Mengenal KH. Zamrodji Kencong, Mursyid Thariqah Qadiriyah wa Naqsabandiyah

Kiai Zamrodji adalah putra dari pasangan Kiai Syairozi bin Kiai Syakur dengan Nyai Asiyatun binti Kiai Sirojuddin. Ia bersama saudaranya antara lain Kiai Sholhah, KH. Ahmadi dan KH. Abdul Hadi merupakan perintis Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Kencong, Kediri pada tahun 1951.
Pada masa remaja, Kiai menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu dan berguru kepada beberapa ulama, di antaranya KH. Dimyathi bin KH. Abdulloh bin KH. Abdul Manan yang merupakan pengasuh Pondok Pesantren Tremas Pacitan, dimana pesantren tersebut berhasil mencetak ulama-ulama besar dan tokoh-tokoh nasional seperti mantan Menteri Agama Dr. KH. Mu’thi Ali, MA, KH. Ali Ma’shum, Pengasuh Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak Bantul Yogjakarta, waliyullah KH. Abdul Hamid Pasuruan, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lulusan pesantren Tremas yang lain.
Di pondok tersebut, Kiai kerap melakukan riyadlah secara rutin berupa melakukan ziarah ke makam perintis dan pendiri Pondok Pesantren Tremas, KH. Abdul Manan dan juga para masyayikh lainnya selama 41 Jum’at dengan berjalan kaki melalui jalan setapak di lereng bukit yang jaraknya sekitar 10 Km dari pesantren. Bahkan menurut kepercayaan para santri, barangsiapa yang mampu istiqamah untuk berziarah ke makam masyayikh Tremas selama 41 Jum’at tanpa putus, maka ia akan menjadi kiai besar. Dan rupanya itu menjadi salah satu keberkahan dari masyayikh yang mengantarkan Kiai Zamrodji menjadi ulama besar pada masa berikutnya.
Di pondok Tremas pula Kiai bertemu dan berkawan dengan Kiai Hamid Pasuruan. Meskipun demikian, Kiai Zamrodji tidak sungkan untuk berguru kepada Kiai Hamid untuk memperdalam ilmu Bahasa dan Sastra Arab lewat kajian kitab Uqudul Juman. Sayangnya, belum tuntas Kiai belajar, Kiai Hamid malah hendak boyong. Akhirnya Kiai selalu berusaha mengejar dan mengikuti Kiai Hamid kemanapun gurunya itu pergi.
Setelah belajar di Tremas, Kiai melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, hingga Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso Jombang. Dari Pondok Rejoso inilah Kiai berguru Ilmu Thariqah serta berbai’at kepada KH. Romli Tamim, Mursyid Thariqah Qadiriyah wa Naqsabandiyah.
Tidak lama berselang dari kedatangannya di Pondok Rejoso, Kiai diberi tugas dan amanah oleh Pengasuh KH. Romli Tamim untuk memperkenalkan Thariqah Qadiriyah wa Naqsabandiyah kepada penduduk Kencong dan mencari jamaah untuk dibaiat langsung oleh KH. Romli Tamim.
Setelah mendapatkan dawuh dari gurunya, Kiai kembali ke Kencong bersama seorang temannya yang bernama Khoiri. Selanjutnya Kiai mendatangi Kiai Mahalli ke Dusun Nongkorejo untuk membantunya mengumpulkan jamaah yang akan dibaiat thariqah sebagaimana amanah KH. Romli Tamim.
Atas bantuan Kiai Mahalli, terkumpullah sebanyak 17 orang dari Dusun Nongkorejo sendiri dan juga dari Desa Pleringan yang siap dibaiat. Informasi tersebut kemudian disampaikan oleh Kiai kepada KH. Romli Tamim. Dan untuk pertama kalinya, pada Hari Rabu Legi, bertepatan dengan Bulan Dzulhijjah tahun 1952 KH. Romli Tamim membaiat jamaah di daerah Kencong yang dilanjutkan dengan kegiatan khususiyah pada hari Sabtu Wage berikutnya dan berjalan hingga saat ini.
Pada pasca pesta demokrasi tahun 1977 terjadilah gejolak dalam lingkungan warga dan tokoh-tokoh thariqah karena masuknya KH. Mustain Romli ke Partai Golongan Karya. Karena dipicu oleh sentimen kepartaian saat itu, maka banyak warga dan tokoh thariqah yang mufaroqoh dari Rejoso, antara lain Kiai Zamrodji sendiri, KH. Adlan Ali Cukir Diwek Jombang dan masih banyak lagi.
