Sejarah Islamisai Di Aceh

Berdasarkan data pra-sejarah yang ditemukan di beberapa lokasi di wilayah pantai timur Tamiang, kemungkinan Bumi Aceh sudah di huni oleh ras Australiod sejak sekitar 6.000 tahun silam. Selanjutnya berkembang atau ada kumpulan lain yang menggantikannya, dan juga telah terjadi percampuran antara keduanya yang kemudian melahirkan sebuah suku bangsa baru sebagai cikal bakal masyarakat Aceh. Interpretasi ini tentu saja masih harus dilakukan kajian selanjutnya dalam membuktikan asal-usul masyarakat Aceh secara valid. Dalam peta asal pemukiman dan penyebaran penduduk di wilayah Aceh disebutkan suku Bangsa Aceh, yakni dalam kelompok etnis Melayu. Kedatangan etnis Melayu ke tanah Aceh terjadi dalam dua masa, yaitu Melayu Tua yang datang dari Champa (Indocina) lewat Tanah Genting di Semenanjung Malaysia lebih kurang 3.000 tahun sebelum Masehi. Migrasi gelombang kedua ialah Melayu Muda yang datang dari daerah yang sama yaitu Melayu Tua dalam tahun yang lebih kurang 1.500 tahun sebelum masehi (Peta 3.1).
Menurut Zainuddin (1961) etnik Melayu berasal dari Babylon (Irak) dan India. Secara geografis, territorial Aceh sangat dekat dengan kawasan semenanjung Malaysia dan telah terlibat hubungan perdagangan dengan dunia luar dalam kurun waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, ada sekelompok masyarakat Aceh yang berbicara mirip dengan bahasa Nikobar. Bangsa inilah yang disebut dan dikenal dengan sebutan orang Mantir atau Mante di Aceh (Ismuha, 1988;182). Setelah kelompok migrasi yang berasal dari Indocina melintasi Selat Malaka, mereka tinggal di beberapa wilayah Aceh. Kelompok Melayu Tua bermukim di sekitar Indrapuri dan Jantho Aceh Besar, sementara kelompok Melayu Muda bermukim di Langsa dan sekitar Aceh Timur. Kemudian masing-masing kelompok tinggal di berbagai kawasan Aceh dan menjadi asal muasal keturunan Aceh selanjutnya. Kehadiran kelompok pendatang ke Aceh sebagaimana disebutkan diatas, adalah tidak terlepas dari keadaan dunia pada waktu itu dan posisi Aceh yang terletak di Selat Malaka yang merupakan jalur lalu lintas perdagangan internasional yang paling sibuk di Asia Tenggara. Melalui hubungan perdagangan yang dilakukan di Aceh dengan dunia luar, telah terjalin hubungan kebudayaan internasional yang berlangsung di Aceh. Akibatnya adanya perbedaan dan persamaan kebudayaan yang berlangsung di Aceh, sehingga etnis Aceh memiliki kesamaan dengan etnik Melayu lainnya, seperti etnis melayu di Semenanjung Malaysia, Brunei dan juga Patani (Thailand Selatan).
Sebagai salah satu bukti yang menyatakan etnis Aceh berasal dari Champa (Indocina) dapat dilihat melalui pengaruh dan kesamaan antara bahasa Champa dengan bahasa di Aceh, diantaranya dalam pelafalan kata cin (Champa), cicem (Aceh), burung (Melayu), ia (Champa), ie (Aceh), air (Melayu), khim (Champa), khem (Aceh), senyum (Melayu). Kesamaan bahasa secara antroplogi sedikit banyak karena mereka berasal dari nenek moyang yang sama, paling kurang sebagian dari penduduk tersebut berasal dari nenek moyang yang berbahasa sama (Usman, 2003;14). Geografis Aceh sebagai sebuah wilayah yang terletak pada jalur strategis di Selat Malaka. Letak geografis yang merupakan suatu tempat yang menjadi tujuan persinggahn bangsa-bagnsa asing datang mencari rempah-rempah yang banyak dijumpai di sana. Dalam percaturan untuk menguasai Selat Malaka oleh berbagai bangsa, mereka saling berebut pengaruhnya. Ketika kerajaan Funan menguasai jalur lalu lintas perdagangan melalui Genting Kra, sebagain bangsa Champa pindah ke sana dan sebagian lainnya pindah ke Aceh.
