Teori Emanasi dalam Tasawuf Perspektif Syekh Syamsuddin Asy-Syumatrani

Teori filsafat ini menjelaskan bahwa segala yang ada memancar dari Dzat yang Satu. Kata emanasi berasal dari bahasa latin emanatio yang berarti "pancaran". Dalam bahasa Arab, istilah ini disebut al-faidh.
Teori emanasi pertamaa kali diperkenalkan oleh Plotinus (205-270), filsuf Yunani yang tinggal di kota Alexanderia, (Iskandariyah), Mesir. Awalnya Plotinus tidak ingin membentuk aliran filsafat sendiri, melainkan ingin memperdalam filsafat Plato (filsuf Yunani, 427-347 SM) yang dipelajarinya. Ajaran filsafat nya dinamai Neo-Platonisme.
Filsafat Emanasi (falsafah Al-faidh) menjelaskan asal mula penciptaan alam yang terjadi dengan cara memancar atau melimpah dari Yang Asal atau Yang Esa. Yang Asal itu adalah Wahdah (Satu), tidak ada pertentangan di dalamnya, tidak dapat dikenal sebab tidak ada ukuran perbandingannya, serta menjadi permulaan dan sebab pertama dari segala yang ada.
Karena memancar dari Yang Asal, alam ini jelas merupakan bagian dari-Nya. Kalau Yang Asal itu adalah Tuhan, berarti alam menjadi bagian dari Tuhan atau lebih tepat dikatakan berada dalam Tuhan, namun sama sekali tidak dapat dikatakan bahwa Tuhan berada dalam alam.
Demikianlah pula keadaan alam yang memancar dari Yang Wahdah. Akan tetapi menurut Platonus, emanasi alam dari Yang Wahdah itu tidak dapat dipahami sebagai suatu kejadian yang berlaku dalam dimensi ruang dan waktu, sebab ruang dan waktu terletak pada tingkatan terbawah proses emanasi. Ruang dan waktu itu adalah pengertian dalam keduniaan.
Di dunia Islam, ajaran al-faidh (emanasi) ini pertama kali dibawa oleh Abu Nashr Al-Farabi (870-950). Al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak (katsroh) bisa timbul dari yang Esa (Wahdah) dengan filsafat al-faidh (emanasi). Tuhan diyakini sebagai yang Wahdah, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha sempurna, dan tidak berhajat pada siapapun.
Kemudian dalam perkembangan pemikiran intelektual islam (filsafat islam) dan intiusi spiritual (tasawuf), terjalin interaksi antara filsafat emanasi Platonus dan tasawuf Irfan yang di prakasai oleh Asy-Syaikhul al-Akbar Ibn Arabi (1198-1240). Dalam hal ini, Ibnu Arabi menggunakan metode pendekatan filsafat atau meminjam istilah-istilah filsafat yang bertujuan untuk menjabarkan dan mendeskripsikan kalam-kalam Dzuq ahli Kasyf, dengan maksud agar dapat di fahami kedalam, walaupun demikian kalam-kalam Dzuq itu tidak dapat dicerna dan difahami hanya lewat akal rasional.
Perkembangan berikutnya istilah emanasi dikembangkan oleh murid-murid Ibnu Arabi dan penerusnya yaitu: Sadr al-Din al-Qunawi (w 1275), Mu'ayyid al-Din al-Jandi (w 1291), Abd al-Razzaq Al-Kasyani (w 1330), Syaraf al-Din Dawud Al-Qasyhari (w 1350), Abd al-Rahman Jami (w 1492) dan lain sebagainya.
Pada perkembangan berikutnya ajaran emanasi terus berkembang ke dunia Islam bagian timur yang mempengaruhi pemikiran sejumlah ulama-ulama Tasawuf Nusantara periode pertama, diantaranya Syekh Syamsuddin Asy-Syumatrani (w 1630) seorang ulama Sufi dari kerajaan Aceh Darussalam sekaligus menjabat sebagai mufti Sultan Iskandar Muda Akbar.
Pengaruh emanasi Tasawuf dari Ibnu Arabi melalui Teori martabat tujuh syekh Burhanpuri Al-Hindi mempengaruhi kajian spiritual Syekh Syamsuddin Asy-Syumatrani yang dituangkan dan dijelaskan dalam salah satu Kitab beliau yang bernama "Jauhar al-Haqa’id."
Syamsuddin Asy-Syumatrani menjelaskan dalam Jauhar al-Haqa’id: "Wujud Al-Haqq (di dalam Wahdah) hanya menghimpun keabsolutan dan keterikatan, memisahkan keabsolutan dan mengandung keadaan-keadaan yang berjalinan di dalamnya dan ibarat-ibarat esensial yang diketahui dan berjalin di dalamnya itu, jika ditinjau dari penurunan peringkat Al-Haqq pada benda-benda Azaliyyah di dalam ilmu Azali. Mereka tidak dapat dipisah-bedakan dari Al-Haq baik wujudnya maupun pengetahuannya. Keadaan dan ibarat esensial ini disebut dengan al-Huruf al-Aliyyat (huruf-huruf yang tinggi). Dan tinjau dari ilmu Azali bersama dengan pembedaan pengetahuan tersebut, maka Keadaan dan ibarat esensial itu dinamakan a'yan ash-Tsabitah (entitas-entitas laten) atau Haqiqatul Muhammadiyah.
