Berbagai Penyakit Batiniyah yang Dihadapi Pengamal Tarekat

Mengamalkan tarekat memang proses mendekatkan diri kepada Ilahi. Namun dalam perjalanannya, tentu saja proses tersebut tidak mudah, karena terdapat berbagai penyakit batin yang sulit disadari oleh pengamal tarekat yang bisa menghambat bahkan memusnahkan tujuan utama mereka kepada Allah. Adapun penyakit-penyakit tersebut antara lain:
1. Merasa Memiliki Amal
Maksudnya orang itu merasakan bahwa dirinya itu telah banyak berbuat amal shalih; banyak melakukan shalat, puasa, zikir, banyak sedekah dan sebagainya. Jika ada rasa demikian maka rusaklah perjalanan ruhaninya. Rasa yang demikian itu bukan saja akan menimbulkan sifat riya’, ujub dan sebagainya tetapi juga bisa menyebabkan syirik atau menyekutukan Allah. Oleh sebab itu seorang salik harus tetap menyadari bahwa ia dapat beramal shalih itu karena karunia dari Allah.
Setelah ia dapat meresapi kah tersebut, maka atas izin Allah ia akan dikaruniai Tauhid Af’al atau Tauhid pada perbuatan Allah, di mana seorang itu pada posisi tersebut dapat melihat keesaan perbuatan Allah semata dan akan tercapai tiga syarat bagi penerimaan amal yaitu ikhlas, fana’ (diri dalam perbuatan Allah) dan benar-benar merasa bahwa tidak ada daya dan kekuatan kecuali amalan Allah sema. Jadi kesimpulannya adalah bila seseorang merasa memiliki amal, maka Tauhid Af’al tidak akan tercapai.
2. Panjang Angan dan Nafsu Dunia
Khalifah Ali bin Abi Thalib pernah menyebutkan bahwa panjang angan dan nafsu dunia adalah puncak segala kesalahan. Karena orang tersebut akan terlena dengan apa yang dipikirkannya. Setiap saat hatinya akan berkata, “Aku akan melakukan ini, melakukan itu. Kalau aku melakukan ini, maka akan menjadi ini dan kalau aku melakukan hal lain, maka akan menjadi itu.”
Intinya, ia akan dibayangi oleh berbagai pikiran dan rencananya sendiri yang tidak akan ada habisnya. Hal demikian mengambarkan bahwa orang tersebut tidak memahami Tauhid, sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Athaillah, bahwa orang yang tidak memahami tauhid, hatinya akan senantiasa berkata, “Apakah yang akan aku perbuat?”
Menurutnya, orang yang benar Tauhidnya akan berkata dalam hati, ”Apakah yang akan Allah perbuat terhadap dirinya.” Sedangkan orang yang panjang angan-angan, hatinya akan menjadi gelap karena berbagai hal yang memenuhi ruang di hatinya sehingga Allah tidak lagi memiliki tempat di dalamnya. Nabi Muhammad bersabda, ”Hati itu rumah Allah” Maksudnya hati itulah tempat yang dipilih dan dibersihkan oleh Allah sebagai perantara antara Allah dengan hamba-Nya. Oleh sebab itu hati itu tidak boleh dimasuki sesuatu selain Allah.
Keadaan hati itu seperti Ka’bah yang dianggap sebagai rumah Allah. Jika Ka’bah harus bersih dari perkara-perkara yang bisa menjatuhkan kesuciannya, maka begitu pula dengan hati, ia harus bersih dari sesuatu yang mengotorinya serta yang menggelapkannya.
Dari nafsu dunia itu maka akan timbul berbagai sifat tercela seperti tamak, hasad, dengki, suka kepopuleran dan sebagainya. Perlu diingat bahwa sebagian dari nafsu dunia adalah harapan seseorang terhadap akhirat. Namun sayangnya harapan tersebut telah tercampur dan dikotori oleh nafsunya sendiri. Banyak orang yang tidak sadar terhadap hal ini. Misalnya memperbanyak zikir sepanjang siang dan malam, tetapi dalam hatinya tersirat bahwa jika ia melakukan hal ini, maka ia akan menjadi wali. Padahal seharusnya ia cukup berharap mendapat makrifat dan ridla dari Allah saja.
