Ilmu Hakikat dalam Surat Al-Kahfi

September 20, 2023
Ilmu Hakikat dalam Surat Al-Kahfi

Laut dalam Surat Al Kahfi diibaratkan pertemuan dari dua representasi keilmuan besar yang diturunkan Allah Swt. kepada Nabi-Nya yang menjadi khalifah di bumi untuk mencapai kebenaran dan ke-Mahabesaran-Nya.

Dikisahkan dalam Surat Al Kahfi, bahwa Nabi Musa as. adalah representasi dari Ilmu Syariat dan Nabi Khidir as. sebagai guru para ahli Hakikat.

Keduanya berjalan beriringan, menuju, mengarungi dan menepi dari dua laut yang saling bertemu dan mempertemukan mereka. Mengamati satu-persatu peristiwa berdasarkan perspektif masing-masing.

Tidak ada yang salah, karena Nabi Musa as. melihat dengan kacamata syariat sedangkan Nabi Khidir as. melihat dari sisi hakikat. Nabi Musa as. melihat dari hulu, dan Nabi Khidir melihat jauh ke hilir.

Keduanya tidak bertemu dalam argumentasi. Tapi sama-sama berusaha mencapai ilahi. Titik temu keduanya ada pada keikhlasan Nabi Musa as. sebagai murid dan keridhaan Nabi Khidhr as. sebagai guru serta takdir Allah Swt. yang mempertemukan mereka.

Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan bahwa pertemuan dua sumber keilmuan besar ini sudah dijelaskan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari,

Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Suatu ketika Nabi Musa berkhutbah di hadapan Bani Israil, kemudian ia ditanya, “Siapa orang yang paling berilmu?” Nabi Musa menjawab, “Akulah orang yang paling berilmu.”

Allah lalu menegurnya karena ia tidak mengembalikan ilmu kepada-Nya (ia tidak menjawab bahwa Allah-lah Yang Maha Mengetahui).

Kemudian Allah berfirman kepada Nabi Musa, “Sesungguhnya di pertemuan dua laut sana ada hamba-Ku yang lebih berilmu daripada kamu.” Nabi Musa bertanya, “Ya Rabb, bagaimana aku bisa bertemu dengannya.” Allah berfirman, “Bawalah seekor ikan di dalam keranjang. Jika ikan itu lepas, di situlah hamba-Ku itu berada.” Kemudian Nabi Musa pergi dengan ditemani oleh pelayannya yang bernama Yūsya’ bin Nun dan keduanya membawa seekor ikan di dalam keranjang.

Sesampainya di sebuah batu karang besar, mereka berdua berbaring dan tidur. Maka ikan yang mereka bawa itu lepas dari keranjang, kemudian melompat ke laut, dan hal ini membuat Nabi Musa dan pelayannya heran (setelah mengetahuinya). Keduanya kemudian melanjutkan perjalanan pada sisa malam yang masih ada hingga tiba pagi hari (tanpa menyadari hilangnya ikan tersebut).

Ketika pagi harinya, Musa berkata kepada muridnya, “Bawalah kemari makanan kita, sungguh kita telah merasa letih karena perjalanan ini.” Musa tidaklah merasakan keletihan kecuali setelah melewati tempat yang diperintahkan untuk didatangi.

Muridnya kemudian berkata kepadanya, “Tahukah engkau ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi, aku lupa menceritakan tentang ikan itu, dan tidak ada yang membuatku lupa untuk mengingatnya kecuali setan.”Musa berkata, “Itulah (tempat) yang kita cari.”

Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Ketika mereka sampai di batu besar itu, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang menyelimuti dirinya dengan kain atau terselimuti dengan kain, lalu Musa memberi salam kepadanya. Kemudian Khiḍir berkata, “Bagaimana bisa ada salam di negerimu?” Musa berkata, “Aku Musa.” Khiḍir berkata, “Apakah Musa (Nabi) Bani Israil?” Ia menjawab, “Ya.”

Musa berkata, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang telah diajarkan kepadamu sebagai petunjuk?” Khiḍir berkata, “Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku, wahai Musa! Sesungguhnya aku memiliki ilmu dari ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadaku yang engkau tidak mengetahuinya, demikian pula engkau memiliki ilmu yang Dia ajarkan kepadamu dan aku tidak mengetahuinya.”

Musa berkata, “Engkau akan mendapatiku -insya Allah- sebagai orang yang sabar dan aku tidak akan membangkang perintahmu.” Keduanya pun pergi berjalan di pinggir laut, sedang mereka berdua tidak memiliki perahu.

Lalu ada sebuah perahu yang melintasi mereka berdua, maka keduanya berbicara dengan penumpangnya agar mengangkut mereka berdua dan ternyata diketahui (oleh para penumpangnya) bahwa yang meminta itu adalah Khiḍir, maka mereka pun mengangkut keduanya tanpa upah.

Tiba-tiba ada seekor burung pipit yang turun ke tepi perahu kemudian mematuk sekali atau dua kali patukan ke laut. Khiḍir berkata, “Wahai Musa, ilmuku dan ilmumu yang berasal dari Allah tidak lain seperti patukan burung ini ke laut (tidak ada apa-apanya di hadapan ilmu Allah), lalu Khiḍir mendatangi salah satu papan (dinding) perahu kemudian mencabutnya.”

