JEJAK RUHANI DI PANGGUNG KEKUASAAN: SUFISME POLITIK DARI SAMARKAND KE NUSANTARA
JALUR SUTRA RUHANI

Tulisan sederhana sebagai ikhtiar menterjemahkan Konsep Nawa Mustika (9 Mutiara Hikmah) Jatman NU dari Mudir Idarah 'Aliyah Jatman NU, Prof. Dr. KH. Ali Masykur Musa.
Oleh: Abdur Rahman El Syarif
BAB IV. (Lanjutan) JALUR SUTRA RUHANI: PERJALANAN SUNYI KE ARAH MASYRIQ
4.5. Sufisme sebagai Ruh Konsolidasi Negara Sufisme, yang awalnya berkembang sebagai ekspresi kerinduan individu terhadap Tuhan dalam sunyi dan kesederhanaan, dalam perjalanan sejarahnya mengalami transformasi yang mendalam. Di tangan para penguasa yang cerdas membaca zaman, seperti para sultan Kesultanan Utsmaniyah dan penguasa dunia Islam lainnya,
Sufisme tidak hanya dipahami sebagai jalan spiritual, melainkan juga sebagai sarana penting dalam membangun, mempertahankan, dan mengonsolidasikan kekuatan negara.
Dalam konteks politik dan pemerintahan, jaringan tarekat-tarekat sufi berfungsi seperti jalinan urat nadi yang menghubungkan pusat kekuasaan dengan rakyat jelata di berbagai pelosok negeri. Para mursyid dan syekh, dengan pengaruh moral dan spiritual yang mereka miliki, menjadi jembatan antara istana dan masyarakat. Melalui halaqah-halaqah zikir, majelis-majelis ta’lim, dan perjalanan dakwah, para sufi menanamkan nilai loyalitas kepada otoritas sah, menjaga stabilitas sosial, dan menumbuhkan kesadaran kolektif tentang pentingnya persatuan umat di bawah satu panji pemerintahan Islam.
Pada masa Sultan Abdul Hamid II, misalnya, tarekat-tarekat sufi terutama Naqsyabandiyah Khalidiyah memainkan peran sentral dalam upaya mempertahankan kesatuan dunia Islam menghadapi serangan kolonialisme Barat. Para sufi bukan hanya pendakwah, tetapi juga agen ideologis Pan-Islamisme yang mendengungkan pentingnya persatuan ummah dan penguatan posisi Khalifah sebagai simbol persatuan spiritual dan politik.
Sufisme juga berfungsi sebagai alat peredam gejolak sosial. Ketika ketidakpuasan atau keresahan mulai tumbuh di antara masyarakat, para syekh sufi seringkali mampu meredakannya melalui ajaran tentang sabar, tawakal, dan pentingnya ketertiban sosial. Nilai-nilai tasawuf seperti adab (etika), ikhlas (ketulusan), dan mahabbah (cinta) mengalir ke dalam nadi bangsa, membentuk karakter rakyat yang religius, beradab, dan loyal.
Namun, pemanfaatan Sufisme oleh negara bukan tanpa risiko. Ada kalanya para penguasa terlalu mengendalikan atau bahkan mengkooptasi tarekat-tarekat untuk kepentingan politik sesaat, sehingga terjadi distorsi terhadap misi spiritual sejati Sufisme. Sejarah mencatat, di beberapa periode, hubungan antara negara dan tarekat sufi bisa menjadi ambigu, kadang harmonis, kadang pula penuh ketegangan, tergantung pada kesadaran masing-masing pihak akan peran dan batasan mereka.
Tetap saja, sepanjang perjalanan sejarah Islam, Sufisme telah membuktikan dirinya bukan hanya sebagai jalan pencarian individu, tetapi juga sebagai kekuatan sosial-politik yang mampu membangun civil society berbasis nilai-nilai ruhani. Dalam dunia yang penuh perubahan, para sufi tampil sebagai penjaga stabilitas moral bangsa, dan tarekat-tarekat mereka menjadi institusi rakyat yang paling tahan menghadapi gelombang zaman.
Dengan demikian, pada era kejayaan Kesultanan Utsmaniyah hingga zaman modern, Sufisme menjadi salah satu alat konsolidasi negara yang efektif mengakar kuat di jiwa rakyat, menjulang tinggi dalam struktur kekuasaan, sekaligus tetap menjaga hakikat sejatinya: membimbing manusia menuju Allah.
Epilog
Alur Sutra Ruhani: Perjalanan Sunyi Ke Arah Masyriq
Dalam jejak panjang sejarah ruhani Islam, alur sutra itu senantiasa mengalir, halus namun kuat, dari hati-hati yang terjaga menuju peradaban yang bermartabat. Para sufi, dalam sunyi zikir mereka, dalam syahdu doa-doa mereka bukan hanya mengukir jalur pribadi menuju Tuhan, tetapi juga menenun jalinan batin bagi umat, membentuk jaringan kehidupan yang menjadi pondasi negara dan peradaban.
Di Anatolia, di kubah-kubah tua yang dibasuh fajar, di sela bisikan doa para darwis, hingga di jantung istana Utsmaniyah yang gemilang, ruhaniyah itu terus bergerak: dari Edebali ke Utsman, dari Ibnu Arabi ke Ertugrul, dari Syekh Abu’l-Huda ke Sultan Abdul Hamid II. Mereka mengajarkan satu hakikat yang sama bahwa kekuasaan yang sejati bukanlah sekadar penaklukan wilayah, melainkan penaklukan jiwa dengan keadilan, cinta, dan ketakwaan.
Sufisme, yang sering tampak hanya sebagai bisikan lembut di tengah riuh zaman, justru adalah kekuatan terdalam yang membentuk wajah sejarah Islam. Di balik gemuruh pertempuran dan megahnya mahkota kekaisaran, ada suara-suara sunyi yang membisikkan hikmah: “Pohon kekuasaan hanya akan tegak bila akarnya menancap dalam tanah takwa.”
Maka, perjalanan ruhani ini tidak berakhir di satu masa atau satu kerajaan. Ia terus berdenyut dalam dada-dada pencari hakikat, menuntun manusia menapaki jalur sunyi ke arah Masyrik: ke tempat di mana matahari rohani terbit, membawa cahaya cinta, keadilan, dan keabadian. (Bersambung ke Bab V)