Mengenal Guru Marzuki Pendiri NU di DKI Jakarta

September 27, 2023 - 13:30
 0
Mengenal Guru Marzuki Pendiri NU di DKI Jakarta

Berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) di DKI Jakarta tidak bisa terlepas dari peran penting salah satu sosok ulama Betawi yaitu Guru Marzuki. Beliau memiliki nama lengkap KH. Ahmad Marzuki bin Ahmad Mirshad.

Ketika belajar di Mekkah, Guru Marzuki berteman dengan KH. Hasyim Asy’ari. Guru Marzuki tertarik ketika mendengar bahwa temannya, KH. Hasyim Asy’ari mendirikan NU di Jawa Timur dan diminta untuk mendirikan NU di Jakarta. Namun sebelum memutuskan untuk mendirikan NU di Jakarta ada hal yang unik,  Ia memberikan syarat, jika para perempuan dan santri perempuan di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, yang dipimpin Hadhratussyaikh KH Hasyim Asy`ari tidak menutup auratnya secara benar, sesuai syariat, ia menolak pendirian dan kehadiran NU di tanah Betawi.

Ia kemudian mengutus orang kepercayaannya ke Tebu Ireng untuk melihatnya secara langsung. Dari hasil pengamatan orang kepercayaannya ini ia mendapatkan informasi bahwa para perempuan dan santri perempuan di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, menutup auratnya dengan benar, sesuai syariat. Selain itu juga ia mengetahui bahwa NU memiliki pemahaman yang sama dengan Guru Marzuki dan masyarakat Betawi di bidang aqidah Islam yaitu Ahlusunnah Wal Jama’ah Atas informasi ini, maka ia mendeklarasikan NU di Jakarta dan sebagai Rais Syuriah hingga wafat pada tahun 1934 M.

Guru Marzuki lahir di Rawabangke (Rawa Bunga) Jatinegara (dulu Meester Conelis Batavia), Jakarta Timur, pada malam Ahad, 16 Ramadhan 1293 H/1876 M. Ayahnya bernama Ahmad Mirshad, merupakan keturunan keempat dari Sultan Laksana Melayang, salah seorang pangeran dari Kesultanan Melayu Pattani di Muangthai Selatan. Fatimah binti Syihabuddin Maghrobi Al-Maduri merupakan ibu dari guru Marzuki, berasal dari Madura dan keturunan Maulana Ishaq Gresik, seorang khatib di masjid Al-Jami’ul Anwar Rawa Bangke (diperkirakan berdiri sejak abad ke 19).

Ayahnya meninggal ketika usianya 9 tahun dan ia diasuh oleh ibunya. Ketika umur 12 tahun ia mendalami Al-Qur’an kepada seorang guru yang bernama Haji Anwar. Ia mengaji kitab langsung berguru kepada seorang keturunan Arab bernama Sayyid Usman bin Muhammad Banahasan yang kelak menjadi ayah tirinya. Pada usia 16 tahun atas permintaan Sayyid Usman ia berangkat ke Makkah sekitar bulan Rajab atau Sya’ban 1325 H dan menetap di sana selama tujuh tahun.

Silsilah Guru Marzuki

Di kota suci itu ia menimba ilmu dari banyak ulama terkemuka, seperti Syaikh Mahfud at-Termasi, Syaikh Muhammad Ali Al-Maliki, Syaikh Ahmad Khatib al Mingkabawi, dan masih banyak lagi ulama yang lainnya. Guru Marzuki belajar macam disiplin ilmu mulai dari fiqih, tafsir, ushul fiqih, hadist, hingga ilmu mantiq (logika). Ia juga mendalami ilmu tasawuf dan juga memperoleh ijazah untuk menyebarkan taraket Alawiyyah dari Syaikh Muhammad Umar Syatha yang memperoleh silsilah tarekatnya dari Syaikh Ahmad Zaini Dahlan.

Setiba kembali ke tanah air, atas permintaan Sayyid Usman Banahasan ia mengajar di Masjid Jami’ul Anwar Rawabangke pada 1332 H dan ia menggantikan Sayyid Usman mengajar hingga Sayyid Usman wafat. Pada 1340 H guru Marzuqi pindah ke Kampung Muara (Cipinang Muara). Di sinilah ia merintis berdirinya pesantren di tanah miliknya yang cukup luas. Santri yang bermukimpun tidak banyak, kira-kira sekitar 50 orang.

Guru Marzuki mengajar kepada muridnya terbilang unik, yaitu sambil berjalan di kebun dan berburu bajing (tupai). Ke mana sang guru melangkah, ke sana pula para muridnya mengikutinya dalam formasi kelompok. Setiap kelompok murid biasanya terdiri dari empat atau lima orang yang belajar kitab yang sama, satu orang diantaranya bertindak sebagai juru baca.  Sang guru akan menjelaskan bacaan murid sambil berjalan. Setiap satu kelompok selesai belajar, kelompok yang lain belajar kitab lain menyusul di belakang dan melakukan hal yang sama seperti kelompok sebelumnya.

Mengajar dengan cara duduk hanya dilakukan oleh guru Marzuki untuk konsumsi masyarakat umum di Masjid. Meskipun demikan, para santri juga ikut bergabung di sini, bahkan beberapa santrinya secara bergiliran membacakan sebagaian isi kitab untuk sang guru yang memberi penjelasannya kepada muridnya itu.

Para juru baca dan santrinya itu kelak menjadi ulama terpandang di kalangan masyarakat Betawi, seperti KH Noer Alie (pahlawan nasional, pendiri perguruan At-Taqwa, Bekasi), Mu`allim Thabrani Paseban (kakek dari KH Maulana Kamal Yusuf), Guru Ishak (Jatinegara) KH Abdullah Syafi`i (pendiri perguruan Asy-Syafi’iyyah), KH Thohir Rohili (pendiri perguruan Ath-Thahiriyyah), KH Achmad Mursyidi (pendiri perguruan Al-Falah), KH Muhammad Amin (Kalibata), KH Hasbiyallah (pendiri perguruan Al-Wathoniyah).

Makam Guru Marzuki

KH Ahmad Zayadi Muhajir (pendiri perguruan Az-Ziyadah), KH Mahmud (pendiri Yayasan Perguruan Islam Almamur/Yapima, Bekasi), KH Muchtar Thabrani (pendiri YPI Annuur, Bekasi), KH Chalid Damat (pendiri perguruan Al-Khalidiyah), Guru Asmat (Cakung) dan KH Ali Syibromalisi (pendiri perguruan Darussa’adah dan mantan ketua Yayasan Baitul Mughni, Kuningan, Jakarta) dan lain-lain. Sehingga Guru Marzukipun dijuluki sebagai “Gurunya Ulama Betawi.”

Beliau wafat pada Jum’at, 25 Rajab 1352 H atau 02 November 1934 M. Guru Marzuki dimakamkan di komplek Masjid al Marzuqiyah, Jalan Masjid al Marzuqiyah Cipinang Muara, Jakarta Timur.