H.M. Zainuddin (1961) mengatakan bahwa orang dari suku Batak atau Karee membentuk kaum Lhee Reutoih. Orang asing lainnya seperti Arab, Persia, Turki, Keling (dagang), Melayu Semenanjung, Bugis membentuk kaum Tok Batee Sultan berasal dari kaum Tok Batee. Kaum percampuran dari Hindu dan Batak Karee membentuk group baru menjadi kaum Ja Sandang. Pimpinannya diberi gelar dengan panglima kaum dengan gelar kaum imeum peut. Sedangkan orang Gayo. sebagaimana dikutip Gerini menghubungkannya dengan Dagroian sesuai dengan catatan- catatan Marcopolo. Menurutnya, Dagroian berasal dari kata-kata drang dan gayu, yang berarti orang Gayo. Masyarakat tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Perubahan itu bisa saja berpusar dalam masyarakat itu sendiri atau bersumber dari luar lingkungan masyarakat yang bersangkutan. Aceh mempunyai comparative advantage karena menjadi pusaran dunia, transit pertama sebelum merambah atau berlayar ke wilayah Nusantara lainnya.
Menurut P. Wheatley dalam The Golden Kersonese: Studies in the Historical Geograpy of the Malay Peninsula Before A.D 1500, yang paling awal membawa seruan Islam ke Nusantara adalah para saudagar Arab yang sudah membangun jalur perhubungan dagang dengan Nusantara jauh sebelum Islam lahir. Kehadiran saudagar Arab (Ta Shih) di Kerajaan Kalingga pada abad ke-VII yaitu era kekuasaan Ratu Shima yang terkenal keras dalam menjalankan hukum, diberitakan cukup Panjang oleh sumber-sumber China dari Dinasti Tang. S.Q Fatimi dalam Islam Comes to Malaysia, mencatat bahwa pada abad ke-X Masehi terjadi migrasi keluarga-keluarga Persia ke Nusantara (Sunyoto: 2016). Dimana saat itu, umat Muslim yang berpaham ahlusunnah wa al-jama’ah diintimidasi oleh penguasa Bani Muawiyah. Sehingga banyak warga Islam yang melakukan hijrah ke negara atau daerah lain yang keadaan tatanan sosial masyaraktnya lebih kondusif.
Hubungan bisnis para pedagang dari Timur Tengah dengan Nusantara telah terjalin harmoni sejak lama. Karena selat Malaka posisinya sangat strategis dalam jalur perniagaan di Asia Tenggara. Masa itu, sebagian besar pedagang menggunakan transportasi laut sebagai akses ekspedisinya. Sehingga pada masa menunggu angin muson atau musim, sebagian dari para saudagar Arab memanfaatkan kesempataan tersebut untuk mengembangkan ajaran Islam di Aceh. Lalu-lalang para saudagar Arab yang melakukan niaga di bandara Aceh sangat masif, bahkan sampai terjadi pernikahan antara pedagang-pedagang dari dataran Arab dengan masyarakat Aceh. Sehingga tumbuh dan berkembang menjadi pekauman atau kampung-kampung Arab. Sikap masyarakat Aceh yang tealah turun-temurun diwariskan oleh para leluhurnya menyebabkab para saudagar-saudagar dari tanah Arab atau China menjadi merasa nyaman dalam melakukan usaha atau bertempat tinggal di bumi Aceh.
John Crawford menyatakan bahwa Islam hadir dari Arab melalui para pedagang yang melakukan niaganya di Nusantara. Catatan Tiongkok mengabsahkan bahwa orang-orang Arab dan Persia memiliki pusat perniagaan di Canton semenjak tahun 300 Masehi. Adapun fakta tentang berkembangnya Islam di bumi Aceh dimentori oleh para pedagang dari Arab dan Persia diantaranya: 1) Terdapat kampung Arab atau Ta Shih, 2) Persamaan penulisan sekaligus kesusastraan antara Aceh dengan Arab, 3) Kesamaan budaya dan musik, seperti tari Zapin, dan 4) Karya-karya yang menceritakan pengislaman raja setempat oleh Syekh dari Arab, misalnya Hikayat Para Raja Samudra Pasai menerangkan bahwa Raja Maik diislamkan oleh ahli sufi dari Arab, yakni Syekh Ismail.