Begitu pula seorang salik yang berhenti bekerja atau menuntut Ilmu hanya untuk memperbanyak zikir dan amal ibadah agar cepat sampai pada maqam yang dituju. Hal tersebut sebenarnya masih dipenuhi oleh nafsu dunia yang dibungkus oleh harapan pada akhirat.
3. Hatinya Terlintas Bahwa Dirinya Telah Mencapai Derajat Wali
Orang yang berpikiran bahwa dirinya telah menjadi wali itu berlawanan dengan kehendak Allah. Karena Allah melarang seseorang yang mengaku dirinya itu suci dan bersih, sebagaimana firman Allah,
“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Diaah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa” (Qs. An Najm: 32).
Nabi juga bersabda,
“Ciri-ciri orang yang celaka (masuk neraka) itu empat perkara: Pertama, melupakan dosa-dosa yang dilakukan, pada hal dosa-dosa itu masih utuh di sisi Allah. Kedua, mengingat berbagai kebaikan yang dilakukan, padahal ia tidak tahu apakah kebaikan itu diterima atau ditolak oleh Allah. Ketiga, memandang orang yang di atasnya dalam urusan duniawi. Keempat, memandang orang yang di bawah (lebih rendah) dalam urusan agama. Maka Allah berfirman (kepada orang ini), ‘Aku menghendaki orang ini, tetapi ia tidak menghendaki Aku, maka Aku pun meninggalkannya.”
Sebenarnya, bila seseorang itu tinggi derajatnya di sisi Allah, maka ia akan merasa rendah; bila ruhaninya bersih, maka ia merasa kotor dan banyak dosa; bila ia menjadi wali, maka merasa dirinya masih jauh dari cintanya Allah. Sebaliknya, orang yang masih bergelimang dosa biasanya merasa dirinya sudah bersih, sudah menjadi wali Allah. Oleh sebab itu, orang yang merasa telah menjadi wali itu sebetulnya telah menyimpang jauh dari perjalanannya yang benar. Ia tidak akan sampai ke posisi yang dituju dan tetap jatuh dan sulit untuk bangun.
4. Senang Jika Dikelilingi Orang Banyak
Jika ada seseorang yang disukai oleh banyak orang, maka ia akan merasa bangga. Sebaliknya, jika ia dijauhi oleh banyak orang, maka ia akan sedih. Sifat semacam itu bisa merusak ruhani seorang salik, karena pada hakikatnya ia masih memandang makhluk dan tidak memandang Allah. Di samping itu, sifat tersebut juga menunjukkan bahwa ia masih mengharapkan popularitas, kemuliaan, keagungan dan sifat-sifat sejenis.
Semua sifat tersebut adalah pakaian Allah bukan pakaian makhluk. Ibrahim bin A’zham berkata,
”Seseorang yang tidak meninggalkan kemuliaan pada kehinaan, ia tidak akan sampai pada derajat orang yang salih”.
Seorang murid Syekh Abu Yazid Al-Bustami pernah mengadu kepadanya bahwa ia telah mengabdi selama 30 tahun tetapi ia merasakan perubahan apapun dan masih tetap seperti dulu. maka apakah yang menyebabkannya seperti itu? Syekh Abu Yazid Al-Bustami menjelaskan bahwa sekalipun muridnya itu mengabdi selama seribu tahun lagi pun tetap tidak akan mengubah keadaan dirinya itu, kecuali ia membuang semua sifat merasa mulia dan tinggi di hadapan orang lain.
Seorang itu dikehendaki menjadi hamba Allah, bukan hamba manusia. Bila ia suka kepada manusia, maka ia menjadi hamba manusia, bukan hamba Allah. Seorang hamba Allah hanya sibuk dengan Allah, senang dengan Allah, cinta hanya kepada Allah, berharap hanya pada Allah dan tidak kepada yang lain.
