Penutupan Ngaji Ramadan, Habib Luthfi Berpesan Pentingnya Sanad Ilmu dan Menulis

September 28, 2023 - 08:54
 0
Penutupan Ngaji Ramadan, Habib Luthfi Berpesan Pentingnya Sanad Ilmu dan Menulis

Pekalongan, JATMAN Online – Rais ‘Aam Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al-Mu’tabaroh An-Nahdliyah (JATMAN) Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Yahya mengisi Penutupan Pengajian Ramadan di kediaman Habib Luthfi Jl dr Wahidin Gang 7 Noyontaan, Kota Pekalongan, Selasa (18/4/23) malam.

Habib Luthfi berpesan kepada santri agar memperbanyak produksi tulisan tentang wali, ulama, dan para kiai Nusantara.

“Mereka itu dakwah di Nusantara secara susah payah melalui jalur pendidikan hingga ekonomi, membangun masyarakat supaya makmur. Itulah yang seharusnya perlu ditulis,” kata Habib Luthfi dikutip dari NU Online Jateng.

Ketua Forum Sufi Dunia ini menyebutkan rata-rata usia para Wali Songo yang mencapai 100-an tahun. Usia yang panjang itu mereka gunakan sebaik mungkin untuk membangun ekonomi, berdakwah melalui jalur kesenian, mengajar dan lain-lain.

“Jangan dikira Wali Songo itu tidak mengerti seni. Wali Songo sangat paham bagaimana seni itu sendiri untuk menarik perhatian masyarakat agar mau ikut,” paparnya.

Diakui, memang belum banyak manuskrip yang bisa ditemukan. Tapi kalau tidak ada yang memulai menuliskan tentu generasi selanjutnya akan semakin kepaten obor. Tulisan-tulisan yang logis dari sejarah para wali, ulama, kiai Nusantara itu penting agar bisa dijadikan referensi untuk generasi yang akan datang.

“Termasuk kenapa harus lewat jalur dagang, kenapa juga dalam dakwahnya harus lewat India atau China dulu misalnya. Ayo, itu semua harus ada yang menuliskan supaya kita tahu,” ucapnya.

Para wali tahu kenapa ke China dan India dahulu, karena sumber kain itu sumbernya China dan India. Sampai disebut dari China ke Madinah itu dengan jalur sutera karena pakaiannya dan bahan-bahannya. Bagaimana wali sembilan memanfaatkan dengan pakaian dan bahan itu bisa dibawa ke Indonesia.

Habib Luthfi menjelaskan para Wali Songo berdakwah dengan membangun jalur ekonomi agar memudahkan untuk berkenalan kepada siapapun walaupun tidak dikenal.

“Bagaimana cara wali sembilan cara berdakwah masuk ke Indonesia ko mampu dan mudah diterima oleh awam pada waktu itu. Kita itu harus banyak belajar kepada beliau-beliau dari jalur mana para beliau membangun dakwah Islam, tidak terlepas pasti para beliau membangunnya dengan jalur ekonomi,” ucapnya.

Selama ini tulisan tentang para wali dan ulama di Nusantara, lanjutnya, masih kalah banyak jika disandingkan dengan kisah klenik yang kurang relevan. Paling jauh hanya berkutat pada asal usul suatu daerah. Itupun masih dibumbui kisah sebatas adu kesaktian.

Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) ini menegaskan, kiai-kiai di daerah-daerah penting untuk ditulis sejarah dan ajarannya. Dengan begitu, kata Habib Luthfi kiprah dan teladan sosok kiai itu bisa terekam untuk dipelajari secara rapih.

“Syekh Abdul Qadir contohnya, siapa yang tidak kenal beliau? Bagaimana bisa kenal beliau kalau tidak dari manaqibnya. Yang ditulis secara rapih dan banyak sekali,” sebutnya.

Habib Luthfi berpesan ketika menulis supaya jangan menyerah hanya karena alasan takut takabur. Kadang ada yang mau nulis kiai A tapi tidak jadi karena ada keluarga yang tidak setuju. “Katanya tidak mau takabur, tidak mau riya,” ujarnya.

Masalahnya, kalau terus beralasan takut takabur lalu tidak ditulis mau belajar darimana kita. “Iya kalau masih ada yang bisa ditanya, anak-anak kita besok bagaimana? Siapa yang bakal mereka banggakan dan teladani supaya tidak kepaten obor,” tandasnya.

Habib Luthfi mengatakan kanjeng Nabi Sendiri dawuh Kullu sababin wa nasabin, munqothi yaumal qiyamah illa sababi wa nasabi. Nasab itu keturunan, sedangakan sabab itu didapat dari menuntut ilmu.

“Kalau dia tidak punya nasab maka dapet sabab, gurunya siapa sehingga sampai kanjeng Nabi. Masa kita tidak mau memasukan diri kita ke sabab. Makanya sanad ngaji itu sangat penting karena kita yang dimasukkan wa sababil ila yaumil qiyamah,” ungkapnya.

Diakhir, Habib Luthfi mengucapkan minal ‘aidin wal faizin wal maqbulin. Kalau ketentuan melihat Rukyatul hilal sudah 3,8-3,9 bahkan ada yang jelas sekali 4,3 sudah jelas. Tapi karena kita itu mempunyai ulil amri, kalau yang menghargai pemerintah bukan kita sendiri, terus siapa. Walaupun kita sudah mengerti patokannya, kita tetap menunggu ulil amri.