ADAB TANPA THARIQOH?

ADAB TANPA THARIQAH?
Apa yang dimaksud ‘adab’? orang modern mengira, adab itu sekedar ‘berbuat baik.’ Abad pertengahan, di Kerajaan Inggris, terjadi dialektika perihal ‘berbuat baik.’ Antara Robert Deveroux dan Francis Bacon. Keduanya warga Inggris. Tapi beda pandangan. Bacon (sama seperti nama babi), menganut materialisme. Baginya ‘kebaikan’ itu bersumber dari rasio semata. Tak perlu Wahyu. Sementara Deveroux, sumber ‘kebaikan’ tetaplah Wahyu. Deveroux, bergelar Earl of Essex kedua. Ini ordo Ksatria terakhir di Inggris. Selepas Perang Salib, Inggris dipenuhi para ordo Ksatria. Mereka penegak Kebenaran. Mereka kelompok pertama yang melawan ‘ketiranian Gereja Roma.’ Karena jaman itu, Roma, menjadi pensah dari status Raja. Imperium Romanum Socrum. Tapi di mata Galileo sampai Bruno, dogma itu berubah menjadi ketiranian.
Para Ksatria melakukan perlawanan. Ini yang membangun Kerajaan Inggris, yang kali pertama keluar dari ‘Imperium Romanum Socrum.’ Magna Charta, 1215, titik awal bangunnya para Ksatria. Dr. Ian Dallas (Shaykh Abdalqadir as sufi), ulama besar dari Inggris, mengkisahkan, para Ksatria itu muncul dari efek Perang Salib berabad-abad. Para pasukan Salib yang tertawan, kemudian dibina, dididik oleh kaum muslimin. Sultan Salahuddin al Ayyubi, tak menyiksa mereka. Melainkan mengajarkan kembali etos keKsatriaan pada mereka. Hasilnya adalah muncul ordo Ksatria. Mereka kembali ke Inggris, sebagai penegak Kebenaran. Film Robin Hood, menjadi saksi. Satu orang muslim yang mengikuti Robin, menjadi guru banyak kaum Inggris. Begitulah era itu.
Lantas siapa Sultan Salahuddin, pemimpin perebut kembali Jerusallem dari tangan Nasrani? Jelas dia bukan bermanhaj mu’tazilah. Apalagi dia salafi-wahabby, yang kala itu belum lahir ajarannya. Salahuddin adalah sufi. John Man, penulis barat menukis, Salahuddin gemar berdzikir saban malam. Dia diajarkan karpetnya adab. Pasukan Sultan Salahuddin, dipenuhi para murid-murid hasil ajaran tassawufi yang dihidupkan kembali Imam Ghazali, Shaykh Abdalqadir al Jailani dan ulama sufi lainnya. Memang mereka tak menyebut sebagai ‘sufi’ secara khusus. Karena selain mu’tazilah, yang kala itu justru membesarajarannya, tapi bukan mereka yang merebut kembali Jerusallam. Tapi para ahlu dzikir. Merekalah kaum sufi.
Pasukan muslim dibawah Sultan Salahuddin, mengajarkan karpetnya ‘adab’ pada para tawanan. Mengajarkan kembali etos Ksatria. Penegak Kebenaran, yang berlandas ajaran murni Isa Allaihisallam. Disitulah muncul ordo Ksatria tadi. Dinasti Plantegenet sampai Dinasti Tudor, di Inggris ini klan para penerus Ksatria. Hingga era Earl of Essax tadi. Dialah Ksatria terakhir di Inggris. Dia penganut ortdoxt murni. Menjadi penasehat Ratu Elisabeth, yang kemudian mengkhianatinya. Deveroux menolak Inggris masuk dalam paham ‘qadariyya’ yang dibawa Francis Bacon. Karena Bacon mengambil ajaran mu’tazilah. Filsafat menyeberang ke Eropa. Bacon meredefinisi perihal ‘kebaikan.’ Ujungnya adalah tafsir yang berasal dari ‘khalayan rasio.’ Ini yang melahirkan ‘kebaikan’ versi undang-undang. Dalam istilah Martin Heidegger, ini hanya melahirkan kebenaran essensialis. Bukan Kebenaran eksistensialis. Bagi Heidegger, itu ‘essensialisme,’ itu bukanlah Kebenaran. Melainkan mencerabut ‘Kebenaran’ dari akarnya.
