Pluralisme Gus Dur dan Kesatuan Puncak Tujuan Agama-agama Perspektif Tasawuf Falsafi

Bapak Pluralisme Indonesia
Gus Dur dikenal sebagai bapak pluralisme. Selain disebut sebagai sang guru bangsa, ia juga dikenal sebagai tokoh pemersatu bangsa yang pikiran-pikirannya melampaui zamannya. Konon Djohan Efendi, sahabat setianya, pernah diminta oleh Gus Dur agar jika ia kelak wafat, nisannya ditulis:
“Di sini Dikubur Sang Pluralis”
Banyak orang sepakat atas predikat ini. Mantan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, menyebut Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme Indonesia atas gagasan-gagasan universal mengenai pentingnya menghormati perbedaan. Gus Dur adalah sosok yang selalu ingin memandang manusia, siapapun mereka dan dimanapun mereka berada, sebagai manusia, ciptaan Tuhan. Sebagaimana Tuhan menghormatinya, ia pun ingin menghormatinya. Sebagaimana Tuhan mengasihinya, ia juga ingin mengasihinya.
Meski Gus Dur tak banyak bicara soal wacana pluralisme beserta dalil-dalil teologisnya sebagaimana kebanyakan sarjana dan aktifis HAM, tetapi ia mengamalkannya, mempraktikkannya, dan memberi contoh atasnya. Pluralisme jauh lebih banyak dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari Gus Dur dibanding diwacanakan. Kalaupun ia diminta dalil agama soal pluralisme, ia menyampaikan ayat suci al-Qur'an berikut ini:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (Qs. Al-Hujuraat, [49]: 13).
Dalam ayat tersebut, makna li ta'aarafu (saling mengenal) tidak sekedar mengetahui nama, alamat rumah, nomor telepon, atau wajah dan bagian-bagian tubuh yang lain. Saling mengenal, dalam hal ini, memahami kebiasaan, tradisi, adat istiadat, pikiran, hasrat-hasrat yang lain, yang berbeda, yang tak sama. Lebih dari segalanya, li ta'aarafu berarti agar manusia saling menjadi arif, bijaksana, dan rendah hati satu sama lain. Dalam konteks sufisme, terma ini dimaknai lebih menukik ke dalam. Kaum Sufi memaknainya sebagai orang yang menyerap pengetahuan ketuhanan melalui intuisi dan perjuangan batin.
Meneladani Pluralisme Gus Dur
Gus Dur sering bicara tentang kejujuran, ketulusan dalam bekerja, keteguhan, kesabaran dalam berjuang, menghargai orang, dan mengadvokasi siapa pun yang menderita dan yang ditindas. Lebih dari itu, ia bukan sekedar menghargai atau menghormati manusia yang berbuat baik, melainkan juga menyambutnya dengan rendah hati dengan rengkuhan yang hangat. Sebaliknya, ia akan menentang siapa pun yang merendahkan martabat manusia, apalagi menyakiti, mengurangi dan menghalangi hak-hak mereka. Ia akan membela orang-orang yang martabat kemanusiaannya direndahkan, yang hak-haknya dikurangi, dipasung, disakiti, dan ditelantarkan.
Ketika pengikut Ahmadiyah diusir dan masjid-masjid mereka dirobohkan, Gus Dur hadir membela mereka. Ketika gereja-gereja dilempari batu, ia berteriak, "Jangan!". Ketika Inul Daratista dihujat ramai-ramai karena bergoyang-goyang dan meliuk-liukkan tubuhnya bagai bor di depan publik, ia membelanya. Ketika Dorce Gamalama disorak karena berganti kelamin, ia mengajaknya bicara dengan lembut dan penuh kasih. "Jika itu adalah dirimu, teruslah bekerja dan lakukan hal-hal yang baik untuk orang lain," tukas Gus Dur.
Ketika orang-orang Tionghoa meminta Hari Raya Imlek dan Barongsai, Gus Dur memberikannya dengan tulus. Mereka, menurut Gus Dur, berhak menjalankan tradisi keagamaan mereka, sebagaimana berhaknya umat agama yang lain merayakan upacara keagamaannya. Meski tak bisa melihat dengan mata lahiriahnya, Gus Dur hadir menyaksikan tarian-tarian barongsai dan ikut bertepuk tangan. Mata hatinya melihatnya dengan amat jelas, dan Gus Dur pun senang.
Sering kali, sikap perlawanan dan pembelaan Gus Dur itu dilakukannya seorang diri. Ia berjalan sendiri, tak ada siapa-siapa di sampingnya. Meski dengan begitu ia harus mempertaruhkan jiwanya, ia tak peduli.