Marcopolo mewartakan bahwa pada abad ke-VIII, Sumatra terbagi dalam delapan buah kerajaan yang semuanya menyembah berhala, kecuali Kerajaan Perlak yang berpegang teguh pada ajaran Islam. Hal ini karena Perlak selalu didatangi oleh para pedagang-pedagang Saracen (Muslim) yang menjadikan penduduk bandar memeluk undang-undang Muhammad (undang-undang Islam). Awalnya ajaran Islam berkembang di Kerajaan Perlak, dipengaruhi oleh mazhab Syiah yang bertebaran dari Persia atau Bashrah ketika terjadi revolusi Syiah (744-747 Masehi) oleh Abdullah ibnu Muawiyah. Kemudian masa dari kepemimpinan Sultan Alauddin Sayyid Maulana Abbas Shah (888-913 Masehi).
Dengan bereferensi diatas, maka dapat dikerucitkan bahwa Islam sudah masuk ke Indonesia sejak pertengahan abad ke-VII Masehi, salah satu jalur aksesnya yakni selat Malaka di semenanjung bumi Serambi Makkah atau Aceh. Untuk mengelobarasi lebih jauh, penduduk daerah pesisir yang secara ekonomi bergantung pada perdagangan internasional, dalam satu atau lain hal, cenderung menerima ajaran Islam dalam rangka mempertahankan para pedagang Muslim yang sudah berada di Nusantara sejak paling kurang abad ke-VII untuk tetap mengunjungi dan berdagang di pelabuhan-pelabuhan mereka. Dengan masuk Islam, penguasa lokal pada batas tertentu mengadopsi aturan-aturan perdagangan Islam untuk digunakan dalam masyarakat Pelabuhan sehingga pada gilirannya akan menciptakan suasana yang lebih mendukung bagi perdagangan.
Para ahli sejarah seperti Moquette, Snouck Hurgronje, Hamka, Ali Hamsjmy dan lain-lain sepakat bahwa tempat paling awal kedatangan Islam di Indonesia adalah Aceh, yang kemudian berkembang ke seluruh Nusantara dan Asia Tenggara. Namun demikian, dalam menetapkan daerah mana di Aceh yang paling awal menerima Islam masih terdapat beraneka ragam pendapat dari para ahli sejarah. Beberapa ilmuwan sejarah menyebutkan, bahwa Peurulak (Perlak) di Aceh Timur merupakan daerah paling awal dalam menerima ajaran Islam, yaitu pada abad ke-IX Masehi (Hasjymy,1983). Sementara pendapat dari para ahli sejarah lainnya menyebutkan tempat paling awal menerima Islam di Aceh adalah Samudra Pasai di Aceh Utara, yaitu pada Abad ke-XIII Masehi (Jakub, 1973; 2). Oleh karenanya, dalam membicarakan awal Islam di Aceh harus dilihat terlebih dahulu beberapa tempat yang merupakan daerah awalnya Islam pernah disebut dalam beberapa catatan sejarah.
1. Kampung Pande
Kampung Pande yang terletak dalam Kawasan Kota Banda Aceh merupakan salah satu tempat arkeologi Islam yang tergolong tertua di Aceh. Lokasi kampung Pande terhampar diatas bekas kerajaan Hindu Indrapurba yang diduga sebagai bagian dari Negeri Lamuri. Kampung Pande merupakan saah satu kawasan kota Lamuri yang didiami oleh orang-orang pandai para teknokrat termasuk juga para ahli. Dalam perkembangannya kerajaan tersbut pernah mengalami pasang surutnya termasuk menghadapi serangan dari kerajaan-kerajaan lain, seperti China dan Sriwijaya (Hasjmy;1985;55). Menurut Hasjmy, peralihan status kerajaan Indrapurab dari Hindu menjadi Islam dilakukan pada upacara Majelis Peresmian Kerajaan Darussalam oleh Umat Islam Indrapurba pada hari Jumat bulan Ramadhan 601 H (1205 M). Raja yang pertama diangkat waktu itu adalah Meurah Johan dengan gelar Sultan Alaiddin Johan Syah.
