasalahannya akan segera terselesaikan.
Berdasarkan cerita lain, ada tamu dari Arab yang mengaku bertemu dengan Syeikh Marwani dan diminta untuk datang ke Desa Rancailat. Padahal pada waktu itu sang ulama sudah meninggal. Wallaahu a’lam.[]