Posisi Hati dalam Keimanan

September 20, 2023 - 00:00
 0
Posisi Hati dalam Keimanan

Pernahkah anda mengatakan, “Aku lagi sakit hati!” atau “Dia memang manusia yang tidak punya hati!” atau “hatiku sedang berdebar-debar!”?

Nah, ungkapan “hati” yang seringkali kita sebutkan dalam kehidupan sehari-hari memiliki makna yang beragam. Bahkan dalam KBBI, ada 7 makna hati yang digunakan secara berbeda-beda meskipun memiliki pelafalan yang sama, antara lain sebagai makna dari anatomi tubuh, bagian dari hewan yang bisa dimakan, bermakna jantung, tempat menyimpan perasaan, apa yang terasa dalam batin, sifat tabiat manusia, serta bagian terdalam dari tumbuhan. Makna-makna tersebut tergantung dengan konteks dan koteks pembicaraan mengenai hati.

Sebagaimana dalam bahasa Indonesia, Bahasa Arab juga memiliki persoalan yang rumit untuk menerjemahkan hati. Ada yang menyebutnya sebagai Fuad (فؤاد) , Kabad (كبد) dan Qalb (قلب). Pada tulisan ini, penulis akan membahas tentang Qalb yaitu wujud abstrak dari penyebab di balik tindakan intuitif manusia.

Sebuah hadis yang diriwayatkan dalam Kitab Nashaihu ad Diniyyah wa al Washaya al Imaniyyah, Hati (Qalb) terbagi menjadi empat tempat. Pertama, hati yang suci yang di dalamnya ada pelita yang berbunga, itulah hati orang-orang yang beriman. Kedua, hati yang hitam dan hancur, itulah hati seorang kafir. Ketiga, hati yang terikat pada penutupnya, itulah hati orang munafik. Keempat, hati yang berlapis baja yang di dalamnya ada iman dan kemunafikan, perumpamaan iman di dalamnya adalah seperti selada air yang dilengkapi dengan air yang manis, dan perumpamaan kemunafikan di dalamnya adalah borok yang dilengkapi dengan nanah. Kemudian kedua benda tersebut akan saling menutupi dan memusnahkan satu sama lain. Hati yang terakhir ini menggambarkan hati orang-orang yang kebingungan dan lalai.

Kondisi hati yang berubah-ubah tidak luput dari konsistensi keimanan yang kita miliki. Kata qalb sendiri yang merupakan bentuk mashdar dari lafaz qalaba-yaqlibu memiliki arti membalikkan atau memalingkan. Jadi hati merupakan tempat melakukan pertimbangan dan menghasilkan tindakan. Kelemahannya adalah ketika hati tidak dibiasakan untuk menjalankan amar ma’ruf dan nahi mungkar, maka hati akan mengikuti nafsu untuk melakukan amar bis-su’. Akibatnya, posisi hati akan menduduki peringkat keempat, dimana antara iman dan kemunafikan saling berebut posisi dan saling mendominasi satu sama lain. Lalu bagimana caranya agar mendapatkan hati pada posisi pertama? Tentu saja jawabannya adalah selalu istiqomah dalam melakukan kebaikan.

Dalam hadis lain juga dijelaskan “Iman tampak di dalam hati seperti putih berkilau, kemudian bertambah hingga seluruh hati menjadi putih; Kemunafikan muncul di hati sebagai tanda hitam, kemudian bertambah hingga seluruh hati menjadi gelap”

Dari hadis di atas, hati memiliki posisi yang strategis dalam semua tata laku yang dikerjakan oleh manusia. Hati menjadi pengontrol segala niat yang terbesit. Dalam hal bersedekah misalnya. Hati yang diliputi keimanan akan meniatkannya sebagai ibadah yang diperintahkan oleh Allah Swt. Sebaliknya, jika hati dipenuhi oleh sifat ingkar, sedekah hanya akan menjadi alat untuk meyombongkan diri di hadapan manusia. Padahal, iman akan bertambah seiring dengan konsistensi amal yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah Swt. semata.

Lalu bagaimana kondisi hati orang munafik yang bertaubat?

Dalam hal ini, Tirmidzi meriwayatkan, Rasulullah Saw. Bersabda: “Barangsiapa yang berbuat dosa, maka akan ada setitik hitam di dalam hatinya. Maka jika ia bertaubat, hatinya akan dibersihkan. Dan jika tidak, maka akan bertambah titik itu hingga menjadi hitam seluruh hatinya.”

Allah Swt. selalu memberi kesempatan bagi hamba-Nya yang bertaubat dengan menghapus dosa-dosanya yang dahulu yang sudah terlanjur menodai hati dengan syarat ia tidak mengulangi perbuatannya. Karena jika tidak, noda yang tadinya hanya sekelumit justru akan memenuhi seluruh hatinya. Untuk itu, orang mukmin harus selalu waspada. Jika ia merasa telah melakukan perbuatan dosa, segeralah bertaubat. Karena sesungguhnya seorang hamba tidak boleh putus asa dalam mengharap ridha dan ampunan dari Tuhannya.

Sumber: Kitab Nashaihu ad Diniyyah wa al Washaya al Imaniyyah karya Syeikh al Habib Abdullah ibn Alawi al Haddad al Husaini al Hadhrami asy Syafi’i

Penulis: Khoirum Millatin, S.Hum