Ay'an ash-Tsabitah apabila ditinjau dari adanya penamapakkan Al-Haqq pada benda-benda yang diketahui dalam kesendirian Al-Haqq secara global dan belum dipisahkan bagian satu dengan bagian lainnya maka ia dinamakan Ahadiyyah (keesaan transeden, tanzih). Apabila ditinjau dari keberadaan benda-benda yang diketahui di dalam Al-Haqq sebagai benda terpisah dan berbeda, maka a'yan ash-Tsabitah itu disebut Wahidiyah. Dan apabila ditinjau dari keserbamencakupan terhadap penampakkan benda-benda yang diketahui secara global yang terpisah, ia disebut dengan Wahdah.
Kemudian ketika Al-Haqq ingin menampakkan sesuatu yang dikehendaki-Nya dari benda diketahui yang memiliki potensi tercipta (ma'lumah al-mumkinah), Dia mencipakan benda tersebut dengan hukum-hukum yang melekat padanya, efek-efeknya, dan perangkat kesiapannya. Selanjutnya Al-Haqq ber ber ta'ayyun (menampakkan wujud-Nya atau berentifikasi) dengan sesuatu tersebut.
Dengan ta'ayyun itu, Al-Haq berubah karakter (tamayuz) dari keabsolutan wujud, dan Dia menyaksikan entifikasi Wujud yang lain dari satu aspek. Sebab, wujud lain itu tampak dari Al-Haqq, dan Al-Haqq ber-tajalli (memanifestasi diri-Nya) dengan wujud itu. Maka, pada saat itulah wujud lain tersebut disandarkan kepada-Nya dan diungkapkan dengan nama-Nya. Wujud itu dinamakan "khalq" (ciptaan) dan "makhluq" (yang diciptakan). Dari aspek lain, Al-Haqq juga menyaksikan kemutlakan Wujud-Nya yang Absolut secara mutlak. Pada saat itulah Wujud-Nya disandarkan kepada-Nya dan diungkapkan dengan nama-Nya. Dia pun diberi nama "Haqq" dan "Ma'syuq."
Kebalikan Wujud Absolut (al-Wujud al-Muthlaq) dan penampakan-Nya yang memancar atau emanasi (al-faidh) kepada ay'an ash-Tsabitah disebut dengan wujud idhafi (wujud yang disandarkan) karena ia sandarkan pada al-Wujud al-Mahdh (wujud murni) dalam aspek Wujudnya dan dalam proses ta'ayyun (proses entifikasi wujud) dan metafora (majaz). Wujud idhafi ini disebut Wujud Amm (wujud serba mencakup) karena keserbamencakupannya terhadap al-Wujud Mahdh dan a'ayan ash-Tsabitah.
Selanjutnya Syamsuddin Asy-Syumatrani menjelaskan :
فالفيض الإلهي ينقسم إلى الفيض الأقدس والفيض المقدس. فالأول تحصل الأعيان الثابتة واستعداداتها في العلم والثاني تحصل تلك الأعيان في الخارج مع لوازمها وتوابعها
Adapun emanasi atau pancaran Ilahi terbagi atas al-faidh Al-Aqdas (emanasi paling suci) dan al-faidh Al-Muqaddas (emanasi suci). Dengan emanasi paling Suci terciptalah a'ayan ash-Tsabitah dan kesiapan universalnya (isti'dad) di dalam Pengetahuan Ilahi; dan dengan emanasi suci terciptalah al-a'ayan fi al-kharij (entitas-entitas eksternal yang tidak tetap) beserta hukum-hukum yang menetap padanya dan yang dapat berubah. (Kitab Jauhar al-Haqa'iq, Maktabah al-Wathaniyah lil Jamahiriya, hal 61-63).
Berdasarkan penjelasan diatas, ulama-ulama sufi dari kalangan tasawuf falsafi atau Irfani mengembangkan konsep emanasi menjadi dua macam sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Syekh Syamsuddin Asy-Syumatrani diatas:
Pertama, Al-Faidh Al-Aqdas yaitu emanasi atau pancaran Paling Suci, Manifestasi Utama, tempat Allah menampakkan Diri-Nya dalam Diri-Nya sendiri. Al-faidh Al-Aqdas juga mengacu pada Hati Manusia Paripurna (Insan Kamil). Ini juga berarti kedudukan (maqam) sebagai firman Allah;
فكان قاب قوسين أو أدنى
Maka jadilah dia lebih dekat dua ujung panjang busur panah (qaba qausain) atau bahkan lebih dekat (aw adna). (QS. Al-Najm: 9). Disini lah kesiapan Universal (isti'dad) dalam entitas-entitas itu ditentukan.
Kedua al-faidh Al-Muqaddas yaitu emanasi suci, Manifestasi Allah dalam berbagai bentuk ciptaan. Dalam proses penurunan al-Wujud al-Mahdh ini merupakan teofani kedua. Inilah tempat wujud diberikan kepada setiap entitas sesuai dengan kesiapan Universal nya yang ditentukan aras emanasi paling suci (al-faidh Al-Aqdas).
(Faidh al-Aqdas) emanasi pertama Yang paling Suci ,ini Langsung dari dan milik Tuhan Yg Maha Suci , kepada Hamba yang di sucikan (Faidh al-Muqaddas). Faidh al-Muqaddas, para pewaris Ilmu (para Mursyid) yg masuk dan berada di alam Kesucian.
Penulis: Budi Handoyo, S.H, M, H Dosen STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh
Editor: Khumaedi NZ