Seorang Sufi mengatakan, "Ia yang jiwanya telah mencapai kesadaran yang matang, bantuan eksternal tak lagi diperlukan." dan Gus Dur sanggup menjalaninya seorang diri dengan tegar karena ia telah matang.
Bagi Gus Dur, semua manusia sama, tak peduli dari mana asal-usulnya, apa jenis kelaminnya, warna kulitnya, suku ya, ras, dan kebangsaannya. Hal yang dilihat oleh Gus Dur adalah bahwa mereka manusia, seperti dirinya dan orang lain. Hal yang ia lihat adalah niat baik dan perbuatannya. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw, "Tuhan tidak melihat tubuh dan wajahmu, melainkan perilaku dan hatimu."
Gus Dur bukan tidak paham bahwa ada yang keliru, salah, dan ada yang tidak ia setujui dari orang-orang yang dibelanya. Namun, ia tetap saja membela dan menemani mereka. Ia membela karena mereka diserang dan dilukai hanya karena baju agamanya berwarna lain, harta mereka dirampas semaunya, ekspresi-ekspresi mereka dihentikan secara paksa oleh negara atau direnggut dengan paksa oleh otoritas dominan, dan kehormatan mereka diinjak-injak. Padahal, mereka tak melakukan perbuatan yang melanggar hukum.
Bagi Gus Dur, keyakinan dan pikiran tak bisa dinamai dan tak bisa diberi tanda. Pikiran dan hati adalah misteri yang tersembunyi. Ia bagaikan burung yang terbang di langit lepas. Ia dapat mengelana ke mana-mana. Ia bisa naik dan turun, bisa pula berbelok-belok. Karena itu, ia sulit ditangkap.
Kata-kata Tuhan memiliki dan menyimpan berjuta makna dan pengertian tak terbatas. Pemaksaan atas pikiran dan keyakinan orang tak akan menghasilkan apa-apa, suatu tindakan yang sia-sia, tak berguna, justru malah membuat orang dan keluarganya menjadi sakit, menderita, luka hati, serta menghambat kreativitas dan kemajuan peradaban manusia.
Pluralisme dan Kesatuan Agama-agama Untuk Kemaslahatan Universal
Sekitar abad pertengahan para ulama dan para tokoh berkumpul dari berbagai agama dalam suasana persaudaraan yang manis, tanpa sekat-sekat primordialisme, untuk saling berbagi ilmu pengetahuan, kearifan-kearifan perenial, dan saling membagi cinta dan kasih sayang. Mereka berpendapat bahwa semua agama adalah jalan mendekati Tuhan dan cara membagi kegembiraan serta cinta kepada semua manusia dan semua ciptaan-Nya. Seorang bijak bestari mengatakan:
الاديان وان اختلفت في الشعائر فالغرض منها جميعها الوصول الى الله
“Agama-agama meski berbeda-beda dalam atribut dan cara, tetapi tujuannya sama: bertemu Tuhan.”
Ahmad Amin pernah berkata:
لا يوجد الا إله واحد وهو أبدي أزلي لا إله غيره. ومهما تعددت الأسمآء باختلاف اللغات فهو هو
“Tak akan ditemukan kecuali Tuhan yang Satu, Tunggal. Dia eksistensi yang abadi. Tidak ada tuhan selain Dia. Meski nama-Nya berbeda-beda, karena keberagaman bahasa, tetapi Dia adalah Dia.”
Dalam lima kemaslahatan universal dalam agama (maqashid al-syariah) ada salah satu poin penting di dalamnya, yakni menjaga agama (hifz al-din) dengan cara menjaga aqidah dari segala bentuk kesyirikan. Dalam al-Qur’an juga terdapat ajakan kepada ahl al-kitab untuk menegakkan kalimat sawa’ (kata sepakat), dan kalau ini tidak ditemukan, maka cukuplah mengakui kaum muslim sebagai umat beragama Islam, jangan diganggu dan dihalangi dalam melaksanakan ibadahnya. Dalam konteks ini, Al-Qur’an memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengajak kepada keyakinan yang satu, yakni hanya menyembah kepada Allah (QS. Ali ‘Imran: 64). Menjaga aqidah adalah bagian dari menjaga kemaslahatan agama.
