Bertarekat itu sesat? Berikut Penjelasan Pengurus JATMAN
Ketua Lajnah Muwasholah Jam'iyyah Ahlit Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyyah (JATMAN) KH Ali M. Abdillah dilansir dari NU Online pada tahun 2017 telah menjelaskan, bahwa ajaran tasawuf dan tarekat merujuk kepada Al-Quran dan hadis. Dalam Al-Qur’an Surat Al-A’la ayat 14-15

Jakarta, JATMAN Online - Ada yang beranggapan bahwa bertasawuf dan mengamalkan ajaran tarekat merupakan ajaran yang sesat, bid’ah karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad, serta tidak ada dalilnya di dalam Al-Qur’an.
Menanggapi hal itu, Ketua Lajnah Muwasholah Jam'iyyah Ahlit Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyyah (JATMAN) KH Ali M. Abdillah dilansir dari NU Online pada tahun 2017 telah menjelaskan, bahwa ajaran tasawuf dan tarekat merujuk kepada Al-Quran dan hadis. Dalam Al-Qur’an Surat Al-A’la ayat 14-15:
قَدۡ أَفۡلَحَ مَن تَزَكَّىٰ ١٤ وَذَكَرَ ٱسۡمَ رَبِّهِۦ فَصَلَّىَّ ١٥
Artinya: "Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman) (14) dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang (15)"
Adapun dalil lainnya terdapat pada surat As-Syams ayat 9:
قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَاۖ
"Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu)"
Ayat-ayat tersebut merupakan dalil dan menjadi rujukan dari mereka yang bertasawuf dan bertarekat.
“Memang pada zaman Nabi Muhammad dua istilah ini belum ada. Namun, rujukan ajaran tarekat dan tasawuf itu adalah Al-Qur’an dan hadist,” kata Kiai Ali di Tebet Jakarta, Senin (30/10).
Selain itu, Kiai Ali juga menegaskan bahwa Rasulullah memberikan contoh dalam melakukan riyadlah dan mujahadah diri. Yakni ketika Nabi Muhammad menyendiri di Gua Hira dengan hanya sedikit makan. Proses ini yang juga dilakukan ketika seseorang bertaswuf dan bertarekat.
“Dalam tasawuf ini disebut sebagai proses takhalli yakni menyucikan diri dari jiwa-jiwa yang buruk,” jelas Pengasuh Pondok Pesantren Al-Rabbani itu.
Kiai Ali berpendapat, meski Rasulullah adalah orang yang terjaga dari dosa (ma'shum) dan suci, namun tetap melakukan riyadlah dan mujahadah sebagai bentuk teladan kepada umatnya bahwa untuk mencapai titik muthmainnah dan tingkatan dekat dengan Allah maka harus dibarengi dengan riyadlah dan mujahadah.
Menurut Kiai Ali, periode takhalli Rasulullah dimana hakikat lebih dominan karena pada waktu ini belum ada kewajiban-kewajiban yang bersifat syariat. Pada periode Makkah ini, Rasulullah tetap sabar meski dilempari dengan batu dan kotoran serta dicaci maki.
Karena pada proses takhalli, seseorang akan memiliki jiwa yang bersih dan memandang segala sesuatunya itu digerakkan oleh Allah.
“Sedangkan, pada periode Madinah Rasulullah istilahnya mencapai pada tahapan tajalli. Yakni secara ruhani Rasulullah senantiasa ingat kepada Allah namun beliau melengkapinya dengan aspek syariat,” jelasnya.
“Itulah simbol takhalli, tahalli, dan tajalli yang dicontohkan oleh Rasulullah. Itu dasar bertasawuf,” ungkapnya.
Sumber kedua selain Al-Qur’an adalah hadits Rasulullah. Pengurus Idaroh Wustho Jatman Banten Kiai Hamdan Suhaemi menyatakan bahwa Hadits inilah yang jadi dalil tasawuf sebagai ajaran Islam.
اِزْهَدْ فِى الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللهُ وَازْهَدْ فِيْمَا فِى اَيْدِى النَّاسِ يُحِبُّوْكَ
Artinya: ’’Berzuhudlah terhadap dunia maka Allâh akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di tangan orang lain, maka mereka akan mencintaimu,’’ (Sunan Ibn Majjah, juz 3, halaman 1373)
Perhatikan hadits Rasulullah berikut ini dan penjelasan dari para ulama.
من عرف نفسه فقد عرف ربه
Artinya: "Siapa yang mengenal dirinya, maka sesungguhnya akan mengenal Tuhannya"
Beberapa pandangan ulama terkait hadits di atas, yang oleh Syaikh Ibnu Taimiyah adalah hadits maudlu', sedangkan Imam Nawawi tidak mengatakan sebagai hadits, tetapi Imam Suyuthi tidak menarjih pendapat Imam Nawawi tersebut, ini artinya status hadits dia atas lebih dikenal sebagai hadits syarif.
Pewarta : Abdul Mun'im Hasan
Editor: Warto'i