JEJAK RUHANI DI PANGGUNG KEKUASAAN: SUFISME POLITIK DARI SAMARKAND KE NUSANTARA

JEJAK RUHANI

April 27, 2025 - 10:01
April 27, 2025 - 10:20
JEJAK RUHANI DI PANGGUNG KEKUASAAN: SUFISME POLITIK DARI SAMARKAND KE NUSANTARA
Sufisme Politik Era Sultan Abdul Hamid II

Tulisan sederhana sebagai ikhtiar menterjemahkan Konsep Nawa Mustika (9 Mutiara Hikmah) Jatman NU dari Mudir. Idarah 'Aliyah Jatman NU, Prof. Dr. KH. Ali Masykur Musa

Oleh: Abdur Rahman El Syarif

BAB IV. (Lanjutan) JALUR SUTRA RUHANI: PERJALANAN SUNYI KE ARAH MASYRIQ

4.4. Di Turki Utsmani: Naqsyabandiyah Khalidiyah dan Kebangkitan Islam Institusional Sufisme Politik Era Sultan Abdul Hamid II yang Legendaris

Sultan Abdul Hamid II (1842–1918) adalah salah satu figur paling berpengaruh dalam sejarah akhir Kesultanan Utsmaniyah. Ia naik takhta sebagai Sultan ke-34 pada tanggal 31 Agustus 1876 dan memerintah hingga 27 April 1909. Abdul Hamid II adalah putra dari Sultan Abdulmejid I, lahir dari garis Dinasti Osman yang telah memimpin dunia Islam sejak akhir abad ke-13.

Dalam sejarah, Abdul Hamid II memiliki dua julukan yang mencerminkan pandangan kontras terhadap dirinya. Lawan-lawan politiknya menjulukinya "Abdul Hamid the Red", sementara para pendukungnya mengenangnya sebagai "khalifah terakhir yang efektif". Salah satu warisan terbesar Abdul Hamid II adalah upayanya untuk menghidupkan kembali semangat Pan-Islamisme, dengan menegaskan peran Khalifah Utsmaniyah sebagai pemimpin seluruh umat Islam dunia.

Awal masa pemerintahannya ditandai dengan reformasi, termasuk pengesahan konstitusi Utsmaniyah pertama. Namun, seiring dengan meningkatnya tekanan politik dan ancaman disintegrasi, ia membekukan parlemen dan menjalankan pemerintahan otoriter sejak tahun 1878.

Meski demikian, masa pemerintahannya juga membawa sejumlah kemajuan penting: sistem pendidikan diperluas, jaringan kereta api Hijaz dibangun untuk menghubungkan wilayah suci Islam, serta birokrasi negara diperkuat demi menjaga persatuan kekaisaran.

Kepemimpinannya berakhir saat gelombang gerakan reformis yang dikenal sebagai Turki Muda (Young Turks) berhasil menggulingkannya pada tahun 1909. Setelah dilengserkan, kekuasaan beralih kepada adiknya, Sultan Mehmed V.

Kesultanan Utsmaniyah sendiri memiliki rangkaian panjang para pemimpin besar yang membentang lebih dari enam abad. Grafis berikut adalah urutan lengkap para Sultan Utsmaniyah beserta masa pemerintahannya:

Sultan Abdul Hamid II tercatat sebagai penguasa Utsmaniyah terakhir yang benar-benar memegang kekuasaan absolut. Setelahnya, sultan-sultan berikutnya lebih banyak berperan secara simbolik, hingga akhirnya institusi kekhalifahan dan kesultanan resmi dibubarkan oleh Mustafa Kemal Atatürk pada tahun 1924.

Pada paruh akhir abad ke-19, Kesultanan Utsmaniyah berada di Tengah pusaran krisis multidimensi: tekanan kolonialisme Eropa, pemberontakan nasionalis di Balkan, dan ketidakstabilan internal. Di tengah-tengah badai sejarah ini, bangkitlah sosok Sultan Abdul Hamid II (berkuasa 1876–1909), seorang penguasa visioner yang memadukan politik realis dengan spiritualitas sufistik yang mendalam.