Tidak ada perbedaan antara Taurat, Injil, dan Al-Quran. Artinya tidak ada perbedaan pada setiap syariat dalam hal aqidah, yakni hanya menyembah kepada Allah dengan memurnikan Allah dalam ibadah. Ajakan tersebut tidak memaksa mereka untuk meninggalkan ibadah yang mereka lakukan, tetapi hanya sekedar ajakan untuk membenarkan akidah. Hal ini terekam dalam sejarah, dimana ketika sahabat Nabi diutus menyampaikan surat ke Muqauqis raja Mesir, sahabat Nabi tersebut menyatakan bahwa Nabi tidak memaksa untuk meninggalkan agama al-Masih, akan tetapi Nabi menyuruh untuk membenarkan akidah dan mengakui bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Bahkan ketika Najasyi raja Habasyah yang beragama Nasrani meninggal, Nabi dan para sahabatnya menshalati jenazahnya karena menganggap Najasyi termasuk golongan orang mukmin.
Ajakan untuk menyamakan ideologi (kalimatun sawa’) dalam tauhid, seperti yang dijelaskan dalam QS. Ali ‘Imran: 64 menunjukkan adanya kesamaan antara esensi agama Islam dan agama yang dianut oleh ahl al-kitab. Esensi tersebut adalah iman kepada Allah dan tidak menyekutukannya. Menurut Mahmud Shaltut secara garis besar Islam memiliki dua unsur, yakni aqidah dan syariah. Aqidah adalah pokok (al-ashl) sedangkan syariah adalah cabang (al-far’u). Dalam tataran aqidah setiap agama yang dibawa oleh para Nabi memiliki kesamaan, yakni iman kepada Allah.
Kemudian poin penting yang lain dalam maqashid al-syariah adalah upaya menjaga kemaslahatan jiwa (hifdz al-nafs). Maka dari itu dalam agama ada larangan membunuh dan disyariatkannya qishas bagi pelaku pembunuhan. Karena itu apapun yang dapat mengancam keselamatan nyawa haruslah dicegah. Konflik antar-umat beragama yang seringkali terjadi selalu memakan korban, mulai hilangnya harta hingga hilangnya nyawa. Untuk mencegah terjadinya konflik antar-umat beragama maka persatuan dan kesatuan antar-umat, masyarakat, bangsa harus dikokohkan. Ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah insaniyah sangatlah penting untuk menciptakan kondisi sosial yang damai dan harmonis. Hal ini sangatlah penting karena seperti yang dijelaskan oleh al-Raisuni, yakni persatuan dan kesatuan umat dan bangsa merupakan salah satu kemaslahatan yang menjadi maksud dan tujuan al-Qur’an.
Tuhan Tidak Terhijab Oleh Apapun
Setiap orang memiliki peluang dan jalannya masing-masing untuk menuju pada Tuhan, mereka apapun latar belakang dan jenis ilmu yang dimilikinya membuka peluang untuk mengenal (makrifat) kepada Tuhannya. Karena kita yakin bahwa Tuhan tidak terhijab (terhalang) oleh langit, oleh gunung, oleh tembok identitas, oleh kokohnya benteng ideologi, dan segala hal yang diciptakannya. Sebenarnya setiap orang dari komunitas apapun bisa untuk mengenal al-Haq, selama mereka terus merenung dan mencari kebenaran, dan juga terus gelisah untuk menggapai manisnya iman yang ditandai oleh kenyamanan akal (iltidzadzan 'aqliyan).
Dalam al-Qur’an dijelaskan:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّار
Orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring, dan memikirkan merenung penciptaan langit-langit dan bumi, dan berkata: ya Tuhanku, Engkau tak menciptakan hal ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau, jagalah kami dari adzab neraka.
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan penggalan ayat:
(ويتفكرون في خلق السماوات والأرض) أي: يفهمون ما فيهما من الحكم الدالة على عظمة الخالق وقدرته، وعلمه وحكمته، واختياره ورحمته.
Yakni orang-orang yang memahami segala sesuatu yang ada di langit dan bumi, tentang adanya berbagai hikmah yang menunjukkan kebesaran Sang Khaliq dan kuasa-Nya, pengetahuan-Nya, kebijaksanaan-Nya, ketentuan-Nya, dan rahmat-Nya.
وقال الفضيل: قال الحسن: الفكرة مرآة تريك حسناتك وسيئاتك. وقال سفيان بن عيينة: الفكرة نور يدخل قلبك. وربما تمثل بهذا البيت:
Fudhail bin Iyadh mengatakan: Menurut al-Hasan: pikiran jernih adalah kaca yang akan menunjukkan kebaikan-kebaikan kita dan kejelekan-kejelekan kita. Sufyan bin 'Uyainah menambahkan: pikiran adalah nur (cahaya) yang masuk ke hati.
