Mengenal KH. Muhammad Shiddiq Kudus, Mursyid TQN Jalur KH. Romli Tamim Jombang

September 20, 2023
Mengenal KH. Muhammad Shiddiq Kudus, Mursyid TQN Jalur KH. Romli Tamim Jombang

KH. Muhammad Shiddiq adalah ulama yang lahir di Desa Piji Dawe, Kudus pada tahun 1918 dari pasangan Kiai Muhammad Juraimi Abdullah dan Nyai Qomari.

Kiai Shiddiq menjalani masa kecilnya dengan mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Tasywiqutthullab di bawah asuhan Kiai Ahmad, yang saat ini menjadi Tasywiqutthullab Salafiyyah (TBS) Kudus. Ketika di pondok, kemampuannya melebihi rata-rata santri TBS kala itu sehingga saat menginjak kelas lima, tiba-tiba Kiai Ahmad memintanya untuk menyudahi mondok dan melanjutkannya di Pesantren Tebu Ireng, Jombang karena Kiai bermimpi bahwa air kullah pondok TBS telah habis diminum oleh Kiai Shiddiq.

Di Pesantren Tebu Ireng, Kiai Shiddiq menuntaskan pendidikannya yang ketika itu diasuh oleh Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari. Selama di Jombang, ia banyak berguru kepada ulama-ulama hebat di sana. Sampai akhirnya ia bertemu KH. Romli Tamim dan melakukan baiat littarbiyah Thariqah Qadiriyah wa Naqsabandiyah hingga sempurna baiat tujuh lathifah dan mendapat khirqah bil lisan sebagai bentuk pengangkatannya sebagai mursyid.

Sepulang dari Jombang, Kiai Shiddiq dinikahkan oleh seorang perempuan bernama Nyai Asmi’ah binti Kiai Ahmad Qomari. Kemudian keduanya membangun rumah tangga dengan amat sederhana di Desa Piji yang menjadi cikal bakal Pondok Pesantren Mambaul Falah.

Karena merasa dakwahnya belum berjalan maksimal, terlebih kepada masyarakat lereng Gunung Muria yang umumnya masih abangan, Kiai Shiddiq berpikir untuk mencalonkan diri sebagai Lurah. Utamanya agar bimbingan agama yang ia lakukan dapat berjalan dengan massif. Sehingga pada tahun 1950, Kiai Shiddiq terpilih menjadi lurah dan berjalan sampai 25 tahun lamanya. Sebelum akhirnya menjadi anggota DPRD selama tiga periode. Niat awal Kiai menjadi lurah ini diceritakan oleh puteranya, KH. Afandi Shiddiq, bahwa Kiai Shiddiq mengatakan, “Aku lurah ora luru dunya, aku arep ngislamna desa” (Aku lurah, bukan mencari dunia, aku hendak mengislamkan desa).

Untuk menambah keberkahan, Kiai Shiddiq juga mengaji tarekat kepada KH. Mushlih bin Abdurrahman Mranggen. Saat Kiai Mushlih mengetahui kemampuan Kiai Shiddiq, ia memintanya untuk membaca Kitab Tanwirul Qulub. Setelah itu, Kiai Mushlih langsung memberikan Khirqah dan Ijazah Mursyid. Dengan demikian, Kiai Shiddiq mendapat khirqah mursyid dua kali, yaitu dari KH. Romli Tamim Jombang dan KH. Mushlih Mranggen. Ini berarti Kiai Shiddiq mengumpulkan sanad TQN dari jalur KH. Romli Tamim dan gurunya KH. Ahmad Hasbullah al-Maduri serta dari jalur KH. Mushlih dan gurunya, As-Syekh Ilmuddin Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani.

Kiai Shiddiq adalah seorang ulama yang produktif. Semasa hidupnya, ia banyak membuat karya berupa kitab di antaranya Nail al-Amani fi Dzikr Manaqib al-Quthb al-Rabbaniy Sayyidina al-Syaikh Abd al-Qadir al-Jilani, Risalat al-Iqyan fi Dzikr Silsilat Ahl al-Irfan wa Bayan Mabna A’mal Tharayiq Ahl al-Iyan, Fi Bayan Dzikr Ba’dl al-Ta’rifat, Al-Risalat al-Haqqah fi Bayan anna Kalimat Laa Ilaaha Illa Allah lil Fida wa al-‘Ataqah, Risalat Kasyf al-Mudlmarat fi Dzikr Bayan ma Yanfa’ lil Amwat, dan lain-lain

Karamah KH. Muhammad Shiddiq

Kesaksian mengenai karamah Kiai Shiddiq banyak diungkapkan oleh putera dan puteri serta santri-santrinya. Sebagaimana yang diceritakan oleh salah satu santri yang rumahnya berjauhan dengan pondok. Kebetulan pada saat itu adalah Hari Jumat, dan ia terbiasa melaksanakan shalat jumat dengan motor karena jarak yang masjid yang agak jauh. Namun rupanya motornya pada saat itu sedang digunakan anaknya dan tak kunjung pulang sehingga ia tidak bisa berangkat jumatan.