Abdul Hamid II melihat bahwa kekuatan spiritual umat harus dihidupkan kembali untuk memperkuat sendi-sendi negara yang goyah. Ia kemudian menghidupkan kembali peran tarekat, khususnya Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, yang dikenal dengan kedekatannya pada prinsip shariah, disiplin rohani, dan keterlibatan sosial-politik yang terukur.

Syeikh Abu’l-Huda as-Sayyadi: Mursyid Naqsyabandiyah Khalidiyah, Ahlul Bait dari jalur Imam Husain Salah satu tokoh sufi yang berpengaruh pada era ini adalah Syeikh Abu’l-Huda as-Sayyadi (w. 1909), seorang mursyid Naqsyabandiyah Khalidiyah asal Suriah. Ia menjadi penasihat spiritual dekat Sultan, bahkan menduduki posisi penting di istana.

Syeikh Abu’l-Huda as-Sayyadi (wafat 1909) adalah seorang tokoh besar sufi pada akhir masa Kesultanan Utsmaniyah.

Beliau lahir pada tahun 1850 di kota Khan Shaykhun, sebuah kawasan kecil di wilayah Hama, Suriah. Syeikh Abu’l-Huda berasal dari keturunan mulia, berdarah sayyid, yakni keturunan Nabi Muhammad ﷺ melalui jalur Imam Husain. Sejak muda, ia menunjukkan kecintaan yang mendalam terhadap ilmu agama, tasawuf, dan kehidupan spiritual.

Dalam perjalanan ruhaniahnya, Syeikh Abu’l-Huda berafiliasi dengan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, sebuah cabang dari Tarekat Naqsyabandiyah yang diperbaharui oleh Syeikh Khalid al-Baghdadi (w. 1827). Ia belajar kepada sejumlah ulama dan mursyid besar di Suriah dan sekitarnya, memperdalam ajaran tasawuf yang menekankan kesucian hati, adab, dzikir, dan keterikatan batin kepada Allah di tengah kehidupan duniawi.

Sanad tarekatnya bersambung melalui jalur mursyid-mursyid Naqsyabandiyah Khalidiyah, antara lain melalui Syeikh Muhammad Khalid al-Kurdi, dan juga dari jalur para ulama Damaskus dan Hama yang dikenal menjaga kemurnian ajaran Khalidiyah. Ini memberikan otoritas spiritual yang kuat kepada Abu’l-Huda di kalangan sufi zaman itu.

Ketenaran keilmuan, kebijaksanaan, dan kewibawaan ruhaniahnya akhirnya membawanya ke Istanbul, jantung kekuasaan Utsmaniyah. Di masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid II, Syeikh Abu’l-Huda menjadi figur yang sangat dekat dengan Sultan. Ia diangkat sebagai penasehat spiritual utama di istana Yıldız, bahkan diberi kepercayaan untuk mengelola berbagai urusan keagamaan, tarekat, dan jaringan ulama di bawah kekuasaan Utsmaniyah.

Melalui kedekatan ini, Syeikh Abu’l-Huda memainkan peran penting dalam memperkuat Pan-Islamisme Sultan Abdul Hamid II. Ia membantu Sultan dalam menghubungkan jaringan tarekat-tarekat sufi di berbagai belahan dunia Islam untuk memperkokoh loyalitas umat kepada institusi kekhalifahan, sekaligus membendung pengaruh kolonialisme Eropa yang terus menggerogoti negeri-negeri Muslim.

Meski keberadaannya di istana tidak lepas dari kritik baik dari kalangan reformis maupun dari lawan politik, Syeikh Abu’l-Huda tetap dikenang sebagai sosok mursyid yang memberikan warna religius yang kuat dalam tahun-tahun terakhir Kesultanan Utsmaniyah.

Melalui Syeikh Abu’l-Huda, jaringan spiritual sufistik diintegrasikan dengan jaringan kekuasaan administratif, membentuk semacam "jaringan bawah sadar" yang memperkokoh kekuasaan Sultan secara halus namun efektif.

