Refleksi Tasawuf: Cinta Sang Nabi

Desember 12, 2023 - 05:03
Desember 12, 2023 - 05:05
 0
Refleksi Tasawuf: Cinta Sang Nabi
Sumber foto: https://kalam.sindonews.com/

Akhlak Nabi sebagai Fondasi Tasawuf

Imam al-Ghazali mengungkapkan bahwa kunci kebahagiaan adalah mengikuti jejak Sunnah Rasulullah Saw dalam setiap aspek kehidupan. Mengikuti Sunnah Rasulullah Saw memiliki keutamaan sekaligus hikmah di dalamnya, yang tidak hanya berdampak pada fisik, melainkan juga pada kondisi hati (al-Ghazali, 2014: 103-104).

Rasulullah Muhammad saw. mendapatkan keistimewaan karena ruh beliau merupakan yang pertama diciptakan oleh-Nya, sebelum alam semesta ini tercipta.

Dalam hadits Rasulullah saw. Bersabda,

“Yang pertama Allah ciptakan adalah ruhku. dan yang pertama Allah ciptakan adalah cahayaku, dan yang pertama Allah ciptakan adalah pena. Dan yang pertama Allah ciptakan adalah akal,” (HR. Abu Daud).

Dalam sebuah hadits yang lain, Rasulullah saw. Bersabda,

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah saw. bersabda: ‘Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seorang di antara kalian tidaklah beriman, sehingga aku lebih dia cintai dari kedua orang tua maupun anaknya,” (HR Bukhari).

Hadis di atas menjadi sebuah panduan bagaimana tingkatan kedua setelah cinta kita kepada Allah Ta’ala, maka muncullah cinta seorang muslim kepada Sang Nabi Saw. Kecintaan seorang muslim kepada Nabi Muhammad Saw adalah sebuah kewajaran mengingat bahwa beliau tercipta dari keindahan Cahaya Illahi.

Kedua hadis itu menunjukkan pemahaman hakikat Muhammad dan Nur Muhammad dalam tradisi tasawuf. Sebuah pemahaman yang telah ada sejak masa kenabian, yaitu ketika Rasulullah Saw ditanya oleh Ibn Abbas dan Jabir ibn Abdullah. Allah menciptakan ruh dan cahaya Muhammad sebelum Allah menciptakan alam semesta ini (Sahabudin, 2002). Cahaya ini tentunya diciptakan oleh Allah Swt sebagai Cahaya di atas Cahaya (Qs. [24]: 35).

As-Syekh Abdul Qadir Jailani mengungkapkan bahwa ruh Muhammad, Cahaya Muhammad, serta pena dan akal merupakan sebuah entitas tunggal yang disebut hakikat Muhammad (al-Jailani, 2019: 3).

Nabi Muhammad Saw bukan sekedar manusia biasa. Beliau adalah sosok agung yang kelahirannya selalu dirayakan dalam bentuk festival Maulid Nabi di seluruh dunia. Nabi Muhammad Saw yang dalam tradisi tasawuf tercipta dari Nur atau cahaya merupakan sosok agung ikut melandasi kecintaan manusia kepada sesama dan menjadikannya panutan perilaku. Peringatan hari lahir Nabi Muhammad Saw telah dilakukan oleh para penganut tasawuf dengan menjadikan perayaan maulid Nabi Muhammad Saw penuh warna. Pendapat kelompok muslim ortodoks yang menganggap perayaan maulid sebagai bid’ah yang sesat justru mendapat kritik balik yang cukup tajam dari berbagai penjuru dunia muslim (Schimmel, 2015:215).

Kecintaan Rasulullah Saw dalam hal akhlak menjadi panutan bagi manusia di manapun (Qs. [33]: 21). Kecintaan Rasulullah Saw menjadikannya tidak rela ketika ada umatnya yang tersiksa di dalam neraka. Ketika beliau berdakwah ke Thaif mendapat serangan lemparan batu dari penduduk Thaif, beliau tidak membalasanya dengan menjatuhkan Gunung Uhud kepada mereka. Justru Nabi Saw membalas mereka dengan kebaikan. Segala hal yang berkaitan dengan Rasululah Saw adalah masalah akhlak, sedangkan tasawuf sendiri juga berkaitan dengan akhlak. Inilah hakikat mengapa tasawuf sebagai ilmu mengacu kepada akhlak Rasulullah Saw.

Kerinduan atas Sosok Sang Nabi

Kecintaan umat Islam kepada Nabi Muhammad Saw bukanlah sekedar cinta semu. Kecintaan ini telah diwujudkan oleh para sahabat hingga akhir zaman. Penghinaan terhadap sosok Nabi Muhammad Saw akan menyulut kemarahan dari segenap kaum muslimin di manapun, termasuk kalangan umat Islam yang paling liberal sekalipun (Schimmel, 2012: 15).

Penghinaan terhadap Nabi Muhammad Saw sejak dilakukan oleh Salman Rushdie, kasus penghinaan yang dilakukan oleh politisi India Nupur Sharma hingga kasus penggunaan nama Muhammad untuk iklan miras (tvonenews.com, 2022) telah membangkitkan kemarahan seluruh umat Islam di manapun (cnbcindonesia.com, 2022).

