Polemik Tasawuf Wujudiyah di Aceh Mulai Dari Perkembangannya Hingga Organisasi
Berbicara masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari tasawuf. Tasawuf merupakan corak awal dari ajaran Islam yang masuk ke Nusantara. Tidak berlebihan jika Alwi Shihab dalam bukunya, Akar Tasawuf Nusantara mengatakan Islam Indonesia adalah Islam Tasawuf.

Berbicara masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari tasawuf. Tasawuf merupakan corak awal dari ajaran Islam yang masuk ke Nusantara. Tidak berlebihan jika Alwi Shihab dalam bukunya, Akar Tasawuf Nusantara mengatakan Islam Indonesia adalah Islam Tasawuf.
Aceh sebagai gerbang masuknya Islam ke Nusantara juga tidak dapat dipisahkan dari tasawuf. Proses islamisasi yang terjadi pada abad ke-12 sampai abad ke-18 bercorak tasawuf. Tulisan ini hadir dengan maksud melihat perkembangan tasawuf di Aceh; mulai dari islamisasi hingga ke organisasi.
Dari Falsafi ke Amali
Tasawuf dapat dibedakan menjadi beberapa macam, menurut Dr. H. Ahmad Juraidi, Direktur Penerangan Agama Islam Kementerian Agama RI, menjelaskan,
“Ada beberapa corak tasawuf, diantaranya tasawuf amali, yakni sebuah kolaborasi ilmu tasawuf dengan keilmuwan di luar filsafat. tasawuf amali berupaya mendamaikan ajaran atau dogma ilmu kalam yang ortodoks dengan operasionalisasi fikih yang matang dan filosofis. Tokoh disiplin tasawuf amali adalah Abu Hamid Al-Ghazali dengan karyanya yang sangat monumental Ihya Ulumuddin.
Selain itu ada juga usaha yang mencoba mengkolaborasikan tasawuf dengan disiplin ilmu filsafat. inilah yang disebut dengan tasawuf falsafi yang peletak dasarnya Syekh Ibnu Musarrah dari Cordoba, Spanyol. Tokoh sentral tasawuf falsafi adalah Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Arabi al-Haitami atau yang lebih popular dengan julukan Syekh al-Akbar Ibnu Arabi.”
Namun demikian sebagian para pakar tasawuf menolak istilah tasawuf falsafi karena ada satu kerancuan istilah. Dalam hal ini seorang pakar kosmologi dan filsafat sekaligus ahli tasawuf dari Emirat Arab, Prof. Dr. Mohammed Haj Yousef menjelaskan,
لا أعلم معنى أمالي. لكن التصوف لا يجتمع مع الفلسفة لأنه المعرفة بالذوق عن طريق الكشف والتجليات الإلهية في القلب. والفلسفة أساسها العقل
“Antara tasawuf dan filsafat tidak ada hubungannya sama sekali. Tasawuf adalah makrifat dzauq dari jalan kasyaf dan tajalli Ilahiyyah di dalam hati. Sedangkan filsafat itu suatu pemahaman yang berasas pada akal.”
التصوف سلوك طريق الحق، ومن نتائجه العلم الكشفي الذي يحصل في القلب، وهو غير الفلسفة التي هي العلم العقلي
“Tasawuf adalah perjalanan tarekat untuk menuju Al-Haq yang hasilnya adalah tersingkapnya rahasia Ilahiyyah di dalam hati hambaNya. Sedangkan filsafat adalah ilmu tentang akal.”
Tasawuf falsafi lebih tepat di istilahkan dengan tasawuf dzauqi atau tasawuf wujudi. Hanya saja para ulama-ulama Sufi yang berpaham tasawuf ini seperti Imam Ibnu Arabi dan Syekh Abdul Karim al-Jilli menggunakan pendekatan filsafat dan mengkolaborasikannya agar kalam dzauq mereka dapat dijelaskan dan dipahami masyarakat.
Masuknya Islam ke Aceh tidak bisa terlepas dari ajaran tasawuf, terutama ajaran tasawuf yang bersifat falsafi. Tokoh-tokoh tasawuf awal merupakan pendukung tasawuf falsafi. Mulai dari Hamzah al-Fansuri (1590) sampai Syamsuddin al-Sumatrani (1670) merupakan dua tokoh yang mewakili pandangan wujudiyah (panteisme).