Syeikh Abu’l-Huda tidak datang membawa rencana politik yang rumit. Ia datang membawa pandangan langit, sebuah keyakinan bahwa jika hati umat dijernihkan, maka umat akan bangkit. Dari pertemuan-pertemuan senyap dan penuh takzim di ruang dalam istana Yildiz, lahirlah sebuah visi agung meliputi:

*Pengangkatan para syekh dan mursyid Naqsyabandiyah di berbagai wilayah strategis sebagai agen moral dan sosial, membantu meredam potensi pemberontakan serta menjaga kesetiaan umat di provinsi-provinsi jauh dari pusat kekuasaan.

Dalam dekapan gejolak zaman, ketika Kesultanan Utsmaniyah mulai merasakan rengkuhan usia senjanya, tampillah Sultan Abdul Hamid II sebagai sosok yang tidak sekadar berkuasa, tetapi berikhtiar menjaga nyala api peradaban Islam di tengah badai yang mengancam dari segala penjuru. Ia sadar, bahwa pedang dan meriam saja tak cukup untuk menahan runtuhnya sebuah imperium. Ia butuh kekuatan lain kekuatan yang merasuk ke dalam hati umat, mengikat mereka bukan hanya secara politik, melainkan juga secara ruhani.

Di sinilah Tarekat Naqsyabandiyah menemukan takdir besarnya.

Bukan sekadar para sufi yang tenggelam dalam zikir sunyi, para syekh dan mursyid Naqsyabandiyah di tangan Abdul Hamid II diangkat menjadi pilar-pilar keutuhan negeri. Mereka dikirimkan ke wilayah-wilayah yang jauh dari jantung kekuasaan: ke pegunungan Kurdistan, ke padang tandus Yaman, ke tanah suci Hijaz, bahkan hingga ke lembah-lembah sunyi Asia Tengah. Mereka membawa lebih dari sekadar kitab; mereka membawa pesan: bahwa kesetiaan kepada Khalifah adalah bagian dari kesetiaan kepada Allah.

Dalam setiap zawiyah yang mereka dirikan, dalam setiap halaqah yang mereka pimpin, para mursyid itu menanamkan nilai-nilai kesabaran, ketundukan, dan keikhlasan. Mereka mengajarkan bahwa melayani umat, menjaga perdamaian, dan mencintai tanah air bukan hanya urusan duniawi, tetapi juga ibadah yang mengalirkan pahala. Dari lidah mereka, rakyat mendengar bahwa memberontak kepada Khalifah berarti mengoyak jalinan umat, dan bahwa berdiri dalam barisan bersama sang Khalifah berarti memperteguh benteng Islam di muka bumi.

Dengan cara ini, Abdul Hamid II tidak sekadar memerintah dengan pedang, melainkan dengan hati. Ia membangun jaringan moral yang lebih kokoh daripada benteng batu, menghidupkan solidaritas spiritual yang menjalar melewati batas suku, bahasa, dan budaya.

Ketika dunia luar memandang Kesultanan Utsmaniyah sebagai "manusia sakit Eropa", Abdul Hamid II dengan kebijaksanaan yang nyaris tak bisa dinalar dengan akal biasa, justru menyemai benih ketahanan di tempat-tempat yang jauh dari istana: di masjid-masjid kecil, di sudut pasar, di serambi-serambi zawiyah.

Ia mengubah tarekat menjadi kekuatan halus yang mampu meredam amarah, menahan pecahnya darah, dan mengokohkan harapan. Inilah strategi yang tidak sekadar mengandalkan kekerasan, melainkan merangkul ruhani umat; membuktikan bahwa dalam perjalanan panjang sejarah, sesekali, kekuatan yang paling dahsyat adalah yang tidak terlihat oleh mata, melainkan hanya terasa oleh hati. 

*Pembentukan jaringan madrasah dan zawiyah yang berafiliasi dengan tarekat untuk memperkuat pendidikan Islam berbasis sufistik yang loyal kepada khalifah.