Dalam surat kabar Analisa yang terbit 31 Desember 2008, memuat pernyataan Edmund Edwards McKinon, arkeolog asal Inggris yang sudah 30 tahun mengenal Aceh menyatakan bahwa di Aceh agama Islam sudah wujud sejak 100 tahun sebelum masuk ke Samudra Pasai Aceh Utara. Hal ini diperkuat dengan tulisan yang dimuat di salah surat kabar yang terbit di Perancis pada tahun 1995 yang menyatakan bahwa Raja Sulaiman adalah penguasa Kerajaan Islam di Lamreh (Lamuri) Aceh Besar yang mangkat pada tahun 608 H (1211 M).
2. Peureulak
Kerajaan Peureulak pernah mengalami pasang surut sebagai sebuah kerajaan Islam. Dalam perkembangannya, banyak menghadapi tantangan dari kerajaan-kerajaan lain yang pernah maju pada masa itu. Pada tahun 986 Masehi, Kerajaan Peureulak pernah berperang melawan Kerajaan Sriwijaya. Pernah mengalami puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Makhdum Malik M. Amin Syah (1225-1263 Masehi) dengan ibukotanya adalah Bandar Khalifah yang sangat berperan dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara, dalam perkembangannya , Bandar Kahalifah banyak dikunjungi oleh orang asing, seperti Parsi dan Hindia. Selain berdagang, mereka juga datang menyebarkan agama Islam ke negara0negara yang pernah mereka singgahi.
Dalam beberapa catatan dan juga hikayat seperi hikayat Nurul ‘Ala disebutkan bahwa Kerajaan Peureulak memiliki kebudayaan yang tinggi dan juga dalam catatan Marco Polo yang pernah singgah di Perlak dan beberapa kerajaan di Sumatera dalam perjalanan kembali dari China menuju Persia pada tahun 1292 M, menyebutkan salah satu kerajaan yang pernah disinggahinya ialah Kerajaan Ferlec, yang sekarang dikenali sebagai Peureulak atau Perlak (Azra: 1989; 3).
3. Samudera Pasai
Terletak didaerah Aceh Utara, nama Samudera Pasai muncul pada akhir abad ke-XIII M, dan mencapai kejayaannya pada abad ke-XIV. Pada masa kejayaannya Kerajaan Samudera Pasai terletak pada dua sungai besar yaitu Sungai Peusangan dan Sungai Pasai. Letaknya yang strategis di jalur Selat Malaka sebagai jalur pelayaran tersibuk yang menghubungkan dunia timur dengan dunia belahan barat, sehingga selat Malaka ini tidak pernah sepi dilalui oleh pedagang-pedangan asing. Kerajaan Samudra Pasai juga disebutkan pernah menjalin hubungan diplomatik dengan negeri China.
Ketika Samudra Pasai telah tumbuh dan berkembang menjadi negeri penting yang memiliki pengaruh Islam yang kuat dan dikenal oleh banyak negeri lain, seorang pengembara terkenal Ibnu Batutta dalam perjalanan pulang dari Delhi ke China pernah dua kali singgah di Samudra Pasai dalam tahun 1345-1346 M dan diceritakan bahwa situasi negeri dalam sistem pemerintahan Kerajaan Samudra Pasai berlangsung tertib. Jejak peninggalan Kerajaan Samudra Pasai hingg saat ini masih dapat dilihat di daerah Samudera Aceh Utara dengan Bukti-bukti makam dan nisan-nisan yang indah dengan berbagai gaya motif ukiran kaligrafi yang terpahat pada makam dan nisan-nisan tersebut.
Oleh karena itu, proses Islamisasi di Aceh terjadi dikarenakan letak geografis Aceh yang sangat mendukung dan strategis di jalur lalu lintas pelayaran perdagangan Internasional yakni Selat Malaka, yang dilalui oleh berbagai bangsa di dunia, juga karena pengaruh bahasa Melayu Serantu memiliki latar belakang sejarah kebudayaan yang sama.
Penulis: Komarudin