JEJAK RUHANI DI PANGGUNG KEKUASAAN: SUFISME POLITIK DARI SAMARKAND KE NUSANTARA
Kerajaan Islam Nusantara

Tulisan sederhana sebagai ikhtiar menterjemahkan Konsep Nawa Mustika (9 Mutiara Hikmah) Jatman NU dari Mudir Ali Idarah 'Aliyah Jatman NU, Prof. Dr. KH. Ali Masykur Musa.
Oleh: Abdur Rahman El Syarif
BAB V. DI BUMI MELAYU: NAQSYABANDIYAH DAN KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM NUSANTARA
Catatan Reflektif: Jejak Heroisme Sufi dalam Perlawanan di Banjar Kalimantan
Dalam sejarah perlawanan terhadap kolonialisme di Nusantara, kisah heroik Pangeran Antasari di Banjar Kalimantan Selatan merupakan salah satu babak penting yang tidak hanya menyuarakan penolakan terhadap ketidakadilan, tetapi juga merefleksikan kekuatan ruhani sebagai energi moral dalam perjuangan rakyat.
Perlawanan di Banjar bukan semata urusan militer, melainkan juga perjuangan spiritual yang terilhami oleh ajaran Islam, warisan para ulama, dan pengaruh tarekat yang telah lama berakar di tanah Banjar. Inilah jejak heroisme sufi yang kerap tersembunyi di balik kabut sejarah yang menonjolkan hanya sisi-sisi politik dan militer.
Benih kekuatan spiritual ini dapat ditelusuri sejak masa Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710–1812), atau yang lebih dikenal dengan gelar Datu Kalampayan. Beliau bukan hanya seorang faqih dan penulis kitab 'Sabilal Muhtadin' yang monumental, tetapi juga seorang ulama sufi yang menanamkan nilai-nilai keislaman yang mendalam dalam kehidupan masyarakat Banjar¹.
Ajaran beliau menyentuh tidak hanya aspek hukum, tetapi juga membangun kultur tasawuf yang menyeimbangkan syariat dan akhlak. Surau-surau yang didirikan murid-muridnya menjadi pusat pendidikan ruhani yang mempersiapkan generasi tangguh dalam keilmuan dan semangat perjuangan².
Ketika kolonialisme Belanda merongrong eksistensi Kesultanan Banjar, perlawanan yang dipimpin Pangeran Antasari (w. 1862) tidak lahir dari ruang hampa. Antasari bukan hanya bangsawan, melainkan juga seorang pemimpin religius yang dikenal dekat dengan para ulama dan tokoh-tokoh agama lokal³. Perjuangannya didorong oleh spirit Islam dan nilai keadilan ilahiah.
Dalam pidato dan surat-menyuratnya, Antasari kerap menekankan bahwa penolakan terhadap penjajahan bukan hanya tugas kebangsaan, tetapi juga panggilan iman⁴. Dalam konteks ini, peran tarekat sebagai lumbung energi moral dan mobilisasi sosial menjadi penting. Meski tidak selalu tercatat dalam dokumen resmi kolonial, surau-surau tarekat dan para mursyid lokal memainkan peran sentral dalam membentuk kesadaran kolektif masyarakat Banjar tentang pentingnya mempertahankan marwah Islam dan harga diri umat⁵. Zikir berjamaah, suluk, dan pelatihan spiritual menjadi fondasi keteguhan hati dalam menghadapi tekanan kolonial. Tradisi tarekat, terutama Qadiriyah dan Naqsyabandiyah yang berkembang kemudian, turut menyuburkan benih jihad ruhani dan sosial⁶.
Perlawanan Banjar, sebagaimana juga yang terjadi di Minangkabau dalam konteks Gerakan Paderi, adalah contoh nyata bagaimana sufisme bukanlah laku menyendiri di mihrab belaka, melainkan juga menjadi kekuatan pembebasan yang berakar dalam batin rakyat. Jihad dalam perspektif para sufi bukan hanya mengangkat senjata, tetapi terlebih dahulu mengangkat jiwa melawan kebatilan dalam diri sendiri dan di lingkungan sosialnya⁷.
Warisan perjuangan ruhani ini tidak berhenti setelah gugurnya Antasari. Generasi setelahnya, seperti Guru Haji Zaini bin Abdul Ghani (Abah Guru Sekumpul), mewarisi semangat dakwah sufistik yang ramah namun tegas, yang menghidupkan kembali nilai-nilai spiritual dalam kehidupan masyarakat Banjar modern7. Pesantren dan majelis-majelis zikir hari ini adalah bukti bahwa medan jihad belum selesai, ia terus berlangsung dalam bentuk membina akhlak, menjaga tradisi, dan memelihara ketahanan moral umat.
Dengan demikian, heroisme sufi dalam perlawanan Banjar adalah narasi penting yang patut dirayakan. Ia menunjukkan bahwa dalam menghadapi penjajahan, kekuatan ruhani mampu menjadi cahaya di tengah gelapnya penindasan, dan bahwa sejarah bangsa ini tidak hanya dibentuk oleh peluru dan senjata, tetapi juga oleh doa dan dzikir yang melangit dari tanah para wali.
(Bersamabung ke Sub Bab 5.3.5. Syeik Khatib Sambas Kalimantan: Titik Awal Penyatuan Tarekat Qdariyah wa Naqsyabandiyah di Nusantara)
Referensi:
1. Ahmad Barjie, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari: Ulama Besar Kalimantan Selatan (Banjarmasin: Al-Ma’arif, 1990), hlm. 21–26.
2. Zainal Abidin, "Tasawuf di Kalimantan Selatan," Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 7, No. 2 (2007): 56–61.
3. Helius Sjamsuddin, Pemberontakan Rakyat Banjarmasin 1859–1863 (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 42–45.
4. Djajadiningrat, Surat-Surat Pangeran Antasari (Jakarta: Arsip Nasional, 1979), hlm. 13–15.
5. Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau (Jakarta: Grafiti, 1991), hlm. 122–124.
6. Syamsul Bahri, Sejarah Tarekat di Nusantara (Padang: Tarbiyah Press, 2004), hlm. 134–137.
7. Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 216–221