Implementasi Nilai-nilai Tasawuf dalam Pencegahan dan Penegakkan Tindak Pidana Korupsi

Korupsi adalah suatu problematika hukum, sosial, ekonomi dan politik  sepanjang masa. Karena sejauh ini kejahatan tersebu bukannya berkurang melainkan terus meningkat menjadi topik berita yang tidak asing lagi di media massa.

September 15, 2023 - 12:54
Implementasi Nilai-nilai Tasawuf dalam Pencegahan dan Penegakkan Tindak Pidana Korupsi

Korupsi adalah suatu problematika hukum, sosial, ekonomi dan politik  sepanjang masa. Karena sejauh ini kejahatan tersebu bukannya berkurang melainkan terus meningkat menjadi topik berita yang tidak asing lagi di media massa.

Berbagai kalangan akademisi hukum dan praktisi hukum telah banyak melakukan penelitian dan pembahasan mengenai korupsi. Korupsi senantiasa timbul jika dalam budaya satu masyarakat tidak ada nilai yang memisahkan tajam antara milik masyarakat dengan milik pribadi. Hanya jika birokrasi negara membuktikan bahwa dia bekerja bertanggung jawab penuh untuk kepentingan umum.

Tindakan represif untuk dapat mengatasi tindak kejahatan korupsi pendekatan secara khusus yang dilakukan oleh penegak hukum telah banyak dilakukan melalui penerapan sanksi yang dijatuhkan bagi pelaku koruptor dengan tindakan pidana yang cukup berat. Praktik-praktik seperti penyalahgunaan wewenang, penyuapan, kolusi antara penguasa dan pengusaha, pemberian uang pelicin, pungutan liar, serta penggunaan uang negara untuk kepentingan pribadi. Penegak hukum  selama ini mengutamakan segi represif dari penekanan peraturan perundang-undangan. Tindakan ini ibarat memotong puncak es atau praktik tebang pilih namun akar korupsi masih terus tumbuh subur.

Maka oleh karena itu, bentuk preventif (pencegahan) tidak kalah penting dalam mengatasi tindak kejahatan korupsi dengan guna untuk memberbaiki akar supaya korupsi tidak tumbuh subur kembali. Salah satu pendekatan eksternal dalam memberikan solusi pencegahan yaitu pendekatan spiritual. Pendekatan aspek spiritual yang dikenal juga dengan tasawuf. Peran fungsi tasawuf di dalam hukum sangat diperlukan dan menjadi kebutuhan sandang pokok bagi masyarakat. Ajaran tasawuf yang diutamakan adalah mengenal nafsu. Karena dengan nafsu ini menjadi penyebab terjadinya berbagai tindak pidana kejahatan termasuk korupsi. Kotoran nafsu yang menutupi hati inilah timbul nya berbagai perbuatan maksiat yang mewarnai alam pemikiran para aparatur penegak hukum itu sendiri, para pejabat dan pemegang kewenangan.

Syekh Ibn Ajibah dalam kitab Futuhat llahiyah fi Syarhi al-Mahabits al-Ashaliyyah menjelasakan, di antara tabiat nafsu adalah; takabur (sombong amal), ujub,(sombong fisik), angkuh, kesombongan, pendendam, licik, pembenci, serakah, berangan-angan, iri hati, hasud, keluh kesah, gelisa, tamak, menimbun harta, mencegah, melarang, penakut, bodoh, malas, keji, keras hati, menuruti keburukan, menghina, mencemooh, mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi, congkak, pemarah, boros, gegabah, munafik, sewenang-wenang, penindas, permusuhan, pertentangan, durhaka, pembangkang, pertikaian, persaingan, menggunjing, pembohong, pendusta, pemikir, naminah (adu domba), prasangka yang buruk, lari dari kenyataan, suka mencela, suka dengan kekerasan, banyak alasan, suka berkhianat, suka berbuat mesum, gembira atas bencana orang lain dan lain sebagainya.

