Urgensi Mengenal Nafsu dan Cara Menundukkannya

September 18, 2023 - 06:24
Urgensi Mengenal Nafsu dan Cara Menundukkannya

Nasfu dalam Diri Manusia
Tujuan orang yang bertarekat (thoriqah) adalah untuk ‘sampai’ (wusul) kepada Allah. Namun, sebelum ‘sampai’ kepada Allah, maka manusia harus mengenali nafsu-nafsu yang ada di dalam dirinya. Sebab, nafsu tersebut lah yang menjadi penghalang untuk ‘sampai’ kepada Allah.

Imam Ghazali sudah menjelaskan secara detil bahwa di dalam diri manusia ada empat nafsu: (1) nafsu ammarah, (2) nafsu lawwamah, (3) nafsu sawiyah, dan (4) nafsu muth’mainnah.

Nafsu ammarah dan lawwamah merupakan jenis nafsu yang tercela. Sementara nafsu sawiyah dan muth’mainnah adalah nafsu yang terpuji. Oleh karenanya, dua nafsu yang tercela tersebut harus ‘diperangi’ dengan olah batin (riyadlah).

Cara Menundukkan Nafsu Amarah dan Lawaamah
Dengan praktik tasawuf untuk menundukkan hawa nafsu (baik ammarah dan lawwamah), setiap tarekat memiliki cara yang berbeda-beda. Diantaranya, ada yang menganjurkan puasa hari senin, kamis, bahkan puasa dawud.

Sumber dari nafsu ammarah adalah makanan, atau perut yang kenyang, sehingga untuk mengurangi potensi nafsu itu, maka harus dengan berpuasa. Berpuasa juga bisa memutus suplai darah dimana darah merupakan tempat lalu-lalangnya setan.

Selain berpuasa, para pelaku tarekat juga dianjurkan untuk mempraktikkan dzikir. Diantara dzikir yang paling masyhur di dunia tarekat adalah kalimat tahlil ‘La Ilaha Illa Allah’. Dzikir ini juga bisa digunakan sebagai upaya untuk menundukkan nafsu ammarah.

Dalam praktik tarekat, pelafalan kalimat tahlil, ada tata caranya. Seperti saat melafalkan kata ‘La’ ditarik dari perut ke atas, ‘Ila’ ditarik ke kanan, ‘Illa Allah’ dihantamkan ke hati. Dengan hentakan ‘Illah Allah’ ini diharapkan hati ini selalu ingat kepada Allah.

Para sufi berpuasa dan berdzikir secara istiqomah, baik harian, bulanan, maupun tahunan. Tidak lain, itu adalah upaya untuk menundukkan hawa nafsu. Dalam Tarekat Naqsabandiyah ada amaliyah rutin khalwat (menyepi) 10 hari (pemula), 20 hari (mutawassith), dan ada yang 40 hari (muntahi).

Menyendiri (khalwat) merupakan latihan untuk mengosongkan hati dan pikiran. Tujuannya adalah untuk mengikis hubungan dengan hal-hal yang bersifat duniawi, sehingga hubungan yang ada hanya berfokus kepada Allah. Para ulama sufi terdahulu melakukan khalwat selama berpuluh-puluh tahun.

Jika hawa nafsu sudah bisa ditundukkan, maka bisa merasakan surga sebagai tempatnya. Surga bisa bermakna hissi ataupun maknawi.

Bertasawuf tapi tidak bertarekat
Ada orang yang belajar tasawuf namun dia tidak bertarekat dan ada juga orang yang bertasawuf juga bertarekat. Keduanya memiliki pencapaian spiritualitas yang berbeda. Orang yang belajar ilmu tasawuf namun tidak dipraktikkan dengan bertarekat maka itu akan menjadi sekedar pengetahuan teoritis dan tidak mengalami pengalaman spiritual. Sementara mereka yang bertasawuf dan juga bertarekat maka akan merasakan apa yang dikatakan.

Sebab orang bertarekat itu memiliki guru, yang bersambung kepada Rasulullah. Guru yang muttasil (bersambung) itu penting, karena setiap amaliah yang kita laksanakan haru amalkan tetap dalam koridor keteladanan yang sudah dicontohkan Rasulullah.