Dupllessir Mornay, penasehat Raja Perancis, lebih menitikberatkan lagi. Dia kecewa dengan tragedy ‘Massacre at Paris’, pembantaian Huguenot Perancis, 1572. Ribuan pengikut ‘ajaran versi Bacon dan lainnya’ dibantai di istana Perancis. Karena pengikut ‘Luthern dan John Calvin’ dicap sebagai bid’ah. Tentu ini dialektika perihal yang dimaksud dengan ‘adab.’ Bagi Roma, melawan titah Raja, itulah tak beradab. Maka harus dihukum. Bagi Luthern, Gereja bukanlah otoritas tunggal penafsir Wahyu. Melainkan merujuk pada akal manusia. Manusia berhak menafsirkan sendiri tentang agama. Bak, semuanya bisa menjadi mujtahid mutlak. Disitulah mencuat pembaharuan Kristen.
Di kerajaan Inggris, penganut ‘adab’ dengan tradisi, Deveroux tadi, tersingkir. Para penafsir ‘adab’ dengan teori ‘akal budi,’ inilah yang mencuat. Ajaran ini yang kemudian membesar di Eropa. Melahirkan modernisme. Revolusi Perancis, 1789, karma terjadi. Gantian para ‘Huguenot’ membantai para pengikut Gereja Roma. Revolusi Perancis, perang saudara antara dua penganut ‘aqidah.’ Antara pengikut ‘jabariyya’ melawan penganut ‘qadariyya.’ Keduanya punya tafsir berbeda perihal ‘adab.’
Virus ajaran ‘neo qadariyya’ dengan baju modernisme itu membesar. Hingga kemudian merambah negeri-negeri muslim. Seabad kemudian, mereka melirik Daulah Utsmaniyya. Ini negeri yang lahir dari sentuhan sufi. Muhyiddin Shaykh al Akbar Ibnu Arabi, meninggalkan Andalusia yang telah disusupi mu’tazilah akut. Melanglangbuana hingga bumi Anatolia. Berjumpalah dengan para bangsa ‘turki’ pewaris trah Mongol. Shaykh al Akbar mengajarkan ‘karpetnya adab.’ Thariqah. Orang kini menyebutnya ‘tassawuf falsafati.’ Ertugrul Ghazi melahirkan Osman Ghazi. Karpetnya ‘adab’ diajarkan Shaykh Edabali. Sufiyya mewarnai Utsmaniyya. Membesar hingga berhasil merebut Romawi. Romawi (Ar Rum), bangsa yang disebut dalam Al Quran, dikuasai sepenuhnya oleh Islam. Karena Daulah Utsmaniyya, itulah negeri yang dibangun para sufi. 800 tahun kokoh berdiri. Ajaran sufiyya menyebar hingga mendekati Roma. Ajaran ini pula yang berhasil membangun kedigdayaan Kesultanan di nusantara. Dari Aceh Darussallam, Mataram, hingga Ternate, ‘karpetnya adab’ dengan thariqah mewarnai negeri-negeri nusantara. Itulah tamaddun Islam Berjaya.
Tapi peradaban memang berganti. Selepas Revolusi Perancis tadi, Mesir awal mula dikooptasi. Napoleon dengan ajaran ‘neo qadariyya’ merangsek masuk. Dia tak sekedar mengkolonisasi. Tapi membawa serta para pengajar-pengajar ‘pembaharu’ tadi. Ujungnya mencuat kaum ‘pembaharu Islam.’ Yang menafsirkan agama, seolah berhak siapa saja. Tanpa perlu melalui tatanan ‘adab.’ Tentu mereka tak melakoni thariqah. Prof. Harun Yahya, menukiskan dalam tesisnya, para ‘pembaharu Islam’ itu identic dengan aqidah mu’tazilah. Ajaran neo mu’tazilah dihidupkan kembali. Perang ‘aqidah’ masa Imam Ghzali- Ibnu Rusyd terjadi lagi. Era kini.
Tapi Ibnu Arabi pernah menjawab Ibnu Rusyd. ‘Tidak..Tidak..Tidak’ itulah jawaban atas teori ‘Averroes.’ Shaykh al Akbar lebih memilih kekeh dalam thariqah. Itulah jalan dari ‘karpetnya adab.’ Hasilnya adalah peradaban tangguh Utsmaniyya.