Terkadang hal tersebut tertamsil dalam sebuah bait:
إذا المرء كانت له فكرة ففي كل شيء له عبرة
Ketika seseorang memiliki pikiran (yang luas dan dalam) maka dalam segala sesuatu akan ditemukan sebuah pelajaran.
Sebenarnya setiap orang apapun latar pendidikan dan pengalamannya tidak terhijab (terhalang) pada Al-Haq, tak tertutup baginya untuk memahami kebenaran, keadilan, dan kebijaksanaan. Aku tak pernah terhalang akan kearifan dan kebenaran, jika aku tertutup maka sesungguhnya akulah yang menutup diri atau sedang tertutup oleh keruhnya pikiran dan hati sehingga tak memahami kearifan dan kebijaksanaan yang ter-tajalli. Maka sesungguhnya setiap orang mampu memperoleh pemahaman tentang al-Haq, tentang kebijaksanaan, dan juga kebenaran. Selama seseorang mau membuka hati dan pikirannya. Segala sesuatu, segala ilmu, dan segala objek yang teramati, semuanya berasal dari-Nya dan dalam segala hal menunjukkan tentang adanya Dia al-Haq.
Pada puncaknya kita akan sampai pada ungkapan maha guru para Sufi al-Syaikh Ibnu Athoillah al-Sakandari:
كيف يتصور أن يحجبه شيئ و هو الذي أظهر كل شيئ
كيف يتصور أن يحجبه شيئ و هو الذي ظهر بكل شيئ
كيف يتصور أن يحجبه شيئ و هو الذي ظهر في كل شيئ
كيف يتصور أن يحجبه شيئ و هو الذي ظهر لكل شيئ
كيف يتصور أن يحجبه شيئ و هو الظاهر قبل وجود كل شيئ
Bagaimana bisa digambarkan Dia terhalang sesuatu, padahal Dia lah yang menampakkan segalanya.
Bagaimana bisa digambarkan Dia terhalang sesuatu, padahal Dia tampak pada segala sesuatu.
Bagaimana bisa digambarkan Dia terhalang sesuatu, padahal Dia ada dalam segala hal.
Bagaimana bisa digambarkan Dia terhalang sesuatu, sedangkan Dia ada di setiap hal.
Bagaimana bisa digambarkan Dia terhalang sesuatu, sedangkan Dialah yang Maha Terlihat sebelum adanya segala.
كيف يتصور أن يحجبه شيئ و هو أظهر من كل شيئ
كيف يتصور أن يحجبه شيئ و هو الواحد الذي ليس معه شيئ
كيف يتصور أن يحجبه شيئ و هو أقرب إليك من كل شيئ
كيف يتصور أن يحجبه شيئ و لولاه ما كان وجود كل شيئ
Bagaimana bisa digambarkan Dia terhalang sesuatu, sedangkan Dialah yang paling tampak dari segalanya.
Bagaimana bisa digambarkan Dia terhalang sesuatu, sedangkan Dialah yang satu dan tak ada sesuatu pun bersama-Nya.
Bagaimana bisa digambarkan Dia terhalang sesuatu, sedangkan Dialah yang paling dekat denganmu melebihi segala sesuatu.
Bagaimana bisa digambarkan Dia terhalang sesuatu, sedangkan jika bukan karena-Nya segala hal tak akan wujud.
Ungkapan diatas seakan menjelaskan bahwa setiap manusia apapun kondisinya, dari agama apapun, ilmu dan pengalaman apapun yang diperoleh tetap membuka peluang bagi mereka untuk mengenal Tuhannya dan mengetahui kebenaran. Dengan pemahaman akan hal tersebut, kita tak akan terjebak oleh fanatisme yang berlebihan. Kita akan mampu bersikap moderat dengan tidak mengabsolutkan kebenaran kelompok sendiri dan kesalahan kelompok lain.
Ibnu Arabi juga menjelaskan:
"Berhati-hatilah engkau dalam mengaitkan diri pada satu ikatan (agama) tertentu, lalu engkau mengkafirkan apa yang selainnya, sehingga engkau akan kehilangan banyak kebaikan; bahkan engkau pun akan luput dari Pengetahuan Sejati akan hakikat nyata dari segala wujud (al-amr 'ala ma huwa alaihi). Jadilah engkau materi utama yang menerima berbagai bentuk keyakinan dan kepercayaan semuanya. Karena Allah itu Maha Luas dan Maha Agung, sehingga tidak bisa dibatasi oleh keyakinan tertentu dengan mengabaikan keyakinan lainnya."