(Melihat keadaan itu) Musa berkata, “Mereka ini kaum yang telah membawa kita tanpa imbalan, namun engkau lubangi perahu mereka agar penumpangnya tenggelam?”. Khiḍir berkata, “Bukankah aku telah mengatakan bahwa engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku?.” Musa berkata, “Janganlah engkau hukum aku karena kelupaanku dan janganlah engkau bebankan aku perkara yang sulit!”

Kejadian pertama ini terjadi karena Musa lupa. Lalu keduanya melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba ada seorang anak yang sedang bermain dengan anak-anak yang lain, kemudian Khiḍir memegang kepalanya dari atas, lalu memenggal kepala tersebut dengan tangannya. Musa berkata, “Apakah engkau membunuh satu jiwa yang bersih bukan karena ia membunuh orang lain?” Khiḍir berkata, “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu bahwa engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku?” [Ibnu’Uyainah berkata, “Teguran Khiḍir (yang kedua ini) lebih tegas.”

Keduanya pun melanjutkan perjalanan sehingga ketika mereka sampai ke penduduk suatu kampung, keduanya meminta agar penduduk tersebut menjamu mereka, namun mereka tidak mau menjamu keduanya. Lalu keduanya mendapatkan rumah yang hampir roboh di kampung itu, maka Khiḍir menegakkannya, Khiḍir melakukannya dengan tangannya. Musa pun berkata, “Sekiranya engkau mau, niscaya engkau dapat meminta imbalan untuk itu.” Maka Khiḍir berkata, “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu.” Nabi -șallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Semoga Allah merahmati Nabi Musa, kita benar-benar mengharapkan seandainya ia bisa bersabar agar bisa dikisahkan kepada kita semua perkara yang terjadi di antara mereka berdua.”

Meskipun terjadi sangat singkat, namun Nabi Khidir as. memberikan pengalaman yang luar biasa kepada Nabi Musa as. yang belum pernah diketahui sebelumnya. Dalam Surat Al Kahfi Nabi Khidir as. menjelaskan rangkaian peristiwa yang mereka alami,

Pertama, bahwa tujuan Nabi Khidir as. melubangi perahu yang mereka tumpangi adalah agar perahu tersebut tidak menjadi jarahan bagi perompak yang ada di belakang mereka, yang mana pada saat itu perompak tersebut belum memperlihatkan keberadaannya.

Kedua, tujuan Nabi Khidir as. membunuh seorang anak kecil adalah karena anak tersebut akan menjadi kafir ketika dewasa, dan setelah kejadian itu, Allah Swt. akan menganugerahi orang tuanya dengan anak yang shalih. Itu berarti Nabi Khidir tidak hanya ingin menaikkan derajat si orang tua, tetapi juga menjaga keimanan si anak agar tidak tumbuh menjadi orang kafir.

Ketiga, tujuan Nabi Khidhir as. ketika membetulkan rumah yang roboh adalah karena rumah tersebut adalah milik dua anak yatim yang di bawahnya tersimpan harta warisan dari orang tua mereka untuk keberlangsungan hidupnya kelak. Jika rumah tersebut dibiarkan roboh, maka harta yang tersimpan akan terlihat oleh orang banyak, bahkan bisa diperebutkan. Maka, melalui wasilahnya, Allah Swt. ingin menjamin kehidupan anak yatim tersebut dengan tetap menjaga hartanya agar tidak diketahui orang lain.

Ketiga peristiwa di atas pada hakikatnya belum di alami oleh Nabi Khidir as. tapi ia sudah mengetahuinya lebih dulu, bahkan bisa menemukan solusinya.

Ini tidak lain karena Nabi Khidir sudah mengenal Allah Swt. secara hakikat sehingga Allah Swt. membukakan hijab kepadanya atas peristiwa yang sudah ditakdirkan oleh Allah Swt. Tapi belum pernah terjadi.

Allah Swt. melalui peristiwa ini ingin menegur Nabi Musa as. atas klaim sebagai manusia paling berilmu pada saat itu. Allah juga seolah-olah ingin memberitahukann kepada Nabi Musa as. bahwa ada ilmu yang lebih tinggi dari syariat, yaitu ilmu hakikat.

Melalui kisah tersebut, Allah Swt. juga menunjukkan bahwa agar lebih dekat kepada-Nya dan untuk mengetahui rahasia-Nya itu ada stratanya. Ilmu Syariat dan Ilmu hakikat pada dasarnya seperti anak tangga yang bisa dilalui jika sudah menempuh tangga yang paling bawah.

Dalam hal ini Nabi Khidir as. setingkat lebih tinggi dari Nabi Musa as. Allah Swt. tidak menganugerahkan semua orang seperti Nabi Khidir as. agar rahasia-Nya tetap menjadi rahasia-Nya. Kecuali Allah Swt. menghendaki untuk membuka rahasia tersebut kepada hamba pilihan-Nya.