JEJAK RUHANI DI PANGGUNG KEKUASAAN: SUFISME POLITIK DARI SAMARKAND KE NUSANTARA

Sufisme Nusantara

April 29, 2025 - 07:52
April 29, 2025 - 08:15
 0
JEJAK RUHANI DI PANGGUNG KEKUASAAN: SUFISME POLITIK DARI SAMARKAND KE NUSANTARA
Sufisme politik dari Samarkand ke Nusantara

Tulisan sederhana sebagai ikhtiar menterjemahkan Konsep Nawa Mustika (9 Mutiara Hikmah) Jatman NU dari Mudir Ali Idarah 'Aliyah Jatman NU, Prof. Dr. KH. Ali Masykur Musa.

Oleh: Abdur Rahman El Syarif

BAB V.  DI BUMI MELAYU: NAQSYABANDIYAH DAN KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM NUSANTARA

5.1 Pendahuluan

Tat kala cahaya Islam mulai menerangi wilayah Melayu, bersamaan itu pula benih-benih ruhani yang berasal dari dunia Sufisme tumbuh subur di tanah yang kaya akan budaya dan keberagaman ini. Naqsyabandiyah, sebagai salah satu thariqah besar dalam dunia tasawuf, turut mewarnai perjalanan sejarah tersebut dengan membawa ajaran tarekat yang mengharmoniskan antara penghayatan batiniah dan keterlibatan aktif dalam dinamika sosial-politik.

Penyebaran Sufisme, khususnya tarekat Naqsyabandiyah, ke wilayah Melayu tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang saling berkaitan. Pertama, faktor politik, di mana kerajaan-kerajaan Islam yang baru tumbuh di Nusantara membuka ruang bagi ulama dan thariqah untuk menjadi bagian dari struktur kekuasaan. Sufisme menjadi sarana legitimasi spiritual bagi penguasa, sekaligus basis kekuatan moral untuk mempertahankan identitas Islam dalam menghadapi kekuatan kolonial yang mengancam.

Kedua, faktor perdagangan. Jalur niaga maritim yang menghubungkan Samarkand, India, Hijaz, Anatolia hingga ke kepulauan Nusantara bukan hanya membawa rempah-rempah dan barang-barang berharga, melainkan juga membawa arus gagasan, ajaran, dan jaringan intelektual-spiritual. Para saudagar yang juga menjadi penyebar ajaran thariqah berperan sebagai jembatan antara dunia Islam pusat dan dunia Islam pinggiran.

Ketiga, faktor migrasi spiritual. Gelombang perantauan ulama dan para pencari ilmu dari Timur Tengah, Asia Tengah, dan anak benua India ke Nusantara membuka babak baru dalam sejarah penyebaran Naqsyabandiyah. Para ulama ini tidak hanya membawa kitab dan wirid, tetapi juga membangun madrasah, pesantren, dan membentuk jaringan murid yang kelak menjadi pelopor-pelopor gerakan sosial dan keagamaan.

Di antara para ulama perantauan tersebut, tercatat beberapa nama besar yang berperan penting. Dari Samarkand, warisan ruhani dari jalur Bahauddin Naqsyaband dan para penerusnya mengalir melalui tokoh-tokoh seperti Khwaja Ahmad Sirhindi dari India, yang ajarannya kemudian melahirkan para mursyid yang menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk ke Nusantara. Dari India pula, hadir ulama-ulama seperti Syekh Abdul Wahhab al-Sya'rani (berakar dari Mesir-India) yang pengaruhnya terasa dalam literatur tasawuf Melayu.

Dari Turki Utsmani, semangat tasawuf Khalidiyah sebuah cabang Naqsyabandiyah yang dibarui oleh Syekh Khalid al-Baghdadi, turut mengalir ke Nusantara melalui jaringan murid-muridnya yang berkelana jauh, menanamkan ajaran thariqah di tengah-tengah masyarakat Melayu. 

Melalui jalur-jalur ini, Naqsyabandiyah tidak sekadar menyebar sebagai laku individu, melainkan tumbuh menjadi kekuatan sosial yang mampu mempengaruhi arah sejarah Nusantara. Para mursyid tidak hanya membentuk komunitas-komunitas ruhani, melainkan juga membangun pondasi bagi berdirinya kerajaan-kerajaan Islam yang kokoh dengan basis spiritualitas.

Bab ini akan menguraikan secara lebih rinci bagaimana jaringan ruhani tersebut berkembang di Banda Aceh, Minangkabau, Kalimantan, Palembang, Banten, Tasik Malaya dan Madura. Hal ini menunjukkan bagaimana ruh Sufisme bukan sekadar bertahan, melainkan juga aktif membangun dan mewarnai panggung kekuasaan Nusantara dengan tauhid dan cahaya ilahi. (Bersambung ke Sub Bab 5.2.)