Mencintai Orang Shalih

September 18, 2023
Mencintai Orang Shalih

Sebagian orang selalu memandang orang lain dengan melihat aspek zahir, sedangkan sebagian lainnya lebih memperhatikan aspek batin. Padahal keduanya tidak dapat dipisahkan. Karena baiknya zahir dan batin menjadi syarat utama seorang shalihin.

Kaum shalihin senantiasa selaras antara hati, ucapan dan perbuatannya. Semua aspek kehidupannya tidak ada yang melenceng dari petunjuk Allah Swt dan Rasul-Nya. Sebagaimana firman Allah Swt. pada Surat As-Shaf ayat 3 dan 4:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَ﴿ ٣﴾ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”

Selain itu, dalam hal ini Habib Luthfi bin Yahya berpesan:

“Ayah Imam al-Ghazali bukanlah seorang ulama. Namun, beliau hormat, mencintai dan mau mendengarkan nasihat ulama. Meskipun penghasilannya tidak seberapa beliau menyisihkan untuk membeli manisan yang dihadiahkan kepada ulama, seraya memohon kepada Allah agar dianugerahi anak shalih seperti ulama yang dia kagumi.”

Dari semua usaha yang dilakukan oleh ayahnya, maka lahirlah sosok ‘Alim Zahid, Wira’i yang terkenal di dunia Islam, yaitu Al-Imam Al ‘Allamah Hujjatul Islam Abi Hamid Muhammad ibn Muhammad Al- Ghazali Shahibul Kitab Ihya’ Ulumiddin.

Diriwayatkan oleh Imam Ad Dailami dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw. Nabi Muhammad Saw. bersabda.,

عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ :  قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :  اَدِّبُوْا اَوْلَادَكُمْ عَلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ : حُبِّ نَبِيِّكُمْ وَحُبِّ اَهْلِ بَيْتِهِ وَ قِرَأَةُ الْقُرْأَنِ فَإِنَّ حَمْلَةَ الْقُرْأَنُ فِيْ ظِلِّ اللهِ يَوْمَ لَا ظِلٌّ ظِلَّهُ مَعَ اَنْبِيَائِهِ وَاَصْفِيَائِهِ (رَوَاهُ الدَّيْلَمِ 

Dari Ali Ra ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Didiklah anak-anak kalian dengan tiga macam perkara yaitu mencintai Nabi kalian dan keluarganya serta membaca Al-Qur’an, karena sesungguhnya orang yang menjunjung tinggi Al-Qur’an akan berada di bawah lindungan Allah, di waktu tidak ada lindungan selain lindungan-Nya bersama para Nabi dan kekasihnya.” (H.R Ad-Dailami)

Meskipun berat menjadi orang yang shalih, namun dengan mencintai Nabi Muhammad Saw., mencintai Ahlul Bait (keluarga Nabi yang Shalih dan Shalihah) serta mencintai Al-Qur’an yang dijadikan pedoman hidup, Insya Allah usaha tersebut akan tercapai.

Imam Syafii berkata,

أُحِبُّ الصَّـالِحِينَ وَلَسْتُ مِنْـهُمْ        

لَعَلِّي أَنْ أَنَـالَ بِـهِـمْ شَـفَاعَــــهْ

وَأَكْرَهُ مَنْ بِضَـاعَتُـهُ الْمَعَـاصِي        

وَإِنْ كُـنَّـا سَـوَاءً فِي الْبِـضَـاعَـــهْ

وَأَكْرَهُ مَنْ يُضِـيعُ الْعُمْرَ لَـهْـواً        

وَلَوْ كُـنْـتُ امْرَءاً جَـمَّ الإِضَـاعَـــهْ

Aku mencintai orang-orang sholeh meskipun aku bukan termasuk di antara mereka.

Semoga bersama mereka aku bisa mendapatkan syafa’at kelak.

Aku membenci para pelaku maksiat,

Meskipun aku tak berbeda dengan mereka.

Aku membenci orang yang membuang-buang usianya dalam kesia-siaan

Walaupun aku sendiri adalah orang yang banyak menyia-nyiakan usia.

Kita sangat yakin bahwa pernyataan yang diabadikan pada dinding maqbarah Imam Syafii di Mesir ini sebagai bentuk ketawadhu-annya. Tidak ada satupun yang menampik bahwa ia adalah ulama yang shalih. Namun hal ini menjadi pelajaran penting bagi kita. Keshalihan bukan untuk disombongkan melainkan untuk diperjuangkan.

Betapa agungnya mencintai orang-orang yang shalih. Meskipun kita tidak termasuk kelompok mereka. Dengan mencintai mereka, kita berharap mendapat pertolongan Allah Swt.

Sama halnya ketika kita tidak menyukai perilaku orang yang maksiat. Padahal kita sadar bahwa kita masih termasuk kalangan orang yang bermaksiat. Namun dengannya, semoga Allah Swt. menghindarkan kita dari perilaku tersebut dan tidak dikelompokkan bersama mereka, melainkan bersama orang-orang yang shalih.

Tulisan di atas berdasarkan penjelasan KH. Mahfud Hidayat (LBM KOTA Bogor)

Penulis: Abdul Mun’im Hasan

Editor: Khoirum Millatin