Kisah Syekh Abdul Malik dan Detik-detik Proklamasi

Syekh Abdul Malik memiliki nama lengkap Muhammad Ash’ad bin Muhammad Ilyas atau yang kerap disapa dengan panggilan Mbah Malik Kedung Paruk lahir pada hari Jum’at, tanggal 3 Rajab tahun 1294 H atau bertepatan pada tahun 1881 M, di Purwokerto, kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

September 15, 2023
Kisah Syekh Abdul Malik dan Detik-detik Proklamasi

Jakarta, JATMAN Online – Syekh Abdul Malik memiliki nama lengkap Muhammad Ash’ad bin Muhammad Ilyas atau yang kerap disapa dengan panggilan Mbah Malik Kedung Paruk lahir pada hari Jum’at, tanggal 3 Rajab tahun 1294 H atau bertepatan pada tahun 1881 M, di Purwokerto, kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Dalam syiar agama dan kemerdekaan Mbah Malik tidak diragukan lagi, pada masa-masa sulit zaman penjajahan Belanda dan Jepang, ia senantiasa gigih berdakwah. Karena gerakannya ini, ia menjadi salah satu target penangkapan tentara-tentara kolonial.

Selain menyiarkan ajaran-ajaran tarekat–karena ia adalah seorang Mursyid Tarekat Syadzilyah dan Naqsabandiyah Khalidiyah–beliau menyontohkan salah satu cara penghormatan kepada para pendahulu terkhusus para pahlawan yang telah mengusung kemerdekaan negara republik Indonesia. Seperti kisah yang diceritakan oleh murid Syekh Abdul Malik, yakni Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim Yahya, dalam sebuah pengajian.

Syekh Abdul Malik dengan segala keadaan yang terbatas di tengah hutan dan cara yang sederhana, tapi tetap memberikan perhatian tersendiri akan momentum detik-detik proklamasi, yang biasa diperingati setiap tanggal 17 Agustus.

Pernah suatu ketika kiai yang berasal dari daerah Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, tersebut mengajak Habib Lutfi jalan-jalan. Di tengah perjalanan di antara daerah Bantarbolang-Randudongkal, Kiai Abdul Malik tiba-tiba menyuruh untuk menghentikan perjalanannya.

“Pak Yuti, berhenti dulu,” perintah Kiai Malik kepada Suyuti sang sopir untuk menghentikan mobil.

“Nggih Mbah,” jawab supir. Mobil pun menepi untuk berhenti.

“Ke tempat yang adem saja, biar enak untuk gelaran,” kata Kiai Malik.

Waktu itu sekitar pukul 09.45 WIB. Setelah mendapat tempat untuk beristirahat, tikar digelar dan termos juga dikeluarkan. Kiai Malik mengeluarkan rokok khasnya, klembak menyan, kemudian diraciknya sendiri sebelum dinikmati Sesekali dia mengeluarkan jam dari kantongnya, sembari berkata, “Dilut maning (sebentar lagi),”

Sang murid pun heran, ada apa gerangan yang berulang kali diucapkan gurunya ‘dilut maning’ itu.

Namun, setelah pukul 09.50 WIB, rokok yang belum habis tadi tiba-tiba dimatikan. Kemudian berkata, ”Ayo Pak Yuti, Habib mriki (ke sini)!”

Setelah itu Kiai Malik membacakan hadroh al Fatihah untuk Nabi, Sahabat dan seterusnya sampai disebutkan pula sejumlah nama pahlawan seperti Pangeran Diponegoro, Sentot Prawirodirjo, Kiai Mojo, Jenderal Sudirman dan lain sebagainya.

Sampai ketika tepat pukul 10.00 WIB, Mursyid Thariqah Naqsabandiyah Khalidiyyah ini terdiam beberapa saat dan kemudian berdoa Allahummaghfirlahum warhamhum. Setelah selesai, Habib Luthfi yang penasaran dengan apa yang dilakukan gurunya, kemudian bertanya kepada Syekh Malik, “Mbah, wonten napa ta (ada apa)?”

“Anu, napa niki jam 10, niku napa namine, Pak Karno Pak Hatta rumiyin moco napa (pukul 10 dulu Pak Karno Pak Hatta dulu membaca apa) ?” tanya Kiai Malik.

“Proklamasi, Mbah,” jawab Habib Luthfi.

“Ya niku lah, kita niku madep ngormati (ya itulah kita berhenti sejenak menghormati),” jawab Kiai Malik.

Betapa dalamnya cara para Kiai dan sesepuh kita di dalam menghormati dan menanamkan karakter nasionalisme.

“Sampai begitu mereka, kita ini belum ada apa-apanya, makanya sampai sekarang saya etok-etoke meniru, setiap tanggal 17 Agustus kita baca Al Fatihah. Rasa mencintai dan memiliki. Tanamkan kepada anak-anak kita!” tegas Habib Luthfi mengakhiri kisahnya.