Mengenal Sang Hikmatul al-Isyraqi Syihabuddin Yahya Syuhrawardi Al-Maqtul

Kita dapat mengenal keadaan dan bentuk alam ini dengan cahaya. Tanpa cahaya maka alam menjadi gelap. Kita tak bisa hidup tanpa cahaya yang menerangi di sekitar kita. Demikian juga dengan akal tanpa cahaya petunjuk, maka akal menjadi gelap. Perumpaannya seperti seseorang mencari permata di gua yang sangat gelap. Walaupun dia pintar tanpa cahaya ia tetap meraba-raba mencari permata yang dicari. Begitu juga akal akan menjadi gelap dan kering tanpa cahaya. Cahaya dimaksud adalah cahaya Ilahi atau cahaya Iman yang terletak dalam hati yang menerangi akal pikiran.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
اَللّٰهُ نُوْرُ السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضِ ۗ مَثَلُ نُوْرِهٖ كَمِشْكٰوةٍ فِيْهَا مِصْبَا حٌ ۗ الْمِصْبَا حُ فِيْ زُجَا جَةٍ ۗ اَلزُّجَا جَةُ كَاَ نَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُّوْقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُّبٰـرَكَةٍ زَيْتُوْنَةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَّلَا غَرْبِيَّةٍ ۙ يَّـكَا دُ زَيْتُهَا يُضِيْٓءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَا رٌ ۗ نُوْرٌ عَلٰى نُوْرٍ ۗ يَهْدِى اللّٰهُ لِنُوْرِهٖ مَنْ يَّشَآءُ ۗ وَ يَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَ مْثَا لَ لِلنَّا سِ ۗ وَا للّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
"Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti sebuah lubang yang tidak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca, (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. An-Nur 24: Ayat 35)
Dia-lah cahaya yang membuat segalanya dapat dilihat, tetapi cahaya-Nya sendiri menjadi hijab terhadap Cahaya-Nya. Yang tidak mempunyai batas tampaknya tidak memiliki bentuk, sehingga menjadi tidak terlihat. Tetapi Dia nyata dalam segala sesuatu; Segala yang kita lihat, segala yang kita dengar, segala yang kita sentuh, segala yang kita rasa, segala yang kita pikirkan, segala sesuatu yang berada di luar dan di dalam diri kita adalah bukan Dia, namun berasal Dari-Nya segala sesuatu bukti keberadaan-Nya.
Inilah suatu argumen seorang tokoh filsuf teosofia sang Hikmatul al-Isyraqi (Ilmunisasi) Syekh Syihabuddin Yahya Syuhrawardi Al-Maqtul yang hidup pada abad 12 M. Dia dibesarkan di Suhraward, suatu daerah dekat Zanjan di Iran Barat Laut. Syuhrawardi mengembara ke Anatolia dan Suriah, beliau menjadi sahabat dekat Al-Malik Az-Zahir Putra Salahuddin Al-Ayyubi.
Pemikiran filsuf Ilmunisasi (al-Isyraq) Syuhrawardi mendapatkan perlawanan keras dari ulama-ulama fuqaha di Suriah dan Mesir, sehingga atas fitnah dari ulama-ulama fuqaha kepada Sultan Salahuddin Al-Ayyubi akhirnya Syuhrawardi di penjara di Aleppo sampai beliau meninggal di penjara pada tahun 1191 dalam usia sekitar 38 tahun. Karena peristiwa inilah Dia kemudian dikenal Syuhrawardi Al-Maqtul (Syuhrawardi yang terhukum mati).
Isyraq berarti pencahayaan, dan masyriq berarti timur. Kesatuan antara cahaya dan timur dalam Hikmatul al-Isyraqi yang digagas oleh Syuhrawardi berkaitan dengan simbolisme matahari yang terbit dari timur dan mencahayai segala sesuatu. Dengan realitas mencahayai atau menerangi segala sesuatu, cahaya di indentifikasi sebagai genosis dan Ilmunisasi. Ia memamcar karena berada di timur, dan ia berada di timur karena ia memancar.
Isyraq adalah pengetahuan melalui pertolongan di mana manusia dapat menyesuaikan dirinya di dunia wujud alam semesta, tidak masalah di manapun ia hidup secara geografis, dan akhirnya menyadari bahwa timur adalah tempat kediaman azali, sementara bayangan, kegelapan, dan kesuraman hidup manusia terdapat di barat.
Hikmatul Isyraq warisan tasawuf falsafi Syuhrawardi berdasarkan dalil Surah Al-Nur ayat 35, mengungkap penciptaan melalui emanasi dari sumber utama Cahaya, yakni Allah. Bahwa cahaya tertinggi ini menyinari segala sesuatu dan dipantulkan oleh segala sesuatu melalui matahari, api pada segala unsur, dan dalam jiwa manusia.
As-Syuhrawardi patut dianggap sebagai the right man in the right time, sebab disamping keberanian dan kecermelangan fakultas rasio dan intuisi yang dimilikinya, konsep Hikmatul Isyraqiyah lahir di tengah-tengah lingkungan keilmuwan yang kondusif. Dari segi pemikiran, ketika filsafat Islam mencapai tahap kematangan di tangan Ibnu Rusyd; tasawuf ditangan Syekhul al-Akbar Ibnu Arabi (1165-1240); Ilmu kalam di tangan al-jilli (w 1355); dan ushul fikih di tangan asy-Syatibi (w 1388). Syuhrawardi muncul setelah matangnya pemilahan metode antara penalaran diskursif dan intuisi dzauqi. Metode pertama digunakan oleh para Mutakallim dan Filsuf, sedangkan yang kedua dimiliki oleh para Sufi.
Kehadiran Syuhrawardi seolah-olah mengobati kejenuhan para filsuf Muslim terhadap metode Peripatetik. Melalui konsep filsafatnya yang menggabungkan hikmah al-bahsiyyah dan hikmah Ad-Dzauqiyyah, maka Syuhrawardi telah melahirkan hikmah Isyraqiyah, sebuah konsep baru yang mengobarkan kegairahan baru dengan memadukan intuitif sufistik dan penalaran filosofis.
Hikmatul al-Isyraq menuntun kita untuk mencapai kebenaran yang beremanasi dari pencahayaan Ilahi, dengan mengakui bahwa secara esensial kita diciptakan sebagai makhluk yang dianugerahi akal dan hati, burhani (rasio) dan irfan (spiritual), untuk mencapai kodrat Insaniyah dan Ilahiyyah dalam diri kita. Bahwa diri kita adalah cahaya atau cerminan dari Cahaya-Nya, akhirnya tidak perlu diragukan lagi. Dengan "diri yang bercahaya" ini, barulah kita dapat memeluk kesejatian insani yang sesungguhnya, menjadi fiqur pencerah bagi dunia, dan memancarkan pesona yang tak akan habis-habisnya memberi kedamaian di muka bumi.
Puncak dari filsafat Isyraq ini adalah keterangan dan kejernihan. Karenanya, tidak ada yang lebih penting selain Cahaya dan tidak ada yang lebih membutuhkan definisi selain cahaya. Tetapi, cahaya tidaklah bersifat materil dan tidak bisa didefenisikan, sebab ia adalah realitas yang meliputi segala sesuatu, dan menembus ke dalam struktur setiap entitas, baik fisik maupun non fisik, sebagai sesuatu yang esensial dari entitas tersebut.
Penulis: Budi Handoyo SH., MH (Dosen STAIN Teungku Dirundeng-Meulaboh)