Tabiat nafsu di atas yang mendorong seseorang yang mempunyai kewenangan dan jabatan berani untuk melakukan tindakan korupsi. Bahkan peraturan dan bentuk regulasi hukum dijadikan alat justifikasi membenarkan setiap tindakan yang meraka lakukan. Tidak ada cara lain, dengan sistem tasawuf dan thariqah lah pengaruh negative tabiat nafsu itu dapat dibersihkan dan disucikan. Terapi rehabilitasi kondisi mental aspek batin sangat penting dilakukan.

Untuk mengimplemntasikan nilai-nilai tasawuf melalui thariqah maka disinilah perlunya lembaga yang berwenang dan para penegak ruhani. Lembaga berwenang adalah organisasi-organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, JATMAN dan lain sebagainya. Dan di Provinsi Aceh ada lembaga yang disebut Majelis Pengkajian Tauhid dan Tasawuf yang disingkat dengan MPTT-I. Sementara penegak ruhani dalam istilah thariqah adalah mursyid atau syekh termasuk para kiai-kiai dan ulama-ulama melalui balai-balai pengajian, khirqah-khirqah, pesantren-pesantren dalam memberikan kontibusi penyampaian dakwah tasawuf dan bimbingan praktik amalan-amalan ruhani kepada masyarakat terutama bagi para kalangan cendikiawan,  akademisi, akitivis, praktisi hukum pejabat-pejabat pemerintahan, tokoh-tokoh politik dan para penegak hukum itu sendiri.

Untuk itu bentuk usaha yang dilakukan ahli tarekat dalam membersihkan jiwa ada beberapa tingaktan,

1. Takhalli

Takhalli merupakan upaya membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, dari maksiat lahir dan maksiat batin. Maksiat-maksiat ini harus dibersihkan, karena menurut para sufi semua itu adalah najis maknawi (najasah ma’nawiyah) yang menghalangi seseorang untuk dapat dekat dengan Tuhannya, sebagaimana najis hati (najasah siriyah) yang menghaIangi seseorang dari melakukan ibadah yang diperintahkan Tuhan kepadanya. Takhalli juga dimaknakan dengan mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap kelezatan hidup duniawi. Di antara sifat-sifat buruk yang harus dibersihkan dari hati tersebut adalah hasad (dengki), su’ud-dzan (buruk sangka), kibr (sombong), ‘ujub (merasa besar diri), riya (pamer), sum’ah (memperdengarkan kebajikan yang telah dilakukan), bukhul (kikir), hubbal-mal (cinta harta), tafahur (membanggakan diri), ghadab (pemarah), ghibah (pengumpat), namimah (bicara dibelakang orang), kizb (dusta), khianat (wan prestasi).

2. Tahalli 

Sesudah tahap pembersihan diri dari segala sifat dan sikap mental tidak baik dapat dilakukan, maka usaha itu harus berlanjut terus ke tahap kedua yang disebut tahalli. Tahapan ini merupakan tahapan pengisian jiwa setelah dikosongkan dari akhlak-akhlak yang tercela. Tahalli berarti berhias yakni berhias dengan sifat-sifat Tuhan Yang Maha Sempurna. Namun perhiasan paling sempurna dan paling murni bagi hamba adalah berhias dengan sifat-sifat penghambaan. Tahalli juga berarti suatu upaya untuk mengisi atau menghiasi jiwa dengan jalan membiasakan diri dengan sifat, sikap, prilaku, dan akhlak yang baik. Sehingga tahalli berarti mengisi diri dengan sifat-sifat terpuji dengan melakukan ketaatan lahir dan batin. Jadi tahalli ini merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada tahap sebelumnya yakni takhalli. Di antara sikap mental dan perbuatan baik yang sangat penting untuk diisi dan ditanamkankan ke dalam jiwa manusia adalah taubat, zuhud, faqr, sabar, ridha, dan tawakal, seperti yang terdapat dalam maqama.

