Mengenal Syekh Abdul Karim Al-Jili, Pengarang Kitab Insan Kamil

Abdul Karim Qutubuddin Ibnu Ibrahim Al-Jili terlahir dari klan keluargia Sufi agung Syekh Sayyidi Abdul Qadir Al-Jilani pada tahun 767 H/1366 M di pemukiman yang bernama Al-Jailan, salah satu distrik di Kota Baghdad. Adapun kapan ia meninggal, sebagian pakar sejarah berbeda pendapat. Ada yang mengatakan pada tahun 832 H, tahun 805 H dan ada pula yang mengatakan jika ia meninggal pada tahun 826 H di kota Zabidah, negeri Yaman.

September 15, 2023 - 12:47
Mengenal Syekh Abdul Karim Al-Jili, Pengarang Kitab Insan Kamil

Abdul Karim Qutubuddin Ibnu Ibrahim Al-Jili terlahir dari klan keluargia Sufi agung Syekh Sayyidi Abdul Qadir Al-Jilani pada tahun 767 H/1366 M di pemukiman yang bernama Al-Jailan, salah satu distrik di Kota Baghdad. Adapun kapan ia meninggal, sebagian pakar sejarah berbeda pendapat. Ada yang mengatakan pada tahun 832 H, tahun 805 H dan ada pula yang mengatakan jika ia meninggal pada tahun 826 H di kota Zabidah, negeri Yaman.

Abdul Karim Al-Jili adalah seorang pengembara sejati. Ia telah berkelana ke berbagai negara, termasuk Irak, India, Persia (Iran), Kairo (Mesir), Alexanderia, Gaza (Palestina), Makkah, Madinah dan Zabidah (Yaman).

Di setiap negara yang dikunjunginya, al-Jili menetap selama beberapa waktu guna melakukan aktivitas belajar mengajar atau melakukan prosesi Suluk. Seperti lazimnya seorang pengembara, ia banyak mempelajari budaya dan peradaban negeri-negeri yang disinggahinya.

Dalam keyakinan al-Jili, Allah tidak mengajar manusia dari Al-Qur’an dan Hadits saja, tetapi juga dari perilaku manusia, realitas alam dan latar kesejajaran masing-masing penghuni bumi ini, sejatinya ajaran Allah sangatlah banyak.

Al-Jili adalah penggila ilmu pengetahuan. Ia dikenal anak zamannya sebagai pakar ilmu Geografi, Pedagogi, Filsafat, Logika, Gramatika, rahasia huruf, Astronomi, Teologi dan ilmu-ilmu lain yang mewacana di anak zamannya. Ia Masyhur sebagai intelektual nomor satu.

Di samping giat mempelejari ilmu produk logika, Al-Jili juga sangat eksis mencerdaskan hati dan jiwanya. Ia merupakan seorang salik yang istiqamah mentradisikan olah ruhani. Al-Jili hidup sezaman dengan peletak dasar ajaran Thariqah Naqsyabandiyah yang bernama Syekh Bahauddin Muhammad Naqsyabandi dari Bukhara (sekarang Uzbekistan) dan banyak menimba ilmu darinya.

Al-Jili juga berguru dan bertaslim kepada Syekh Syarifuddin Ismail Ibnu Al-Jabaruti merupakan Mursyid Thariqah Qadiriyah. Melalui pembimbing spiritualnya itu Al-Jili banyak belajar dan mendalami ta’lim (ajaran) Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi, seorang Sufi Agung dan pakar ilmu ketuhanan yang masyur di kalangan umat Islam.

Al-Jili telah telah menulis tiga puluh kitab dan berbagai risalah (makalah) dengan topik kajian membahas ilmu-ilmu hakikat. Di antara karya utama adalah kitab, Insan Kamil fi Ma’arifah Awa’il wa Awakhir, al-Khaf wa al-Raqim, al-Kamalaah al-Ilahiyyah fi Shifati Muhammadiyah,  Qashidah an Nadhirah al-Ainiyah, Qaba Qushain wa Multaqa Namusyain, al-Isfar an Risalatul al-Anwaar, Ghunya Arbabu as-Sama, Kasyfu Ghayah fi Syarh Tajaliyah dan lain sebagainya.