Di bawah langit yang bergejolak, ketika peradaban lama berguncang di hadapan gelombang modernitas dan kolonialisme, Sultan Abdul Hamid II mengerti bahwa mempertahankan kekaisaran bukan hanya soal menjaga wilayah, tetapi menjaga jiwa umat itu sendiri.

Ia paham bahwa benteng sejati bukan hanya berdiri dari batu dan baja, melainkan dari iman, ilmu, dan adab. Maka lahirlah dari visinya sebuah gerakan senyap namun dahsyat: pembentukan jaringan madrasah dan zawiyah, membentang laksana syaraf-syaraf halus yang menghidupi tubuh besar umat Islam dari Samudera Atlantik hingga padang pasir Hijaz, dari Anatolia yang berbukit hingga lembah-lembah Asia Tengah.

Di madrasah-madrasah yang berdiri atas perintahnya, pelajaran tentang fiqih, tafsir, dan hadis tak pernah dipisahkan dari pelajaran tentang tasawuf, tentang pemurnian jiwa, tentang keikhlasan beramal, tentang cinta yang menghantar manusia kepada Rabb-nya. Pendidikan Islam yang lahir di bawah panji Abdul Hamid II bukan sekadar pendidikan akal, tetapi pendidikan hati.

Zawiyah-zawiyah, yang dulu hanya tempat sunyi para pencari Tuhan, kini berkembang menjadi pusat-pusat komunitas: di sinilah anak-anak belajar mengeja huruf pertama Al-Qur’an, para pemuda menghafal hikmah para awliya, dan para orang tua menemukan kembali arah hidup dalam zikir yang membahana. Dari sanalah ruh kesetiaan kepada Khalifah dipupuk bukan dengan paksaan, tetapi dengan keyakinan, bahwa menjaga Khalifah adalah menjaga ikatan umat, menjaga warisan Rasulullah ﷺ.

Di setiap sudut negeri Utsmaniyah, dari Aleppo yang semarak hingga desa-desa terpencil di Yaman, zawiyah dan madrasah itu berdiri seperti bintang-bintang kecil yang menerangi malam panjang. Tidak ada pedang yang mereka hunus, tetapi ada cahaya pengetahuan dan ketakwaan yang mereka nyalakan, melawan kegelapan zaman yang mencoba memutuskan umat dari akarnya.

Lewat jaringan pendidikan sufistik ini, Abdul Hamid II merajut ulang simpul-simpul peradaban Islam yang hampir koyak. Ia mengerti bahwa membangun umat bukan sekadar membangun fisik, melainkan menyucikan hati-hati mereka, menghubungkan mereka dengan warisan ilahi, dan menyiapkan mereka menjadi pejuang kebenaran dalam senyap. Di saat banyak raja kehilangan tahtanya karena serbuan tentara, Abdul Hamid II mencoba bertahan dengan membangun benteng ruhani, sebuah benteng yang hanya bisa diruntuhkan bila manusia melupakan dirinya sendiri.

Dan hingga hari ini, jejak zawiyah dan madrasah itu masih berbisik di antara lorong-lorong sejarah: tentang seorang Khalifah yang percaya, bahwa kekuatan terbesar bukan berada pada genggaman senjata, tetapi pada hati yang tercerahkan dan iman yang tidak tergoyahkan.

*Penggunaan simbolisme khalifah sebagai pelindung umat Islam global, memperkuat posisi Sultan sebagai pemimpin dunia Islam melawan hegemoni Barat.

Di tengah gempuran modernitas Barat dan runtuhnya batas-batas kekuasaan lama, Sultan Abdul Hamid II tidak hanya melihat dirinya sebagai seorang raja atas wilayah daratan dan lautan. Ia menempatkan dirinya dalam posisi yang jauh lebih luhur dan berat: sebagai Khalifah, bayangan pelindung umat Islam di seluruh dunia, dari gurun Sahara hingga ke Nusantara, dari masjid kecil di India hingga kampung-kampung muslim di Rusia.