3. Tajali

Apa yang telah diupayakan pada langkah-langkah sebelumnya dalam tahalli diharapkan tetap langgeng, berkelanjutan dan terus meningkat. Untuk itu, upaya yang dilakukan adalah memupuk rasa ketuhanan sehingga rasa itu tetap ada di dalam diri. Kesadaran ketuhanan dalam semua aktivitas ini, akan melahirkan kecintaan bahkan kerinduan kepada-Nya. Tingkat kesempurnaan kesucian jiwa dalam pandangan para sufi hanya dapat diraih melalui rasa cinta kepada Allah. Sedangkan keberadaan dekat dengan Allah hanya akan dapat diperoleh melalui kebersihan jiwa. Jalan menuju kepada kedekatan kepada Allah ini menurut para sufi dapat dilakukan dengan dua usaha, Pertama, mulamazah yaitu terus menerus berada dalam zikir kepada Allah. Kedua, mukhalafah yaitu secara berkelanjutan dan konsisten menghindari segala sesuatu yang dapat melupakan Allah. Keadaan ini, oleh para sufi disebut perjalanan menuju kepada Allah (safar ila al-haq). Apabila jiwa telah bersih, terhindar dari berbagai penyakit dan dipenuhi dengan kebaikan-kebaikan, maka Allah akan memasukkan Nur (cahaya)-Nya kedalam jiwa tersebut. Pada saat ini, seorang sufi akan merasa dekat dengan Tuhannya, sehingga berbagai kegaiban dan pengetahuanpun tersingkap baginya. Inilah yang kemudian disebut dengan tajalli.

Mengenai pengertian tajalli Ibnu Arabi menjelaskan: Tajalli adalah tersingkapnya didalam hati segala cahaya keghaiban Ilahiyyah. Manakala Qalbu dan himmah (kemauan yang kuat) telah menghadapkan wajahnya dan menyerahkan diri secara totalitas kepada Allah, serta telah lepas dari keakuan diri akan penelitian, pengamatan dan hasil-hasil intelektual logika seperti yang dipegang oleh orang-orang selain kaum sufi. Maka akal akan menjadi sehat dan selamat dari waham keraguan serta qalbu mereka kosong, bersih dan tersucikan. Ketika kesiapan ruhani Seperti ini telah ada dalam diri mereka (para sufi), maka Al-Haq akan bertajalli kepada mereka sebagai pengajar. Kemudian Musyahadah itu akan memperlihatkan kepada mereka makna-makna dari ungkapan-ungkapan rahasia sekaligus sekaligus seketika itu juga ini adalah salah satu bentuk dari beragam bentuk Mukasyafah. Sebagaimana firman-Nya,

“Dan telah kami ajarkan kepadanya Ilmu dari di sisi (ilmu Laduni) kami. (QS. Al-Khafi; 65)

Maka Keefektifan sistem penegekakan hukum tindak pidana korupsi dapat berjalan dengan baik apabila nilai-nilai tasawuf dan thariqah terimpelemtasikan ke dalam hati para penegak hukum. Rehabilitasi kondisi mental dan pendidikan spiritual kepada generasi muda maupun kepada akademisi, praktisi hukum, pejabat-pejabat pemerintahan, tokoh politik dan semua lapisan masyarakat supaya dapat memperbaiki iman dan memperbagus akhlak.  Apabila hati telah bersih dari kotoran nafsu maka akan memperoleh cahaya iman yang membuahkan akhlak mulia. Maka seseorang itu akan sadar bahwa kejahatan korupsi itu suuatu perbuatan maksiat termasuk dalam kategori hubbal-mal (cinta harta) dan hubbal-dunya (cinta dunia) yang membawa kerusakan besar baik secara pribadi maupun sosial. Timbulah rasa sedih dan kesadaran ruhnai, bahwa perbuatan korupsi itu dapat membawa rasa jauh dia dari Tuhannya. Maka timbullah tekanan dalam batin untuk segera lari dari perbuatan maksiat lari menuju ketaatan kepada Allah.

Penulis: Budi Handoyo
Editor: Khoirum Millatin