Pemahaman wujudiyah al-Fansuri dan al-Sumatrani bersumber dari ajaran wujudiyah Imam Muhyiddin Ibnu ‘Arabi dalam kitab Futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam. Meskipun dalam kedua kitab tersebut tidak pernah disebutkan istilah wujudiyah, wahdatul wujud atau hulul wa al-ittihad. Namun dalam kedua kitab tersebut dapat ditemukan pernyataan-pernyataan Ibn ‘Arabi yang mengarah kepada pemahaman tersebut.
Seperti sebuah bait syair yang berbunyi, Kunna hurufan ‘aliyatin lam nuqal. Muta‘alliqatin fi dzura a‘la al-qulal. Ana anta fihi wa nahnu anta wa anta huwa wa al-kullu fi huwa huwa fasal ‘amman washal (Kami huruf-huruf mulia namun tak terucapkan. Tersembunyi di puncak tertinggi dari bukit-bukit. Aku adalah engkau dalam Dia dan kami adalah engkau, dan engkau adalah Dia. Dan semuanya adalah Dia dalam Dia. Tanyalah mereka yang telah sampai).
Istilah wahdatul wujud ini pertama kali diperkenalkan oleh Syaikh Shadruddin Al-Qunawi sebagai murid dan anak angkat Ibnu Arabi. al-Qunawi di dalam salah satu kitabnya bernama Miftahul Ghaib Al-Jami wal Wujud menjelaskan makna wahdatul wujud
والحق سبحانه من حيث وحدة وجوده لم يصدر عنه إلا الواحد لا ستحالة إظهار الواحد غير الواحد وذلك عندنا هو الوجود العالم المفاص على أعيان المكونات ما وجد منها وما لم يوجد مما سبق العلم بوجود وهذا الوجود مشترك بين القلم الأعلى الذي هو أول موجود المسمى أيضاً بالعقل الأول وبين سائر الموجودات
“Al-Haq Subhanallah wa Ta’ala dari sisi ketunggalan Wujud tidak akan muncul kecuali yang Wahdah (Tunggal), sebab mustahil kenyataan Wahdah pada selain yang Wahdah dan Sesungguhnya wujud alam yang membias pada segala wujud alam semesta baik apa yang ditemukan atau tidak, termasuk sesuatu yang telah dahulu wujud alam yaitu wujud mustyarak (ambigu) yang terbagi pada Qalam a’la (tertinggi) sebagai awal Maujud yang bernama Aqal Awwal sebagai pusat kejadian segala Maujud alam semesta. (Kitab Miftahul Ghaib Al-Jami wal Wujud, Dar Al-Kotob Al-ilmiyah, Beirut hal 21-22).”
Paham wujudiyah Ibnu ‘Arabi ini mengalami perkembangan pesat di Aceh melalui al-Sumatrani yang ditengarai sebagai orang pertama yang menerjemahkan konsep Martabat Tujuh ke dalam bahasa Melayu. Martabat Tujuh sendiri merupakan satu paham wujudiyah yang dipopularkan oleh Syekh Fathullah al-Burhanpuri al-Hindi (1620) dalam kitabnya al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi.
Martabat Tujuh mengajarkan bahwa wujud itu hanya satu dan wujud yang satu itu adalah wujud al-haqq (Allah). Tetapi kemudian satu wujud ini memiliki banyak manifestasi yang mengambil bentuk dalam tujuh tingkatan (martabat). Ketujuh martabat tersebut adalah ahadiyah, wahdah, wahidiyah, arwah, mitsal, ajsam, dan insan.
Ajaran Martabat Tujuh-nya al-Bunhapuri ini mendapatkan serangan keras dari Nuruddin al-Raniry (1685). Untuk tujuan ini, Ar-Raniry menulis sebuah kitab yang berjudul Fath al-Mubin ‘ala al-Mulhidin. Para ahli menduga polemik inilah yang menyebabkan Ar-Raniry meninggalkan Aceh pada 1644, dikarenakan pandangannya tersebut tidak mendapatkan sambutan yang luas dari masyarakat dan penguasa saat itu.
Polemik Ar-Raniry dengan kaum wujudiyah ini berhasil dinetralkan oleh Abdurrauf al-Singkili (1693). Al-Singkili saat itu meminta kepada Syekh Mulla Ibrahim al-Kurani, seorang gurunya di Mekkah untuk menulis satu kitab yang berisi tanggapan terhadap ajaran Martabat Tujuh yang diserang Ar-Raniry.