Inilah Nabi Muhammad Saw yang dengan segenap kemuliaan akhlaknya menjadikannya penghubung atas manusia dengan Tuhan. Bahwa keyakinan dan rasa cinta kepada Allah Swt harus berpadu dengan kecintaan kepada Nabi Muhammad Saw dalam sebuah kalimat syahadat.

Kecintaan seorang muslim terhadap Nabi Muhammad Saw merupakan bentuk bagaimana seorang hamba Allah Ta’ala berterimakasih atas sebuah jalan cahaya yang telah ditunjukkan kepada manusia yang selama ini berada dalam kegelapan. Nabi Saw menunjukkan dengan segenap rasa cintanya kepada manusia. Rasa cinta kepada Sang Nabi Saw diwujudkan dalam rangkaian puisi indah yang ditulis oleh Jalaluddin Rumi:

Kesempatan adalah teman kita.
Pengorbanan jiwa adalah tugas kita.
Dan pemimpin kafilah ini adalah Mustafa
Sang Nabi yang jadi kebanggaan alam semesta
Mustafa, damai dan rahmat Allah baginya
Sedemikian mulia hingga bulan pun tak berani menatap wajahnya dan bahkan terbelah
Wangi angin musim semi berasal dari rambutnya yang dirahmati
Cahaya imajinasi kita datang dari keindahan dirinya
Yang mengingatkan kita pada mentari pagi.

Keagungan dan keindahan Nabi Muhammad Saw digambarkan oleh Rumi melampaui keindahan cahaya bulan, hingga bulan terbelah melihat keindahan Sang Nabi. Keindahan wewangian musim semi dengan ragam bunga berasal dari keindahan Nabi Muhammad itu sendiri. Segala keindahan alam berasal dari cahaya keindahannya. Rumi menggambarkan bagaimana Nabi Muhammad Saw menjadi sumber dari segala keindahan semesta alam.

Begitu mulianya Nabi Muhamamd Saw sehingga Maulana al Busyiri (w. 696 H.) menuliskan bait-bait syair yang menjelaskan cinta manusia kepada Sang Nabi Saw dalam sebuah Qasidah Burdah. Dalam sebuah syair Qasidah yang disebut Qasidah Burdah terdapat kalimat indah tentang cinta kepada Sang Nabi Saw:

“Muhammad saw adalah pemimpin dunia dan akhirat. Pemimpin jin dan manusia, juga pemimpin bangsa arab maupun ajam (non-Arab)”

“Muhammad kekasih Allah syafa’atnya selalu diharapkan. Di hari yang sangat mencekam. Hari Kiamat yang menakutkan”

Nabi Muhammad Saw merupakan penghulu manusia baik di dunia ini hingga ke alam akhirat kelak. Nabi Muhammad Saw dengan segenap kemuliaannya memberikan perlindungan kepada segenap manusia melalui syafaat yang diberikan olehnya kepada manusia. Kasih-sayang Sang Nabi Saw akan mampu memberikan perlindungan kepada setiap jiwa manusia yang tengah menghadapi pengadilan akhirat. Tidak ada manusia selain beliau yang mendapatkan limpahan kasih-sayang dan rahmat Allah Ta’ala yang diberikan hak untuk memberikan syafaat agung kepada setiap manusia.

Dalam syair lainnya Rumi menuliskan bait cintanya kepada Nabi Muhammad Saw:

Aku adalah pelayan Quran sepanjang ku hidup. Dan aku adalah debu tanah di mana kaki Muhammad menapak.

Rumi meletakkan posisinya, dan tentunya posisi manusia sebagai umat Mahammad Saw sebagai debu-debu tanah. Kemuliaan Nabi Muhammad Saw tak dapat dibandingkan dengan manusia manapun di bumi ini, karena beliau dan manusia lainnya bagai tapak kaki dengan debu tanah di mana tapak kaki Nabi Saw menapak. Akankah kita sebagai manusia masih membanggakan segenap kebesaran yang kita miliki dihadapan Nabi Muhammad Saw? Beliau adalah manusia mulia yang tercipta dari cahaya kemuliaan-Nya. Kita adalah makhluk tak bermakna.

Manusia sejak masa sahabat hingga manusia akhir zaman sangat merindukan kasih sayang Rasulullah Saw. Manusia akhir zaman yang tak pernah berjumpa dengan Rasulullah Saw yang tetap merindukannya, yang hanya mampu memahami kehadirannya melalui pembacaan riwayat kisah sejarah hidup Beliau Saw. Manusia lahir pada sebuah zaman yang memiliki jarak berabad-abad dengan hidup Rasulullah Saw masih tetap mengagumi dan mencintainya hingga tak ikhlas jika ada satu manusia yang berani menghina dan merendahkan Sang Nabi Saw. Kita adalah manusia yang tetap merindukannya dan mengharapkan syafaat dari beliau.

"Sesungguhnya  telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu (umat  manusia), serta sangat menginginkan kebaikan untuk kamu semua, lagi amat tinggi belas kasihannya serta penyayang  terhadap orang-orang mukmin." (Qs. At-Taubah [9]: 128).

Penulis adalah Dosen Program Magister Hukum Universitas Al Azhar Indonesia