Muktamar Internasional Fiqih Peradaban Langkah Awal PBNU Menuju Perdamaian Dunia

Jakarta, JATMAN Online – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf menyampaikan bahwa inisiasi Muktamar Internasional Fiqih Peradaban merupakan langkah awal dari jalan panjang menuju perdamaian dunia yang dicita-citakan bersama.
“Apa yang kami lakukan dengan Muktamar Internasional Fiqih Peradaban ini adalah upaya awal dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dari satu jalan yang kami sendiri sejak awal melihatnya sebagai kalan panjang,” katanya disampaikan pada Seminar Nasional bertema “Menafsirkan Kembali Gagasan Fiqih Peradaban dalam Perspektif Geopolitik Islam” di Gedung Prof Soenarjo, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Selasa (4/4/2023).
Dilansir dari NU Online, Gus Yahya mengungkapkan ke depan masih banyak hal yang harus dipikirkan. Banyak hal pula yang harus diurai dan ditemukan kesimpulan-kesimpulannya. Karenanya, ia mengajak serta akademisi dari lintas disiplin untuk turut serta meletakkan sumbangsih pemikirannya untuk mewujudkan hal tersebut.
“Kami sangat membutuhkan keikutsertaan dari berbagai lingkaran-lingkaran ilmiah, lingkaran-lingkaran akademis dan intelektual untuk ikut membantu di dalam membangun wacana tentang fiqih peradaban ini,” paparnya.
Gus Yahya berharap UIN Sunan Kalijaga yang sudah mengadopsi wacana Fiqih Peradaban ini dapat terus menjadikannya studi berkelanjutan sehingga pemikiran Islam lebih luas.
Sebagaimana diketahui, PBNU telah menggelar Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I di Surabaya pada Senin, 6 Februari 2023 lalu. Pada gelaran tersebut, pembahasan yang diangkat adalah Piagam PBB dalam persepektif syariah.
Gus Yahya menjelaskan bahwa Piagam PBB itu berisi perjanjian tentang cita-cita bersama yang masih harus diupayakan secara bersama-sama, bukan sesuatu yang bisa serta merta diterapkan.
“Maka sebetulnya masih ada ruang yang cair dari konstruksi yang ada ini, khususnya ketika dipandang dari perspektif syariah,” ujarnya.
Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu menegaskan bahwa para ulama menyimpulkan piagam PBB sebagai perjanjian itu sah di mata syariat. Sebab, kepala negara yang menandatanganinya sah menjadi wakil dari umat Islam yang menjadi warga negara masing-masing.
“Itu adalah satu titik tolak yang sangat berarti untuk membangun konstruksi pemikiran ke depan nanti, dalam kerangka kebutuhan kita menyepakati satu bangunan peradaban tentang tempat seluruh umat manusia dengan segala perbedaan yang dimiliki bisa hidup bersama berdampingan secara damai,” jelasnya.
Hal ini, menurutnya, diperlukan supaya tidak ada lagi dan tidak bisa lagi syariat dijadikan alasan untuk menciptakan permusuhan di antara berbagai kelompok yang berbeda-beda. Seminar ini menghadirkan para ahli dari lintas disiplin dan kampus.