Menanggapi permintaan tersebut, al-Kurani menulis sebuah risalah yang berjudul Ithaf al-Zaki bi Syarh al-Tuhfat al-Mursalah ila Ruh al-Nabi. Di dalam risalah ini, al-Kurani berusaha menetralisir pemahaman panteisme yang terdapat dalam kitab al-Tuhfah al-Mursalah dengan mengintrodusir penafsiran ortodoks ke dalam ajaran panteisme.
Cara itu kemudian juga digunakan oleh al-Singkili untuk menyinerjikan aspek mistisme Islam dengan syariat, seperti yang terlihat di dalam karyanya Kifayat al-Muhtajin ila Masyrab al-Muwahhidin al-Qa’ilin bi Wahdah al-Wujud dan Daqa‘iq al-Huruf. Syekh Abdur Rauf Al-Fanshuri Al-Singkili di dalam kitab Tanbih Al-Masyi Al-Mansub Ila Tariq Al-Qusyasyiy memberikan penjelasan mengenai wahdatul wujud, yaitu:
وحاصله ان وجود العالم لكونه ليس وجودا مستقلااس استقلالا بل فائصنة والمراد بالفيض هو كفيض العلم منه تعالى كمالا يتصف بكونه عين الحق لكونه مبد عاكذ لك لا يتصف بانه غيره مغائرة تامة بحيث يتصف يانه وجود ثان معه مستقل فان الله كما كان في الازل ولاشيء معه لكونه الاول قبل كل شيء فكذلك الآن كماكان لان العالم حادث لكونه من فيض وجوده لايتصف بكونه موجواد معه بل موجودا به فليس له مرتبة المعية بل مرتبة التحية انتهى
فنقول هذا مرادهم بوحدة الوجود لان المرادبها ان العالم ليس موجودا ثانيا مح الحق مستقبلا وان الحق سبحانه وتعالى هوالواحد الاحد الذي ليس معه كل شيء وهومح كل شيء اولا واخرا كما قال الله تعالى وهو معكم اين ماكنتم
“Alhasil wujud alam ini tidak benar-benar berdiri sendiri (istiqlal) melainkan terjadi melalui fayidh Ilahiyah/pancaran Ilahi. Dan yang dimaksud dengan memancar di sini adalah bagaikan memancarnya pengetahuan dari Allah Ta’ala. Seperti halnya alam ini bukan lah dzat Allah Ta’ala. Karena ia merupakan wujud baru. Alam juga tidaklah benar-benar lain dari-Nya. Ia bukan wujud kedua yang berdiri sendiri di samping Allah. Sebab sebagaimana zaman dahulu tidak ada yang menyertai Allah karena Dia adalah yang pertama ada sebelum segala sesuatu tercipta, demikian halnya hingga sekarang. Alam itu baru, karena ia tercipta dari pancaran Wujud-Nya yang Qadim. Ia bukan wujud yang menyertai Allah, melainkan wujud yang diciptakan oleh-Nya. Jadi alam ini tidak memiliki tingkat yang sejajar dengan Al-Haq melainkan berada di tingkat di bawah-Nya.
Inilah yang dimaksud Wahdatul Wujud yang Wahid, yakni alam bukanlah wujud kedua yang berdiri sendiri selain Al-Haq. Dan bahwa Al-Haq itu dzat yang Wahidiyah Ahadiyah tidak ada seuatu apapun yg menyertai-Nya, namun Dia selalu menyertai segala sesuatu, baik pada permulaan maupun akhirnya. Sebagaimana firman-Nya: ‘Dan Dia bersama kamu dimana kamu berada’ (QS. Al-Hadid: 4). (Kitab Tanbih Al-Masyi Al-Mansub Ila Tariq Al-Qusyasyiy, hal 4-5)”.
Pemikiran Syaikh Al-Singkili tentang wahdatul wujud, diatas, bersumber dari perkataan Imam Al-Imam Al-Junaid Al-Baghdadi, yang dinukli dalam kitab Al-Insan Al-Kamil, memberikan isyarah makna wahdtul wujud,
المحدت إذا قورن بالقديم لم يبق له أثر
“Segala sesuatu yang hudust (baru) jika bertemu dengan yang Qadim maka akan hancur dan lenyaplah yang hudust tanpa berbekas.” (Kitab Al-Insan Al-Kamil fi Ma’arifat Awa’il wa Awakhir Juz I Dar Al-Kotob Al-ilmiyah Beirut hal 188).
