Puasa Rajab, Sunah Atau Bid’ah?

September 18, 2023 - 08:36
Puasa Rajab, Sunah Atau Bid’ah?

Jika sudah datang Bulan Rajab, kebiasaan kita adalah puasa. Saat di pesantren puasanya dilakukan hingga satu bulan penuh, seperti halnya di Bulan Ramadhan. Di samping manut pada kiai, itu pun karena sudah jadi tradisi amaliah ulama terdahulu. Kita tidak sekali-kali menanyakan apa dalilnya? Kalau ulama sudah mengamalkan puasa sunah di Bulan Rajab itu artinya ulama kita sudah tahu dalilnya. Lalu untuk apa menanyakan kesahihan hadits dalam menghukumi suatu fadilah (keutamaan) dalam ibadah, seperti puasa ini. Jika pun itu dlaif, tetap matannya dari sabda Kanjeng Nabi Muhammad saw. meski sanad dan rawinya lemah.

Merujuk pada kitab Alfiyah al-Hadits karya Syekh Abi Al-Fadlol Zaenudin Abdi Rahim al-Iroqi (hlm: 11), kitab yang menjelaskan tentang Ilmu Mustholahul Hadits yang disusun secara nadhzam jumlah 1000 bait,

وان تصل بسند منقولا  # فسمه متصلا موصولا

سواء الموقوف و المرفوع # ولم يروا ان يدخل المقطوع

وسم بالموقوف ما قصرته # بصاحب وصلت او قطعته

وبعض اهل الفقه سماه الأثر # وان تقف بغيره قيد تبر

Dalam bait ini, Syekh Zaenudin al-Iroqi telah memetakan posisi hadits dlaif tidak melulu ditolak untuk dijadikan dalil, sebab baginya status dlaif hanya tidak sampai pada derajat hasan, apalagi shahih (mutawatir). Jika itu basath (luas artinya) maka boleh baghyun (diambil).

Bait di atas menjelaskan bahwa sebagian ahli fiqih menamakan hadits mauquf (bagian dari dlaif) sebagai al-Atsar (qaul sahabat Nabi) kalaupun itu berkaitan dengan apa yang dilakukan oleh kanjeng Nabi, maka bagus diambil sebagai hujjah. Apalagi berkait dengan fadlailul a’mal (keutamaan-keutamaan amal ibadah).

Sementara itu kita mengenali Rajab termasuk dalam bulan yang dimuliakan (al-asyhur al-hurum) karena beberapa kemuliaan yang terkandung di dalamnya, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Swt. berikut:

   اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌۗ .

Artinya: Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan (sebagaimana) ketetapan Allah (di Lauh Mahfuz) pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. (QS At-Taubah : 36).    

Merujuk pada kitab tafsir Tanwiru al-Miqbasi (hlm : 122), Ibnu Abbas ra. telah menafsirkan bahwa lafaz أربعة حرام yang dimaksud bulan Rajab, Dzulqaidah, Dzulhijjah dan bulan Muharam.

Demikian juga bulan Rajab. Menurut Sayyid Abu Bakar Syattha’ dalam I’anah al-Thalibin bahwa ‘Rajab’ sendiri diambil dari kata ‘at-tarjib’ yang berarti memuliakan, karena masyarakat Arab dulu lebih memuliakannya dibanding bulan lainnya. Rajab disebut juga ‘al-ashabb’ yang berarti mengucur, karena kebaikan pada bulan ini mengucur deras. Dinamakan pula ‘al-‘ashamm’ yang berarti tuli, karena pada bulan tersebut tidak terdengar gemerincing senjata untuk berkelahi. Juga dinamakan ‘rajam’ yang berarti melempari, karena pada bulan ini para musuh dan setan dilempari sehingga tidak bisa lagi mengganggu para wali Allah dan orang-orang shalih.  

Salah satu amalan yang disunahkan dalam Bulan Rajab adalah berpuasa. Menurut Imam al-Ghazali (w. 1111 M), kesunahan berpuasa lebih ditekankan pada hari-hari yang memiliki kemuliaan. Momen memperoleh kemuliaan tersebut adakalanya dalam setiap tahun, setiap bulan ataupun setiap pekan. Dalam kategori tahunan terdapat pada bulan Dzulhijjah, Muharram, Rajab, dan Sya’ban (Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, juz 3, hlm: 431).  

Menurut Hujjatul Islam, melaksanaan puasa Rajab dilakukan hanya beberapa hari saja. Tidak diperkenankan selama satu bulan penuh. Sebagian sahabat Nabi, lanjut al-Ghazali, memakruhkan puasa Rajab selama satu bulan penuh karena dianggap menyerupai puasa bulan Ramadhan. Sebagai saran, puasa Rajab baiknya dilakukan saat bertepatan hari-hari utama agar pahalanya lebih besar. Seperti pada ayyamul bidh (tanggal 13, 14, dan 15), hari Senin, hari Kamis dan hari Jumat (al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, juz 3, hlm : 432).

Imam Fakhruddin al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib (juz 16, hlm : 54) dengan mengambil landasan salah satu hadits terkait keutamaan puasa di Bulan Rajab, meskipun pelaksanaan puasa berbeda-beda pendapat ada yang di awal, ada yang pertengahan bahkan ada yang hingga satu bulan penuh. Imam al-Razi mengambil dalil terkait puasa sunah di Bulan Rajab yaitu hadits Rasulullah saw., yaitu, 

   مَنْ صَامَ يَوْمًا مِنْ أَشْهُرِ اللّٰهِ الْحُرُمِ كَانَ لَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ ثَلَاثُونَ يَوْمًا  

Artinya: Barang siapa yang berpuasa satu hari pada bulan-bulan yang dimuliakan (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab), maka ia akan mendapat pahala puasa 30 hari.

Imam al-Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim (hlm: 167) telah menjelaskan,

وفي سنن ابي داود ان رسول الله ندب الى الصيام من الاشهر الحرم و رجب احدها

Artinya: Dan di dalam riwayat Abu Dawud bahwa Rasulullah menganjurkan puasa pada bulan-bulan mulia dan salah satunya bulan Rajab.

Dalam kitab Fathul Mu’in (hlm : 59) Syekh Zaenudin al-Malibari menerangkan keutamaan bulan setelah Ramadhan untuk berpuasa sunah, 

افضل الشهور للصوم بعد رمضان الاشهر الحرم و افضلها المحرم ثم رجب ثم الحجة ثم القعدة ثم شهر شعبان

Artinya: Keutamaan bulan untuk puasa setelah Bulan Ramadhan adalah bulan-bulan yang dimuliakan, dan yang lebih utama yaitu Bulan Muharram, kemudian bulan Rajab, kemudian Bulan Dzulhijjah, kemudian Bulan Dzulqaidah kemudian Bulan Sya’ban.

Dengan demikian, kita muslim tidak harus ragu pada soal-soal ibadah, pada soal-soal keutamaan ibadah, karena sebelum kita mencari-cari dalil sekalipun, para kiai, ulama kita sudah mentradisikan puasa Rajab sejak dulu. Jika ditanya apa ulama kita tidak berdasarkan dalil, jawabnya jelas pakai dalil. Lalu kenapa penceramah belakangan ini tiba-tiba menggugat kesahihan hadits puasa Rajab. Ini seperti anak TK yang seolah sedang mengajarkan abjad kepada Doktor.

Penulis: Hamdan Suhaemi (Pengurus Idaroh Wustho JATMAN Banten)
Editor: Khoirum Millatin