Mengenal KH. Muhammad Amnan, Mursyid Thariqah Naqsabandiyah Khalidiyah Talok Ngawi

Sanad Keilmuan KH. Muhammad Amnan
KH. Muhammad Amnan lahir di Trenggalek dan dibesarkan dari kalangan keluarga yang agamis. Sejak kecil ia diasuh dan dididik agama langsung oleh kakeknya yang merupakan seorang ulama. Di usianya yang baru tujuh tahun, Kiai Amnan diajak ibunya pindah ke Pacitan dan di sana ia belajar di Pondok Pesantren Termas asuhan KH. Dinyati.
Sekitar usia empat belas tahun, Kiai Amnan kembali ke Trenggalek bersama ibunya dan melanjutkan belajar di sana dan di beberapa kiai. Pada usia tujuh belas tahun Kiai Amnan mulai menimba ilmu di Pondok Pesantren KH. Khasan Minhaj Kebonsari Trenggalek. Dari KH. Khasan Minhaj inilah ia belajar beberapa ilmu pengetahuan seperti ilmu kanuragan, ilmu syariat dan thariqah, termasuk Thariqah Naqsabandiyah Khalidiyah yang kemudian ia ajarkan di Ngawi dan sekitarnya.
Selain memperdalam ilmu agama, di pondok tersebut Kiai Amnan juga diberi pemahanan terkait jalur nasab keluarga ayahnya yang masih terlahir dari keturanan seorang kiai masyhur sehingga banyak keturunanya yang menjadi kiai besar di Indonesia. Kiai Amnan menjadi santri KH. Khasan Minhaj selama kurang lebih tujuh tahun hingga usia beliau sekitar dua puluh empat tahun. Selama itu ia terus menimba ilmu dan ngasor kepada KH. Khasan Minhaj hingga ia dibaiat menjadi seorang mursyid.
Tidak hanya di dua pesantren tersebut, Kiai Amnan juga belajar dibeberapa guru yang membekalinya berbagai ilmu pengetahuan seperti kepada Kiai Imam Mustofa Kertosono Nganjuk (w. 1938 M) di Pondok Pesantren Tegal Arum, juga menjadi santri khilatan atau nyantri secara tabarukan kepada banyak ulama seperti Syeikh Kholil di Bangkalan Madura, Syekh Mudowali Labuan Haji Aceh, KH. Imam Mustofa Kertosono Nganjuk, KH. Muhammad Amman dan lain-lain. Selain itu Kiai Amnan tidak hanya belajar kepada kiai-kiai lokal atau nusantara, tetapi juga pernah nyantri di Arab Saudi tepatnya di Jabal Qubais, Mekkah. Di sana ia belajar thariqah kepada para ulama Thariqah Naqsyabandiyah Khalidiyah di antaranya Syekh Muhammad Asrif Bin Abdurahman al khalidy, Syekh Abdullah Syatari al khalidy, dan Syekh Muhammad Ali Ridha al khalidy.
Dari para gurunya ini, Kiai Amnan memiliki dua jalur sanad keilmuan dalam ilmu thariqah, yaitu secara jalur Jawa atau Nusantara dan Jalur Arab. Dari jalur Jawa, Kiai Amnan dibaiat oleh guru mursyidnya yaitu KH. Khasan Minhaj Trenggalek pada tahun 1908 M. Kemudian atas perintah mursyidnya itu, Kiai Amnan pergi ke Jabal Qubais Mekah berguru pada Syekh Ali Ridho dan diangkat sebagai mursyid pada tahun 1345H/1923 M.
Perkembangan Thariqah Naqsabandiyah Khalidiyah di Ngawi
Kedatangan Kiai Amnan ke Talok bukan tanpa sebab yang jelas atau hanya sekedar perintah dari gurunya untuk melakukan perjalanan atau rihlah thariqah. Tetapi kedatangan Kiai Aman ke Talok atas dasar ajakan ibunya yang bercerita bahwa ayahnya memiliki sedikit tanah di ngawi. Tanah tersebut ialah tanah hibah dari seorang pemuka desa yang diberikan sebagai hadiah kepada ayahnya yang bernama Kiai Ibrahim. Pada tahun 1898 M, Kiai Amnan bersama ibunya Nyai Masinah pergi ke Ngawi untuk mencari keberadaan tanah warisan ayahnya tersebut.
