Risalah Hizib Bahar; Salah Satu Karya Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili

Syekh Abu Hasan Asy-Syazili adalah penggagas Tarekat Syadziliyah yang merupakan salah satu tarekat terkemuka di dunia. Ia lahir di desa Ghumarah, dekat kota Sabtah, daerah Maghribi (sekarang termasuk wilayah Moroko, Afrika Utara) pada tahun 593 H/1197 M.

September 15, 2023 - 12:20
 0
Risalah Hizib Bahar; Salah Satu  Karya Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili

Syekh Abu Hasan Asy-Syazili adalah penggagas Tarekat Syadziliyah yang merupakan salah satu tarekat terkemuka di dunia. Ia lahir di desa Ghumarah, dekat kota Sabtah, daerah Maghribi (sekarang termasuk wilayah Moroko, Afrika Utara) pada tahun 593 H/1197 M.

Sanad keilmuannya diperoleh dari beberapa tokoh di antaranya Syekh Shalih Abi al-Fath al-Wasithi dan Syekh Shiddiq al-Qutb al-Ghauts Abi Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al-Syarif al-Hasani al-Qutb al-Akbar Maghrib.

Syekh Abu Hasan as-Syadzili, tidak meninggalkan karya yang berbentuk kitab dalam bidang tasawuf, namun ia meninggalkan hal besar yang berbentuk wirid, shalawat (Tarekat Syadziliyah) dan Hizib (Hizib An-Nashr, Hizib Bahar, Hizib Barr, Hizib Andarun, Hizib Tawasul, Hizib Nur, Hizib Adiyat dan lainnya).

Amalan doanya yang paling terkenal ialah Hizib Bahar. “Bahr” dalam bahasa indonesia memiliki arti laut. Lantas mengapa sebuah kumpulan zikir bisa dinisbatkan namanya kepada laut? Hal ini karena konon sebelum disebarkan secara luas, hizb ini dibiarkan menggenang di laut, dan juga dikarenakan di dalam hizb ini disebutkan kata “Bahr”.

Sayyid Mukhlif Yahya al-‘Ali al-Hudzaifi al-Husaini, dalam al-Kunuz an-Nuraniyah (Hal. 350), menjelaskan “Hizib ini disebut dengan Hizib Bahar (laut) karena hizb ini pernah ditaruh di laut, dan juga karena di dalamnya disebutkan kata al-Bahr. Hizib ini juga dinamakan dengan al-Hizib ash-Shaghir.”

Hizib Bahar adalah hizb yang diterima Syekh Abu Hasan asy-Syadzili langsung dari Rasulullah saw. berkaitan dengan lautan yang tidak ada anginnya. Sejarah diterima Hizib Bahar adalah sebagai berikut,

Pada waktu itu Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili tengah melakukan perjalanan ibadah haji ke tanah suci. Dalam perjalanan tersebut, ia harus menyeberangi laut merah. Untuk menyeberangi lautan itu sedianya ia akan menumpang perahu milik seorang yang beragama Nasrani. Orang itu juga akan berlayar walaupun berbeda tujuan dengannya. Akan tetapi keadaan laut pada waku itu sedang tidak ada angin yang cukup untuk menjalankan kapal. Keadaan seperti itu terjadi sampai berhari-hari, sehingga perjalanan pun menjadi tertunda. Sampai akhirnya pada suatu hari, Syekh bertemu dengan baginda Rasulullah saw. Dalam perjumpaan itu, Rasulullah saw. secara langsung mengajarkan Hizib Bahar secara imla’ (dikte) kepada syekh.

Setelah Hizib Bahr yang baru diterimanya dari Rasulullah itu dibaca, kemudian menyuruh si pemilik perahu itu supaya berangkat dan menjalankan perahunya. Mengetahui keadaan yang tidak memungkinkan, karena angin yang diperlukan untuk menjalankan perahu tetap tidak ada, orang itu pun tidak mau menuruti perintah sang syekh. Namun syekh tetap menyuruh agar perahu diberangkatkan. “Ayo, berangkat dan jalankan perahumu! sekarang angin sudah waktunya datang.” Ucap syekh kepada orang itu. Dan memang benar kenyataannya, angin secara perlahan-lahan mulai berhembus, dan perahu pun akhirnya bisa berjalan. Singkat cerita, kemudian si Nasrani itu pun menyatakan masuk islam.