Di saat bangsa-bangsa Eropa membanggakan senjata dan ilmu pengetahuan, Abdul Hamid II mengangkat satu lambang yang lebih dalam dari keduanya: simbolisme khilafah. Ia menghidupkan kembali makna spiritual-politik yang telah lama terpendam, dan menjadikannya poros kekuatan ruhani umat Islam global. Ia sadar, bahwa simbol bukan hanya hiasan, ia adalah jembatan keyakinan, identitas, dan kekuatan batin.

Lewat khilafah, ia berkata kepada dunia bahwa umat Islam belum selesai, bahwa mereka masih punya pusat, punya kiblat kekuasaan, dan punya pelindung yang siap menyuarakan nasib mereka di hadapan dunia. Ketika Muslim di Aceh ditindas dan dilarang melaksanakan ibadah haji oleh penjajah kolonial, saat muslim Filipina terjajah dan mengalami banyak penindasan, ketika Muslim India tertindas, atau ketika kaum muslimin Kaukasus menjerit di bawah bayang-bayang imperium asing, nama “Khalifah Abdul Hamid” menggema bukan sebagai slogan, tapi sebagai titik harapan.

Melalui kepiawaian diplomasi dan kekuatan rukhani Sang Khalifah, dikisahkan bahwa Belanda akhirnya tunduk dan memberikan keleluasaan kepada rakyat Aceh dan rakyat lain di nusantara untuk melaksanakan ibadah haji bahkan dengan kemudahan mendapatkan fasilitas kapal-kapal penumpang pengangkut jemaah.

Bendera Utsmaniyah tak hanya berkibar di medan perang, tetapi juga di hati jutaan muslim yang tak pernah menginjakkan kaki di Istanbul. Mereka melihat di sana bukan sekadar sultan, tapi penaung ruhani, penopang harapan akan tegaknya kembali kemuliaan Islam.

Dan Abdul Hamid memelihara simbol ini bukan dengan kekosongan retorika, tetapi dengan strategi yang menyentuh moral umat, memperkuat lembaga pendidikan, menghidupkan tarekat, dan menjalin komunikasi spiritual lintas benua.

Khilafah baginya adalah cahaya yang memancar di tengah gelapnya penjajahan, sinyal kepada umat bahwa mereka masih satu tubuh, satu arah, satu imam. Dalam pelukan simbolisme ini, ia menyatukan politik dan tasawuf, kekuasaan dan kasih sayang, strategi dan keimanan.

Ia tak perlu menjajah dunia dengan kapal perang, ia menjangkau hati umat dengan bahasa iman dan sejarah, dengan zikir para mursyid, dan dengan bayang-bayang kekhalifahan yang memberikan rasa aman dalam zaman yang penuh luka. Dan hingga kini, di balik hiruk pikuk dunia modern, nama Abdul Hamid II masih mengendap dalam ingatan sejarah sebagai Sang Khalifah Terakhir yang menyatukan ruh umat, bukan dengan kekerasan, tapi dengan keyakinan bahwa Islam bukan hanya masa lalu, melainkan masa depan yang masih punya cahaya.

Halaqah Spiritual di Istana Yildiz

Dikisahkan bahwa di ruang-ruang sunyi Istana Yildiz, Sultan Abdul Hamid II kerap mengadakan halaqah-halaqah kecil bersama para ulama dan sufi, termasuk Syeikh Abu’l-Huda. Di sanalah lahir banyak hujjah-hujjah dan nasehat spiritual yang menyeimbangkan langkah politik Sultan antara siasat duniawi dan amanah ukhrawi.

Salah satu petuah emas Syeikh Abu’l-Huda kepada Sultan yang tercatat dalam sejarah adalah: "Wahai Khalifah, sesungguhnya negara bagaikan tubuh, dan ruhnya adalah agama. Bila agama ini dilemahkan, maka tubuh itu akan roboh walau dipasangi baju besi.