Memang kuffar tak berhenti. Selepas Mesir dianeksasi, ajaran neo mu’tazilah merambah. Utsmaniyya digoyang. Sufisme dimusuhi. Seolah dianggap jumud, dituduh khurafat. Tanzimat, 1840, resmi Shaykhul Islam dicopot. Utsmaniyya menceraikan antara ‘Sultan dan Mursyid.’ Ini juga strategi Hindia Belanda di nusantara. Para Mursyid diusir dari keraton. Ujungnya beberapa Kesultanan lebih tunduk pada Loji-loji Belanda, ketimbang berdzikir pada Zawiyya. Perang Diponegoro, dikisahkan Babad Kedung Kebo, bagaimana Sultan Yogya lebih takut pada ‘Loji Besar’ milik Keresidenan Belanda, ketimbang mendengar pandangan Ulama thariqah. Disitulah kooptasi dimulai. Selepas tak ada lagi Mursyidin dalam kesultanan, musuh Islam mudah mengkooptasi.
Ini yang terjadi pada Daulah Utsmaniyya. Penyingkiran ahlu thariqah jadi target pertama. Tarekat Bektasiyya dituding menganut Syiah. Alhasil tak ada lagi pasukan elit Janisaries. Padahal itulah pasukan elit Utsmaniyya. Yang diisi kaum thariqah. Pengusung ‘karpetnya adab.’ Sultan Abdul Hamid II kemudian taik tahta. Sufiyya bangkit kembali. Tapi dimata penulis barat, Sultan Abdul Hamid ini lebih hebat disbanding Sultan Mehmed. Karena dia dikepung dari berbagai arah. Para kuffar, modernis tadi, berusaha menggulingkannya. Para wahabi dan modernis Islam, tak berhenti menudingnya. Ujungnya dia digulingkan. Mustafa Kemal teriak lantang. Seolah dia menjadi ‘pahlawan’ dengan membubarkan Utsmaniyya. Maknanya, penyingkiran sufiyya. Karena Kemal menutup ‘tekke’, zawiyya seantero Istanbul. Hanya dikotanya Rumi, dia tak berani. Maka, resminya Jerusallem berpindah tangan. Dari kekuasaan Islam, menjadi ditangan Yahudi. Sampai kini. Dari sana, diketahuilah mengapa ahlu thariqah dijadikan target utama. Berusaha dilemahkan, dijauhkan dari umat. Karena begitu umat tak bertassawuf, disitu pula letak kelemahan Islam. Karena tiada lagi pengusung ‘karpetnya adab.’
1924, Utsmaniyya dibubarkan. Istana Domabahce dibobol. Topkapi dikebiri. Artefak dan kitab-kitab Utsmaniyya dibawa ke Inggris, Perancis sampai Vatikan. Literasi Utsmaniyya penuh di perpustakaan barat. Lukisan dan artefak masuk ke lelang Eropa. Mereka merebutkannya.
Tapi kitab-kitab sufi Utsmaniyya dibaca kini para kaum Eropa. Beda dengan sejarawan Arab kini. Mereka masih ‘benci’ pada Utsmani yang sufi. Maka ditutupilah seolah Utsmaniyya itu bukan sufiyya.
Kaum muda Eropa membaca literasi Daulah Utsmaniyya di negerinya. Mereka menggumi peradaban Islam, yang berhasil menamatkan Romawi. Ini dibaca Ian Dallas. Dia kemudian masuk Islam, mewujud menjadi Mursyidun thariqah. Namanya menjadi Shaykh Abdalqadir as sufi. Darinya kemudian thariqah menyebar lebar seantero Eropa. London, Sevilla, Granada, Norwich sampaii Skotlandia, zawiyya dan masjid berdiri. Mengagungkan ‘karpetnya adab.’ Thariqah. Karena mereka menemukan kesalahan berpikir Francis Bacon dan para materialis lainnya.
Beliau mengutip Syah Waliallah Dehlawi, Mursyid agung masa Kesultanan Moghul, di anak benua India. Karpetnya adab, itulah dzikrullah. Dzikrullah tentu memiliki cara. Tak bisa dengan ‘rasio’ semata. Melainkan dengan khauf wal roja.’ Khauf, itulah rasa ‘takut’ yang membuat kita berharap (roja’). Ini ajaran dalam kurikulum thariqah. Bak tanzih waltasbih. Tak bisa bertanzih tanpa tasbih. Ibnu Arabi memberikan gambaran panjang perihal ini. Inilah ajaran thariqah mumpuni.