Abdul Karim berpandangan bahwa tasawuf mencakup rahasia-rahasia batin yang tidak mungkin ditakbirkan dengan kalimat-kalimat tegas dan lugas. Kalimat-kalimat tasawuf paradoks dan madluliyah (makna tersirat). Ujaran tasawuf pekat dengan simbol, metafora, isyarat dan rumus-rumus. Kalam para ahli sufi merupakan ekspresi pengalaman batin (insight) mereka dengan Allah, berikut wajah al-Uns (berjinak-jinak) mereka dengan-Nya.

Menurut Al-Jili sumber utama pengetahuan kaum sufi adalah dzauqi (rasa), kasyf (terbukanya hijab) atau ilham Ilahiyyah. Dengan pengetahuan itulah sesesorang bisa memakrifahi segala sesuatu secara hakiki. Jika firasat berjalan pada jalur kebenaran, dzauq sang salik akan mampu memakrifati inti (dzat) al-Haq.

Al-Jili menjelaskan dalam tasawuf, peran dan fungsi akal sangatlah terbatas. Logika tidak akan baik untuk dijadikan alat menggapai makrifat hakiki. Logika hanya bisa menjangkau pengetahuan kasat mata dan tidak akan keluar dari cerapan inderawi. Makrifat sejati hanya bisa digapai melalui jalan hati bukan jalan akal. Pengetahuan dzauqi hanya bisa diraih dengan suluk, khalwat dan bersubhah dengan murysid thariqah yang telah wushul kepada Allah. Dan dalam kitab Insan Kamil, Al-Jili mengatakan, “Manusia yang menuhankan akal, selamanya tidak akan memahami hakikat segala sesuatu.”

Syekh Abdul Karim Al-Jili dalam kitab Insan kamil juga menjelaskan:

على أنه قد ذهب أئمتنا إلى أن العقل من أسباب المعرفة، وهذا من طريق التوسع لاقامة الحجة، وهو مذهبنا. غير أني أقول: إن هذه المعرفة المستفادة بالعقل منحصرة مقيدة بالدلائل والأثار، بخلاف معرفة الإيمان فإنها مطلقة، فمعرفة الإيمان متعلقة بالاسماء والصفات، ومعرفة العقل متعلقة بالاثار، فهي ولو كانت معرفة لكنها ليست عندنا بالمعروفة المطلوبة لأهل الله تعالى.

“Sebagian para alim berpendapat bahwa akal merupakan jalan utama untuk menggapai makrifat. Pendapat demikian jika akal difungsikan untuk menelisik kebenaran argumen dan dalil (tekstual kontekstual). Kami setuju pendapat tersebut, namun perlu kami tegaskan di sini, bahwa yang lahir dari produk akal sangat terbatas, karena pada kisaran dalil-dalil dan atsaar (bukti empirik), pengetahuan produk akal bersifat parsial karena hanya berdasarkan persepsi inderawi. Berbeda dengan pengetahuan iman, makrifat dalam dimensi iman bersifat mutlak, cakupan menembus dimensi ruang dan waktu. Pengetahuan berbasis iman terkait dengan asma dan sifat-sifat Ilahiyyah, pengetahuan berbasis akal terkait dengan atsaar (bekas), meski akal menghasilkan pengetahuan, namun berbeda dengan pengetahuan yang lahir dari hati para arif billah. Ilmu produk akal bersifat lahir, sedangkan ilmu produk iman bersifat qalbiyah (hati). Ilmu produk akal hanya hanya bisa melihat satu wajah ketuhanan al-Haq, sedang ilmu produk iman dapat melihat seluruh wajah-wajah-Nya.”

Sumber: Kitab Al-Insan Al-Kamil fi Ma’arifat Awa’il wa Awakhir Juz II, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, Beirut hal 226

Editor: Khoirum Millatin