"Kata-kata ini membekas dalam diri Abdul Hamid II. Ia menjadikan spiritualitas bukan sekadar ornamentasi istana, melainkan basis legitimasi politik, sekaligus energi untuk melakukan reformasi keagamaan (Islamisasi lembaga negara) tanpa memutus keterkaitan dengan dunia modern. 

Pengaruh Besar Bagi Rakyat

Di tingkat rakyat, sufisme Naqsyabandiyah Khalidiyah menjadi jembatan antara elit kekuasaan dengan umat. Banyak rakyat kecil yang tetap setia kepada Sultan karena melihatnya bukan sekadar raja duniawi, tetapi juga sebagai pembela agama dan penerus nubuwah dalam konteks sosial-politik.

Tarekat dan Penguatan Solidaritas umat Islam lintas etnis dan bangsa

Di tengah peta dunia Islam yang tercerai-berai oleh garis-garis penjajahan, tarekat-tarekat sufi menjelma menjadi urat nadi yang menyatukan tubuh umat. Mereka bukan hanya tempat menimba ilmu atau menenangkan jiwa, tetapi menjadi ruang di mana solidaritas lintas bangsa dan etnis dipupuk tanpa pamrih. 

Di dalam lingkaran zikir dan majelis ilmu, tidak ada perbedaan antara Arab dan Kurdi, antara Turki dan Berber, antara Melayu dan India. Semuanya terikat oleh satu rasa: menjadi bagian dari umat yang satu, yaitu umat Muhammad ﷺ.

Tarekat dan Semangat Pan-Islamisme Sultan Abdul Hamid II, dengan kebijaksanaannya, melihat kekuatan dahsyat yang tersembunyi dalam jaringan para sufi ini. Di tangannya, tarekat-tarekat bukan hanya dipelihara sebagai warisan ruhani, tetapi digerakkan sebagai jaringan kesadaran politik Islam yang menyeluruh dan membumi.

Maka mengalirlah semangat pan-Islamisme, bukan sebagai ide kering dari meja istana, tetapi sebagai gerakan yang tumbuh dari bawah, dari hati para murid, dari lantunan doa para mursyid, dari perjalanan ruh yang tidak mengenal batas bendera dan bahasa.

Dari padang pasir Arab hingga pegunungan Balkan, dari kota-kota tua Afrika Utara hingga lembah-lembah sunyi di India, panji ukhuwah Islamiyah dikibarkan oleh para pengembara ruhani yang membawa pesan: bahwa Islam adalah satu tubuh, dan bahwa penderitaan satu bagian dari tubuh itu harus dirasakan oleh seluruhnya.

Tarekat dan Resistensi terhadap kolonialisme Eropa

Dalam dunia yang mulai tunduk pada kekuasaan kolonial, tarekat-tarekat ini menghadirkan benteng spiritual yang tidak bisa dijajah. Mereka menjadi rumah bagi harapan yang ditindas, dan menyulut semangat perlawanan, bukan hanya dengan senjata, tetapi dengan jiwa yang merdeka. Di tengah penindasan, mereka menyebarkan bisikan yang menguatkan: bahwa kebebasan adalah bagian dari iman, dan bahwa kekuatan sejati umat lahir dari hati yang terpaut pada Allah.

Melalui tarekat, umat Islam kembali merasakan denyut nadi persatuan yang melampaui batas geografi. Sebuah kesadaran lahir, bahwa musuh sejati bukan hanya pasukan kolonial, tetapi lupa diri dan hilangnya ruh Islam dalam jiwa. Dan dengan itu, bangkitlah generasi yang berani menantang hegemoni Barat, qtidak dengan kemarahan buta, tetapi dengan kesadaran yang jernih dan keberanian yang suci. Namun, keberhasilan ini juga menjadi alasan mengapa kekuatan Barat merasa terancam dan mempercepat upaya untuk melemahkan Kesultanan Utsmaniyah, yang berpuncak pada konspirasi menggulingkan Sultan Abdul Hamid II pada tahun 1909. (Bersambung ke Bab 4 - lanjutan)