Mengenai tentang faedah mengamalkan Hizib Bahar, Syekh Abu Hasan asy-Syadzili sebagaimana dikutip dalam kitab al-Kunuz an-Nuraniyah, Hal. 350 menjelaskan:  

قال عنه الإمام الشاذلي: وهو حزب عظیم القدر ما قرئ على خائف إلا أمن، ولا مريض إلا شفي، ولا على ملهوف إلا زال عنه لهفه، ولو قرئ حزبي هذا على بغداد ما أخذتها التتار، وما قرئ في مكان إلا سلم الآفات وحفظ من العاهات وسميته: (العدة الوافية والجنة الواقية)، فمن قرأه عند طلوع الشمس أجاب الله دعوته وفرج كربته ورفع قدره وشرح صدره وأمن من طوارق الجن والإنس

“Imam Syadzili berkata mengenai hizib ini: ‘Hizib Bahar ini merupakan hizib yang agung derajatnya. Hizib ini tidaklah dibaca pada orang yang sedang takut/khawatir melainkan ia akan aman, pada orang sakit melainkan ia akan sembuh, pada orang yang sedang bersedih kecuali hilang kesedihannya. Kalau saja hizib ini dibaca di tanah Irak tentu tidak akan diekspansi oleh kaum Tar-Tar. Tidaklah hizib ini dibaca di suatu tempat, kecuali akan aman dari mara bahaya dan terjaga dari hama. Aku menamakan hizib ini dengan nama al-‘Iddah al-Wafiyah wa al-Junnah al-Waqiyah. Barangsiapa membaca hizib ini tatkala terbitnya matahari, maka Allah akan mengabulkan doanya, menghilangkan kegelisahannya, mengangkat derajatnya, melapangkan dadanya dan akan aman dari gangguan jin dan manusia.”

 ولا يقع عليه نظر أحد من خلق الله تعالى إلا أحبه وأجله وأكرمه ومن قرأه عند الدخول على الجبارين أمنه الله تعالى من شرهم ومكرهم، ومن داوم على قراءته ليلا ونهارا لا يموت لا غریقا ولا حريقا ولا مغتالا وإذا احتبس الريح أو زاد في البحر فقرئ أذهب الله عنهم ما يجدونه بإذن الله تعالى ومن كتبه وعلقه على شيء كان محفوظا بإذن الله تعالى

“Tidaklah pandangan seseorang tertuju pada orang yang membaca hizib ini kecuali akan menyukai, mengagungkan dan memuliakannya. Barangsiapa yang membaca hizib ini tatkala memasuki kaum yang sewenang-wenang maka akan menjadikan dirinya aman dari keburukan dan tipu daya mereka. Orang yang istiqamah membaca hizib ini di malam dan siang hari, maka ia tidak akan mati dalam keadaan tenggelam, terbakar dan hilang. Ketika angin sedang kencang atau bertambah kencang saat di laut, lalu dibacakan hizib ini, maka Allah akan hilangkan angin tersebut dengan seizin-Nya. Barangsiapa yang menulis hizib ini dan menggantungkannya pada suatu benda, maka benda itu akan dijaga dengan izin Allah”

Demikianlah sekelumit sejarah Hizib Bahar. Seseorang yang mengamalkan hizib ini wajib memperoleh ijazah dari ulama dan guru tarekat yang memiliki silsilah dari pengamalan hizib. Diterangkan oleh Al-Allamah Zainal Abidin Al-Munawi menerangkan,

“Membaca Hizib Bahar akan terhenti atau tidak berbekas (tidak membawa manfaat) bagi yang mengamalkannya atau mewiridkannya tanpa mengambil ijazah dari seorang guru. Dan barang siapa tidak mengambilnya dari seorang guru (Izin dan ijazah Hizib Bahar) maka ia ibarat seorang yang hendak menyeberangi laut tetapi dengan tidak menumpang kapal/perahu dan ini jelas mustahil.”

Para guru Masyaikh menjelaskan, “Seyongyanya seseorang yang akan mengamalkan Hizib Bahar ini menerima ijazah dari orang yang memiliki kompetensi agar dapat menerimaa transmisi ajaran rahasia tentang adab dan tata cara membacanya dan menerima transmisi Nur dan Asrar yang tidak terputus dari gurunya dan terus bersambung kepada Imam Asy-Syadzili hingga ke Rasullullah saw.

Penulis: Budi Handoyo (Dosen Prodi Hukum Tata Negara Islam Jurusan Syariah dan Ekonomi Islam STAIN Teungku Diruendeng Meulaboh-Kabupaten Aceh Barat)
Editor: Khoirum Millatin