Kematian dalam Pandangan Tasawuf

Mati adalah suatu kemuliaan, sedangkan mati tanpa persiapan adalah suatu kerugian dan penyesalan. Mati ada dua macam. Pertama, mati idtirari (اضطرارى) yaitu mati yang lazim kita ketahui. Kedua, Mati ikhtiyari (اختيارى) yaitu mati fana, dengan cara keluar dari sifat-sifat kemanusiaan serta meninggalkan segala keinginan, segala kehendak dan segala hawa nafsu, karena mayat sesungguhnya tidak mempunyai keinginan, kehendak dan hawa nafsu.

September 15, 2023 - 12:39
Kematian dalam Pandangan Tasawuf

Mati adalah suatu kemuliaan, sedangkan mati tanpa persiapan adalah suatu kerugian dan penyesalan. Mati ada dua macam. Pertama, mati idtirari (اضطرارى) yaitu mati yang lazim kita ketahui. Kedua, Mati ikhtiyari (اختيارى) yaitu mati fana, dengan cara keluar dari sifat-sifat kemanusiaan serta meninggalkan segala keinginan, segala kehendak dan segala hawa nafsu, karena mayat sesungguhnya tidak mempunyai keinginan, kehendak dan hawa nafsu.

Maka, barangsiapa yang keluar dari keinginan, kehendak dan daya upayanya, maka ia telah keluar dari ke-akuan atau wujud dirinya, dan ia menjadi makhluk yang paling dekat dengan Tuhannya. Ia juga berarti telah masuk ke dalam Hadrah kehendak, keinginan serta daya upaya Allah Ta’ala. Keadaan seperti itulah yang merupakan hakikat sampai kepada-Nya.

Syekh al-Akbar Muhiyiddin Ibnu Arabi mengklasifikasikan kematian ke dalam beberapa katagori, antara lain kematian putih yaitu adalah rasa lapar, kematian merah yaitu konflik nafsu dengan keinginannya, kematian hijau yaitu saling menambal pakaian satu sama lain dan kematian hitam yaitu kemampuan memikul beban hidup, apa pun bebannya.

Disebut kematian putih karena dirinya rela menahan rasa lapar sehingga perutnya kosong. Kekosongan tersebut diibaratkan dengan warna putih. Adapun kematian merah dimaksudkan karena menyerupai merahnya darah, lantaran orang yang menyelisihi keinginannya, ia telah menyembelih nafsunya. Selanjutnya kematian hijau diserupakan dengan keadaan tanah dalam keragaman tetumbuhan dengan pelbagai bunga, hingga menyerupai bermacam-macam tambalan. Sedangkan kematian hitam dinamakan demikian, karena kemampuannya menanggung beban derita. Di dalam kematian hitam itu ada nestapa nafsu. Sedangkan nestapa itu sendiri adalah kegelapan nafsu. Sementara kegelapan itu menyerupai warna hitam.

Dengan kata lain, cara untuk mencapai kematian tersebut perlu dilakukan beberapa hal:

  • Mati putih dilakukan dengan mematikan keinginan rakus melalui hidup zuhud
  • Mati merah dilakukan dengan mematikan keinginan nafsu melalui menghidupkan cahaya Hati
  • Mati hijau dilakukan dengan mematikan keinginan cinta dunia melalui hidup wara
  • Mati hitam dilakukan dengan mematikan kemalasan melalui menghidupkan cahaya takwa

Sementara itu, dalam Thariqah Naqsyabandiyah, istilah mati terbagi ke dalam empat martabat:

Martabat pertama, Mati Thabi’i yakni dia telah mendengar bunyi kalimah لا إله إلا الله atau kalimah الله الله الله di dalam jiwanya, yang mana satu bunyian dunia.

Martabat kedua, dikatakan Mati Ma’nawi yaitu orang yang telah melihat bentuk Garis kalimat لا إله إلا الله atau bentuk kalimat الله الله الله. Quthbul Rabbani Syekh Bahauddin Muhammad Naqsyabandi telah diberi Allah melihat Garis kalimah الله الله الله pada ke 7 Lathaifnya.

Martabat ketiga, dikatakan Mati Shuri yakni telah lenyap pendengarannya, dan lenyap penglihatannya, yang dirasa hanya Nur semata-mata. Itulah Nurullah, Nur Muhammad, Nur Iman, Nur Islam, Nur Tauhid, Nur Makrifat, Nur Tajalli, Nur Taufik dan Nur Hidayah.

Kalau Nur itu telah bergema di dalam jiwanya, maka jelaslah baginya mana yang Haq dan mana yang batil sesuai firman Allah:

وقل جاء الحق وزهق الباطل إن الباطل كان زهوقا

“Dan katakanlah telah datang yang Haq, dan hilang yang baitl. Sesungguhnya yang batil itu pasti lenyap.” (Qs. Al-Israa: 81).

Dalam perasaan ahli sufi, alam kasar telah fana. Yang ada hanya Dzat Allah semata-mata, Al-Haq.

Martabat keempat, dinamakan Mati Hissi, yaitu seseorang telah dzuq (telah dapat merasai) maqam لا موجود بحق إلا الله artinya yang ada hanya Dzat Allah semata-mata.

Alam kasar (alam Syahadah) ini, dirasanya tidak ada lagi. Kalaupun ada alam kasar ini, seumpama bayang-bayang benda kasar di dalam air yang jernih yang tidak mempunyai wujud.

Perumpamaan dari hal ini adalah jika kita mengambil sekerat besi yang dingin lalu membakarnya, maka lenyaplah sifat dingin besi tadi. Tentu besi itu berubah sifatnya menjadi panas seperti api. Namun dzat besi tetap besi, dan dzat api tetap api, sepanas apapun besi, tak akan berubah dzatnya menjadi api.

Dengan demikian mati orang awam adalah berpisahnya jasad dan ruh. Mati orang khawash adalah lenyapnya segala keburukan nafsu dalam hatinya. Dan mati orang khawashul khawash matinya keakuan dirinya dan lenyaplah segala sesuatu selain Allah di dalam ruh dan Sirri-nya. Maka matilah engkau sebelum engkau dimatikan.

Penulis: Budi Handoyo
Editor: Khoirum Millatin
Sumber:

  • Penutup Umur dan Seribu Satu Wasiat Terakhir, Terbit Terang, Surabaya, hal 117-118.
  • Syekh Abdul Rauf al-Singkili Kitab dalam Tanbihul Al-Masyi Al-Mansub Ila Thariqoh Al-Qusyasyiyah, hal 25
  • Kitab Al-Futuhat Al-Makkiyah Bab 47 Juz 1, Dar Ihya Al-Thorast Al-Arabi, Beirut hal 338