5. Merasa Bangga dengan Banyaknya Kasyaf dan Mimpi
Orang yang bangga terhadap kemampuan kasyafnya akan selalu berorientasi pada berbagai tafsiran kasyaf dan mimpi yang dialaminya. Lama-kelamaan tanpa ia sadari, ia akan disesatkan oleh setan yang ikut menafsirkan kasyaf tersebut. Bahkan setiap ia melakukan amal, ia akan berharap untuk mendapat kasyaf dan mimpi yang baik atau yang dapat menguntungkan dirinya.
Lalu bagaimana jika ia kasyaf atau bermimpi melihat si Fulan berzina, si Fulan bin Fulan itu harus dibunuh dan sebagainya lagi? Tentu akan menimbulkan fitnah besar di dalam masyarakat. Ternyata orang yang berpegang terhadap kasyaf dan mimpi itu bisa jauh dari tujuan perjalanannya yang dipanjatkan dalam doanya sendiri.
6. Merasa Nyaman dan Menikmati Wirid dan Zikir yang Dilakukan
Sifat ini juga dilarang karena bisa melalaikan seseorang dari mengingat Allah dengan benar. Tujuan berzikir adalah mengingat Allah, bahagia dan senang bersama Allah, bukan dengan wirid dan zikir yang dibaca itu. Jika seseorang menikmati wirid dan zikir yang dibaca, itu sama seperti ia menikmati lagu.
Sifat tersebut akan menjadi hijab karena seseorang akan berhenti di tahap wirid dan zikirnya saja, sedangkan perjalanannya yang sesungguhnya masih jauh lagi.
Bagaimana jika seseorang itu mendapat mimpi? Jika mimpi itu baik maka hendaklah ia bersyukur dan jika sebaliknya maka hendaklah ia berlindung dengan Allah, jalan terus, jangan terlalu dihiraukan mimpi itu.
7. Merasakan Kelezatan dari Hasil Zikir Al-Waridat
Hasil Zikir al-Waridat itu di antaranya juga tersingkapnya berbagai rahasia-rahasia perjalanan menuju Allah. Di kalangan ahli thariqah di Malaysia, al-waridat juga diistilahkan sebagai hasil zikir. Imam Al-Ghazali mengibaratkan orang yang merasakan kelezatan al-waridat itu seperti anak-anak kecil yang menangis, lalu diberikan permen dan mainan. Sehingga ia merasa senang dan berhenti menangis.
Imam Al-Ghazali juga mengambarkan bahwa perjalanan ruhani seseorang menuju Allah itu dapat diibaratkan dengan perjalanan seseorang menemui raja yang bersemayam di dalam istananya. Jika seseorang ingin menemui raja itu, ia pasti keluar dari rumahnya dan menempuh waktu yang lama untuk menemui raja itu. Selama dalam perjalanan ia akan melewati banyak objek, seperti kampung, kebun, ladang, dan berbagai pemandangan lainnya. Sesampainya di istana, ia menemukan pemandangan yang lebih menarik. Jika seorang salik sudah merasa bahagia dengan yang ia lihat, maka ia akan melupakan tujuan awalnya, yaitu menemui raja.
Yang berbahaya adalah jika orang itu merasa telah sampai pada raja yang dituju, sedangkan ia masih jauh dari istana atau mungkin baru sampai di halaman istana. Untuk itu, rasa lezat, bahagia dengan al-waridat dapat menjadi penghalang yang merusak perjalanannya. Apalagi jika ia sudah sampai pada rasa candu.
Di tahap tersebut, seseorang akan dihanyutkan oleh al-waridat itu sendiri. Sehingga bila suatu hari ia tidak merasakan al-waridat itu maka ia akan berprasangka buruk kepada Allah, dirinya sendiri, gurunya dan para sahabatnya. Al-waridat bisa diterima dengan bersyukur kepada Allah asal tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah serta tidak berlawanan dengan kata-kata ulama yang arif billah. Tetapi jika bertentangan, maka abaikan saja. Inilah mengapa setiap orang perlu terus belajar ilmu, tauhid, fiqih dan tasawuf, karena tanpa ilmu, sulit untuk menentukan apakah al-waridat itu hak atau batil.