Karena thariqah membawa manusia pada ma’rifatullah. Sebelumnya tentu melewati ma’rifatu Rasullah. Menuju itu, maka harus memahami ma’rifatu Mursyidun. Inilah rute menuju muhasabah. Karena jalan itu hanya bisa dilalui dengan ‘karpetnya adab,’ dalam mengamalkan dzikir dan muraqabah. Dan ini hanya berada dan dimiliki oleh thariqah. Karena adab berdzikir, memiliki tatacara. Tak bisa dilakukan tanpa murabbi. Jika tak ingin ditampakkan ‘wajah’ setan laknatullah, yang mencoba berdzikir tanpa robithoh.
Inilah pentingnya thariqah. Karena ‘karpetnya adab’ terbentang disana. Dari thariqah, maka mukasyafah terbuka. Ini bukan teori emanasi seperti kata Al Farabi. Melainkan terbukanya hati dan aql. Tanpa thariqah, maka cenderung terjebak menjadi ahlu syahwat. Ini terbukti dalam peradaban kini. Eliminasi thariqah, hanya melahirkan peradaban ahlu syahwat. Karena thariqah, melahirkan ahlu ma’rifat.
Madinah al Munawarah, peradaban yang diisi oleh ahlu ma’rifat. Walau ini tentu tak serupa dalam mahqom. Shaykh Abdalqadir al Jailani mengkisahkan dalam Al Gunyah, ‘Keseluruhan Sahabat berjumlah sekitar 1400 orang. Dari situ, yang terbaik adalah 313 orang, itulah ahlu Badar. Dari 313 orang, yang terbaik adalah 10 orang. Para Sahabat yang dijamin masuk surga. Dari 10 itu, yang terbaik adalah 4 orang. Khulafaur Rasyidin.’ Itulah muasalnya Mursyid dan murid. Dan thariqah menyediakan kurikulim itu. Yang menyatukan syariat walhakekat. Ini yang melahirkan manusia insan kamil. Kumpulannya, itulah yang melahirkan tamadun Islam Berjaya. Yang sudah dibuktikan sejarah.
Kaum kuffar tentu berusaha ini tak kembali. Maka, jamiyyah ahlu thariqah berusaha dicegah. Dengan berbagai cara. Karena jamiyyah ahlu thariqah inilah yang, dari penelitian Snouck Hurgronje, sangat berbahaya. Kacamata Roger Crowly, penulis ‘Penaklukan Konstantinopel oleh Utsmaniyya,’ menggambarkan, ‘Orang Islam itu ketika melakukan pengepungan di tembok Konstantinopel, kalau siang berperang seperti tak takut mati. Jika malam, mereka menari-nari seperti orang gila.’ Crowly tentu tak memahmi. ‘Menari-nari’ itulah adalah dzikur hadra. Dzikir khas, yang diajarkan Rasulullah Shallahuallaihiwassalam, yang dijaga ahlu thariqah. Inilah jalan menuju Ma’rifatullah. Jalan menuju perang suci, yang terus berusaha dikebiri.
Maka, jika ada yang berkata, ‘saya bukan orang taraket,’ tentu harus belajar lagi pada Crowly, yang lebih jujur dalam melihat kesufian Utsmaniyya. Karena hanya akan terjebak pada, seperti kata Nietszche, nihilisme yang dilahirkan dari modernisme. Paham neo qadariyya, yang hanya merujuk pada dzahir semata. Ini ajaran timpang, yang merusak dunia.
Maka, masuklah dalam karpetnya adab. Thariqah. Karena Imam Ghazali telah menggaransi, “Aku memasuki filsafat, aku bisa melewatinya. Aku memasuki ilmu kalam, aku bisa melewatinya. Tapi begitu aku memasuki tassawuf, aku tercebur di dalamnya.’ Karena tassawuf memiliki kedalaman ilmu, yang tiada tara. Muslim tanpa thariqah, jelas kehilangan makna. Imam Malik mengatakan, syariat walhakekat haruslah menyatu. Syariat tanpa hakekat, itulah zindiq. Hakekat tanpa syariat, akan sesat. Thariqah, itulah jalan hakekat. Fiqih, tanpa thareqah, hanya melahirkan kezindiq-an. Maka, jangan katakan ‘Aku bukan orang tarekat.’ Ikutilah karpetnya adab. Thariqah.
Penulis: Irawan Santoso Shiddiq
( Mudir JATMAN DKI JAKARTA)