Karena merasa tidak ada yang bisa dikerjakan, ia malah pergi ke sawah yang tidak jauh dari rumahnya dan malah menanam kacang. Tiba-tiba ia mendengar suara teriakan keras Kiai Shiddiq, “Fulan (Nama santri yang dimaksud), mulih o.(Fulan, pulanglah)”. Teriakan ini sangat mengagetkannya. Namun karena merasa tidak ada orang, ia melanjutkan pekerjaannya. Mendadak ia mendengar lagi teriakan Kiai Shiddiq sampai tiga kali.

Mendengar tidak ada sosok Kiai Shiddiq, ia kemudian pulang ke rumahnya. Ketika di rumah, ia mencari Kiai Shiddiq yang juga tidak ia temukan. Akhirnya, ia segera pergi kerumah sang kiai dan belum sampai ia mengutarakan maksud kedatangannya, Kiai Shiddiq lebih dulu menegur, “Yen terpaksa ora Jumatan, dhe’ omah wae, wiridan opo moco Quran. ojo nandur kacang. Diingeti wong elek, opo maneh diingeti Allah (Kalau tidak Jumatan itu di rumah saja, baca wirid atau baca al-Quran. Jangan menanam kacang. Dilihat orang jelek apalagi dilihat Allah)”.

Kejadian lain diceritakan oleh H. Fadlan, ketika pelaksanaan khushushiyah dipimpin oleh putera Kiai Shiddiq, ia lebih memilih menemani Kiai Shiddiq dan memijat kaki sang kiai. Di tengah asyik memijat, tiba-tiba dinding kamar Kiai Shiddiq berubah menjadi sebuah layar LCD yang menyiarkan secara langsung kegiatan khushushiyah di pondok. Dengan jelas ia dapat melihat satu-persatu wajah yang nampak di ‘layar ghaib’ tersebut. Kemudian ia melihat wajah seorang ibu yang tampak pucat sekali.

Selepas acara khushushiyah, H. Fadlan mencari sosok ibu yang dilihatnya dari kamar Kiai Shiddiq. Setelah ditemukan, ternyata wajahnya biasa-biasa saja dan tidak pucat sama sekali. Namun tidak diduga, tiga hari setelah kejadian itu, ibu tersebut meninggal dunia. H. Fadlan terperangah dan memahami apa maksud dari yang dilihatnya beberapa hari lalu di kamar Kiai Shiddiq.

Dan masih banyak lagi karamah Kiai Shiddiq yang tidak bisa diceritakan di sini.

Menjelang Wafat Sang Mursyid Kamil Mukammil

Beberapa bulan sebelum wafatnya, Kiai Shiddiq sering memanggil menantunya, Hj. Nyai Mudrikah (istri KH. Afandi Shiddiq) untuk ditanyai perihal orang yang menurutnya ada di sampingnya (dalam kamar). “Takoni, karepe opo? (tanyai dia, maunya apa?)” Padahal dalam penglihatan Bu Nyai, tidak ada siapapun di sana. Namun untuk menjawab pertanyaan Kiai Shiddiq, Nyai menyampaikan bahwa ada orang yang ingin didoakan. Dan anehnya, setelah Kiai Shiddiq berdoa, menurutnya orang yang ada di sampingnya sudah tidak ada. Dan hal ini dialami oleh Nyai selama berulang kali.

Malam menjelang wafat, setelah pulang dari RSUD Kudus, Kiai Shiddiq ditunggui oleh Bapak Sulhan (Khadim kiai semenjak menjadi lurah) di dalam kamar. Menurut Pak Sulhan, ia mendengar suara salam yang cukup keras dari arah atas. Tetapi setelah ia melihat ke atas, ia tak meihat apapun. Begitupula selama koma dan dirawat di RSUD Kudus, lisan Kiai Shiddiq tidak pernah berhenti melafalkan kalimat ‘Allah’ hingga ia sadar dan beberapa saat sebelum wafat, ia tetap melafalkan ‘Allah… Allah… Allah’

Tepat pada Hari Sabtu, 14 Agustus 2010, Kiai Shiddiq berpulang ke rahmatullah dalam usia 92 tahun.

Semoga Allah Swt. senantiasa mengampuni dosanya dan menempatkannya di tempat terbaik di sisi Allah Swt. Amin.

Sumber: Berdasarkan tulisan Dr. KH. Akhmad Sodik, MA yang berjudul “Mursyid TQN Kontemporer KH. Muhammad Shiddiq Al Shalihi Kudus”
Editor: Khoirum Millatin