8. Apatis Terhadap Perintah Allah untuk Melakukan Kebaikan
Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berbuat baik, bahkan memerintahkan mereka untuk berlomba-lomba berbuat kebaikan. Allah berfirman dalam Surat Al-Anbiya ayat 90 yang artinya,
“Hendaklah kamu berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan”.
Perintah Allah untuk berbuat kebaikan di luar perkara wajib sangat banyak. Oleh sebab itu, apabila seseorang sudah menunaikan ibadah wajib, maka seharusnya ia segera melakukan kebaikan yang lain.
Ingatlah bahwa orang yang berhenti (waqif) itu adalah orang yang baru berjalan, seorang salik adalah orang yang terus berjalan (sair) sedangkan orang yang telah sampai kepada hakikat (wasil) adalah orang yang sentiasa terbang, bukan hanya ruhaniyahnya tetapi juga aspek zahirnya.
Nabi Muhammad Saw. sendiri adalah sosok yang aktif, cerdas dan gemar melakukan kebaikan dalam hidupnya. Sebab itulah Allah menyatakan bahwa hamba Allah yang sebenarnya adalah mereka yang mendengar ajaran Allah lalu melakukan dengan sebaik-baiknya.
9. Hanya Berpegang pada Prasangka
Menempuh perjalanan ruhani itu sangat sulit dan mudah disesatkan. Hal ini jauh lebih lebih sulit dari pada menempuh perjalanan dalam sebuah hutan rimba. Oleh sebab itu, ia membutuhkan ilmu yang benar sebagaimana yang ada di dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi serta yang terdapat di dalam kitab-kitab yang muktabar.
Jika seseorang hanya mengikuti prasangkanya saja, ia akan mudah tersesat. Dari sudut lain, kita dapat menggambarkan bahwa jalan ruhani itu seperti sebuah cermin yang bersih, tetapi ada pembatas antara kiri dan kanan. Sebelah kiri adalah kesesatan sedangkan sebelah kanan adalah yang dikehendaki oleh Allah. Tetapi garis pembatas di cermin yang memisahkan kiri dan kanan itu tidak nampak dan sangat sulit dilihat. Sehingga Ketika orang yang berjalan di atasnya telah jauh menyimpang ke kiri, ia meyakini masih berada di sebelah kanan. Dengan kata lain ia sesungguhnya telah sesat tetapi ia merasa masih berada di dalam kebenaran.
Hanya bila kita berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah serta pandangan ulama yang arif billah sajalah kita dapat menyadari apakah kita telah sesat atau berada di dalam kebenaran Allah. Kebanyakan kesesatan dan tindakan serta tingkah laku pengamal-pengamal ilmu tasawuf yang menyalahi syariat Islam adalah berpatokan pada prasangka mereka sendiri seperti yang disebutkan.
10. Menipu Allah dan Mengikuti Tipu Daya Setan atas Nama Agama
Menipu Allah kerap dilakukan oleh orang-orang yang jahil, terutama seseorang yang jahil murakkab, yaitu orang bodoh yang tidak mau belajar dan mendengarkan kebenaran. Bahkan, ia malah bersikap sombong atas kebodohannya itu.
Contoh perbuatan menipu Allah itu seperti tidak mau shalat karena ia mengaku sudah melaksanakan shalat daim (hatinya terus shalat tanpa putus), merasa jika berjudi itu rizki yang Allah beri sebagaimana sumber-sumber rizki lainnya karena hakikat rizki itu datangnya dari Allah, menganggap jika berdoa itu syirik karena bila berdoa berarti menuduh Allah tidak tahu cara mengurus makhluknya.
Kata-kata si jahil seperti itu merupakan intensi buruk semata. Mereka akan dimasukkan ke neraka oleh Allah dengan cara yang amat menyakitkan hatinya. Tegasnya Allah akan berlaku buruk terhadap mereka. Misalnya, orang itu akan dimasukkan ke dalam satu wadah dan wadah itu dimasukkan ke neraka; bila mereka bertanya mengapa mereka dimasukkan ke neraka, maka Allah menjawab bahwa Allah tidak membakar mereka tetapi hanya membakar wadah itu saja. Wallahu a'lam.
Editor: Khoirum Millatin