Sesampainya di Ngawi, tanah peninggalan ayahnya ini hanya berupa tanah sepetak dengan bangunan mushala atau langgar kecil yang tidak terawat. Nyai Masinah menjelaskan asal muasal tanah tersebut kepada Kiai Amnan karena dirasa sudah waktunya untuk Kiai Amnan mengetahui warisan ayahnya ini. Setelah menemukan tanah itu, Kiai Amnan bersama ibunya kembali ke Trenggalek. Sesampainya di Trenggalek, Kiai Amnan berpikir dan berencana untuk menempati tanah warisan orang tuanya tersebut. Bersamaan dengan itu ia juga mendapat perintah gurunya KH. Khasan Minhaj untuk melakukan rihlah atau perjalanan sufi untuk menyempurnakan kemursyidannya.
Sebelum melakukan perjalanan tersebut, Kiai Amnan menikah dengan Ning Siti Muti’ah putri dari KH. Imam Mustofa Kertosono, Nganjuk pada tahun 1908 M. Pada tahun 1911 M, ia memboyong Nyai Muti’ah bersama ibunya Nyai Masinah untuk tinggal dan menetap di Ngawi di tanah peninggalan ayahnya.
Sebelum memulai kehidupan barunya di Ngawi, hal pertama kali yang dilakukan oleh Kiai Amnan ketika sampai di Ngawi adalah melantukan doa untuk mendapat keberkahan di wilayah ini. Doa yang dilantukan oleh Kiai Amnan kurang lebih berbunyi seperti ini,
“Bumiku Talok Arum adheg-adheg langit pitu dadi oncatku, sewu sumur dadi wudhuku, wit-witan dadi pengayomku, Laillahaillallah Muhammada Rasulullah, dan seterusnya.”
Menjalani awal hidup rumah tangga yang baru dan di daerah baru, Kiai Amnan dan istri tidak serta merta mendapat penerimaan oleh masyarakat sekitar. Terlebih lagi masyarakat sekitar yang memiliki kepercayaan kejawen yang sangat kental, sangat sulit memberikan pemahaman baru bagi mereka. Akan tetapi berkat kesabaran dan ketabahan Kiai Amnan beserta keluarganya, akhirnya mereka dapat diterima di sana.
Meski secara personal masyarakat sekitar mau menerimanya, tetapi masyarakat masih menolak ajaran Islam yang dibawa Kiai Amnan. Namun ia tidak kehabisan cara untuk memasukan pemahaman dan ajaran islam kepada masyarakat. Mulai dari melakukan pendekatan secara personal, pendekatan secara kultural, melalui tradisi-tradisi yang telah ada di masyarakat seperti tradisi penyambutan musim panen dan lain-lain.
Untuk menyebarkan Islam, Kiai Amnan berpenampilan tidak seperti seorang kiai pada umumnya. Kiai Amnan terkadang berpenampilan seperti warga biasa yang berkumpul di warung-warung kopi. Demikianlah, usaha Kiai Amnan menyelami kehidupan masyarakat demi tujuan mengubah kebiasaan buruk masyarakat meskipun sulit mengubah cara berpikir masyarakat yang jauh dari kata baik.
Lambat laun, Kiai Amnan tetap mampu mengedukasi masyarakat dengan mengajari mereka doa-doa keseharian yang bisa membuat mereka sedikit berubah. Meskipun tidak mampu mengubah pola hidup masyarakat tetapi mampu mengubah pola pikir masyarakat dengan terlihatnya toleransi antar masyarakat yang sangat tinggi. Meskipun tidak mau menerima ajaran Islam dengan baik, masyarakat tetap mau menerima dan menghormati Kiai Amnan sebagai seorang kiai dan memiliki kedudukan yang perlu di hormati keberadaanya.
KH. Muhammad Amnan wafat pada tahun 1948 M di Pesulukan Talok. Sebelum wafat, ia mengangkat putranya, KH Askirom Amnan untuk menjadi penerusnya, kemudian dilanjutkan oleh Agus Mustajib Ahmad hingga saat ini.