Akhirnya Kiai Adlan sowan dan berbai’at mursyid kepada KH. Muslih Abdurrohman Mranggen, salah satu Mursyid Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabndiyyah yang mengembangkan thariqah di wilayah Jawa Tengah. Sekembalinya Kiai Adlan dari Mranggen, masyarakat yang akan masuk thariqah sowan dan berbai’at kepadanya. Pada saat Kiai Mahalli sowan kepada Kiai Adlan, ia menyampaikan pesan dari Kiai Zamrodji agar gelar mursyid supaya mengikuti KH. Adlan Ali saja. Namun rupanya pesan tersebut ditolak secara tegas oleh Kiai Adlan. Bahkan, Kiai Adlan meminta Kiai Mahalli untuk menyampaikan pesan balik untuk Kiai Zamrodji agar dirinya juga menjadi mursyid.
Tidak lama berselang dari gejolak warga thariqah tersebut, KH. Makhrus Ali Lirboyo mengumpulkan para Kiai se-Kediri untuk membahas keberadaan Guru Mursyid thariqah di daerah Kediri. KH. Makhrus dalam pertemuan tersebut bertanya kepada para kiai yang hadir,
”Sinten sing sampean pilih dadi Guru Mursyid? (Siapa yang anda pilih menjadi Guru Mursyid?)”
Para kiai mengharap kepada Kiai Makhrus untuk menjadi Guru Mursyid, tetapi Kiai Makhrus menolak karena ia sudah memiliki pilihannya sendiri
”Ben Kiai Zamrodji wae sing dadi Guru Mursyid (Biar Kiai Zamrodji saja yang menjadi Guru Mursyid).” kata KH. Makhrus Ali.
Para kiai yang hadir menyatakan setuju atas pilihan tersebut. Karena dorongan dari pertemuan itu, Kiai Zamrodji kemudian berangkat ke Mranggen untuk mengambil bai’at Guru Mursyid kepada KH. Muslih dengan diantar oleh KH. Jupri Karangkates Kediri dan Bapak Syafi’i Sulaiman Bangsongan Kediri.
Setelah mengambil bai’at kepada KH. Muslih, Selanjutnya Kiai Zamrodji mengadakan bai’atan di Kencong pada setiap Sabtu Wage dan murid thariqah yang mengambil bai’at darinya sampai saat ini tersebar di berbagai daerah di Jawa Timur dan juga di daerah-daerah lain, khususnya para alumni Pondok Pesantren Raudlatul Ulum.
Pembai’atan murid yang diadakan setiap hari Sabtu Wage sempat ditiadakan sekali, karena kondisi kesehatan Kiai yang mulai melemah pada bulan-bulan terakhir menjelang kepergiannya. Pada Hari Sabtu Wage tanggal 11 September 1999, adalah hari yang menjadi saksi terhadap perjuangan Kiai Zamrodji dalam dunia thariqah. Sebab pada hari itulah kesempatan terakhirnya mengikuti kegiatan Sabtu Wage-an. Namun pada hari itu Kiai masih memberikan pengajian kepada para murid thariqah dan mengadakan bai’atan yang terakhir sebelum akhirnya kembali ke Hadlirat Allah Ta’ala dan meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Namun karena kondisi yang tidak memungkinkan, bai’atan dilakukan oleh Kiai Muhammad Nuril Anwar, putranya yang sudah dibai’at sebagai Guru Mursyid pada malam Kamis Pahing tahun 1413 H. yang disaksikan oleh KH. Rofi’i Hasan yang kala itu sedang menjabat sebagai Ketua Pengurus Koordinator Pusat.
KH. Zamrodji wafat pada hari Selasa Pahing, tanggal 8 Rajab tahun 1420 H, bertepatan dengan tanggal 19 Oktober 1999 M. Kiai dikaruniai lima orang putra yang semuanya laki-laki dengan meninggalkan lembaga pendidikan Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Kencong. Selain menjadi lembaga pendidikan agama, Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Kencong juga menjadi salah satu pusat kegiatan pengamal Thariqah Qadiriyah wa Naqsabandiyah.