Di tangan al-Singkili-lah pemikiran tasawuf Aceh bergeser dari aliran tasawuf falsafi menjadi tasawuf amali. Sejak saat itu, tasawuf akhlaki mulai menjadi arus utama (mainstream) tasawuf Aceh. Perbedaan pemikiran tasawuf pada generasi awal tidak menyebabkan mereka berbeda dalam praktik mengamalkan ajaran tasawuf.
Dalam praktinya, mereka tetap merujuk kepada amalan tarekat. Beberapa bagian syair-syair al-Fansuri menyiratkan bahwa dia berafiliasi dengan tarekat Qadiriyah dan bahkan penah menjadi seorang khalifah dari tarekat tersebut. Al-Sumatrani merupakan pengikut tarekat Syattariyah. Ar-Raniry sendiri mengamalkan tarekat Rifa’iyyah. Sedangkan al-Singkili mengajarkan zikir dan wirid dalam tarekat Syattariyah.
Kemudian estafet perjuangan Syekh Abdur Rauf al-Singkili dilanjutkan oleh beberapa generasi ulama Aceh kharismatik, di antaranya yang terkenal Syekh Muhammad Muda Waly Al-Khalidi sebagai guru tarekat Naqshabandiyah al-Khalidiyah. Melaluinya, lahirlah ratusan ulama-ulama besar di Aceh.
Mengalami Pergeseran
Pengamalan ajaran tasawuf dengan tarekat tertentu mengalami pergeseran dalam beberapa dasarwarsa terakhir. Tarekat-tarekat tasawuf tersebut mulai mengambil bentuk dalam organisasi-organisasi tasawuf. Organisasi-organisasi tersebut dapat dibedakan ke dalam tiga kategori besar: Pertama, organisasi majelis zikir, seperti Majelis Zikir Zawin Nabi, Majelis Zikir Aceh, dan Majelis Zikir Ar-Rahmah. Kedua, organisasi majelis pengajian seperti majelis Tastafi (tasawuf, tauhid, dan fikih). Dan, ketiga, organisasi yang berbentuk majelis zikir sekaligus majelis pengajian, seperti Majelis Pengajian Tauhid Tasawuf (MPTT) yang juga memiliki majelis zikir yang dikenal dengan Rateb Seuribe.
Pergeseran pola praktik ajaran tasawuf ini merupakan cara tasawuf beradaptasi dalam menghadapi tantangan dan perkembangan zaman, sehingga ia tetap diterima luas dalam masyarakat urban sekarang ini. Prediksi sebagian ahli yang mengatakan, praktik tasawuf akan sirna dengan sendirinya pada abad modern ini tidak terbukti.
Kegersangan spiritual yang dialami masyarakat urban terobati dalam oase zikir dan pengajian tasawuf yang dilakukan organisasi-organisasi tersebut. Pada tahap berikutnya, organisasi-organisasi tasawuf tersebut mengerucut kepada dua kelompok besar Tastafi dan MPTT.
Dua kelompok ini tidak hanya berbeda dalam alur organisasi, namun juga berbeda dalam aliran pemikiran dan wilayah yang menjadi basis pengikut. Tastafi lebih pada majelis pengajian, sedangkan MPTT dengan Rateb Seuribe-nya lebih berorientasi kepada majelis zikir. Pemikiran Tastafi bercorak tasawuf amali, sedangkan MPTT lebih berafiliasi kepada tasawuf falsafi.
Tastafi memiliki basis masa pengikut terbesar di wilayah pantai Utara dan Timur Aceh, sedangkan MPTT basis masa mayoritasnya tersebar sepanjang pantai Barat dan Selatan Aceh. Jika dua kelompok besar ini bisa bersinergi dalam mendakwahkan ajaran tasawuf, bukanlah suatu mustahil kalau kerak peradaban Islam akan kembali bersemi di Aceh. Semoga.
Penulis: Budi Handoyo (Dosen Prodi Hukum Tata Negara Islam Jurusan Syariah dan Ekonomi Islam STAIN Teungku Diruendeng Meulaboh-Kabupaten Aceh Barat)
Editor: Khoirum Millatin