Memahami Wahdat al-Syuhud dalam Konsep Tasawuf

September 20, 2023 - 17:01
 0
Memahami Wahdat al-Syuhud dalam Konsep Tasawuf

Pengertian Wahdat al-Syuhud

Al-Wahdat al- Syuhud yang secara etimulogi berarti kesendirian, keadaan bersendiri, kesatuan, keesaan. Syuhud jamak dari syahada yang berarti saksi. Pelakunya Al-Musyaahad yang berarti penonton, penyaksi. Dalam pengertianya, Al-Wahdah al-yuhud atau dikenal juga tauhid Syuhud menurut Ansari adalah “melihat Zat Tunggal; dalam persepsi seorang sufi tidak ada sesuatu kecuali Zat Tunggal

Tauhid syuhud dalam perspektif Syekh Sirhindi adalah melihat Dzat Tunggal, artinya bahwa dalam persepsi seorang salik tidak ada yang dilihat selain Dzat Tunggal. Istilah “Mempersepsi bukan berarti menganggap yang lain tidak ada. Karena itu jika dalam konsep ini disebut “Penyatuan dengan Tuhan”, maka hal itu tetap dalam konteks dualitas, dan itu berarti Tuhan sepenuhnya berbeda dengan dengan dunia atau makhluk-Nya (termasuk manusia). Dunia bukanlah sesuatu yang satu dengan tuhan dan bukan dzat tersendiri, melainkan sesuatu yang lain. Dengan demikian, Wahdat al-Syuhud berarti merasakan bersatunya diri (salik) dengan dzat Tunggal (Tuhan), dalam arti bahwa pengalaman yang dirasakan oleh seorang salik pada tahap penyatuan itu hanyalah sekedar persepsi subjek (Syuhud).

Literatur sementara mengakui bahwa Wahdah al-Syuhud adalah aliran dalam tasawuf sebagaimana Ittihad, Hulul, Wahdah al-Adyan, Wahdah al-Wujud. Wahdah al-Syuhud sendiri sebagaimana aliran-aliran lain tidaklah benar-benar doktrin baru dalam Khazanah Tasawuf, karena aliran ini bagian dari evolusi ritme doktrin ajaran yang telah lampau yang telah dipelopori oleh Imam Al-Junaidi. Sementara banyak kalangan berpendapat, adalah Syekh Ahmad Sarhindi (1564-1624) yang pertama kali mengembangkan corak Wahdah al-Syuhud sebagai aliran dalam Tasawuf.

Konsep Wahdat Al-Syuhud

Wahdat al-Syuhud merupakan salah satu konsep dalam tasawuf falsafi, sebagaiaman konsep itiihadnya Abu Yazid al-Bustami, konsep hulul-nya Al-Hallaj, atau juga wahdat al-wujud-nya Ibn ‘arabi. Kajian tentang Wahdad al-Syuhud oleh para ilmuan menunjukkan bahwa konsep ini mirip dengan dan dapat pengaruh besar dari paham Wahdat al-Wujud, ajaran yang dicetuskan oleh Ibn ‘Arabi.

Konsep ini bermula dari rasa cinta Ibn al-faridh yang sangat menjadi pengalaman uns, yakni kegilaan dalam asyik-masyuk (intim) dengan Tuhanya. Dalam Risalah al-Qusyariyah dinukil ungkapan para sufi sebagai berikut: Pecinta itu syaratnya sampai mabuk (gila) cinta, bila belum sampai seperti itu, caranya belum benar-benar (belum sempurna).

Mendalamnya cinta rindu terhadap Tuhan menurut ajaran tasawuf para sufi sampai pada mabuk cinta, sehingga meningkat menjadi Wahdat al-Syuhud, yakni segala yang mereka pandang tampak wajah Tuhan.

Kesatuan dalam teknologi Ibn al-Faridh bukan penyatuan dua wujud, tetapi penyatuan dalam arti yang disaksikan hanya satu, yaitu Wujud Yang Maha Esa. Pluralism yang tadinya nampak menjadi lenyap sehingga segala sesuatu nampaknya satu kesatuan karena ia telah mampu “menghadirkan” Tuhan dalam dirinya melalui tajalliyat Ilahi. Menurut pemahaman Musthafa Helmi, tajalli dalam konsep Ibn al- Faridh ada dua segi, yaitu: pertama, tajalli secara zhahir, yakni melihat Yang Esa pada yang aneka; barang kali dapat di analogikan dengan makro dan mikro. Dengan memperhatikan makro komos dapat “melihat” mikro komos dan sebaliknya.

Pengalaman yang demikian dimungkinkan karena fananya yang asyik mencintai ke dalam yang dicintai sehingga ia tenggelam dalam kemanunggalan dan tidak merasakan serta tidak melihat (syuhud) sesuatu selain Allah Yang Maha Tunggal.

Dalam kumpulan syairnya al-Diwan, Ibn al-Faridh melukiskan proses fana secara jelas. Proses awal dari fana adalah melihat Tuhan secara jelas dan pasti dalam setiap benda yang ia lihat. Bahkan dalam setiap pandanganya kea rah mana saja yang ia lihat hanya Tuhan. Pengalaman yang demikian menyebabkan Ibn al-Faridh merasa satu dengan yang dicintai. Pada saat dia sadar dari fananya, yang tinggal dalam jiwa dan penghayatan hanyalah sang kekasih, yakni Allah inilah yang ia maksud dengan melalui fana ia mengalami kesatuan dengan Allah dan kemudia merasakan cinta yang sejati. Kefanaan bukan keleburan wujid jasmaninya, tetapi kefanaan dari kesadaran dan kemauan serta penangkapan indera keakuanya. Demikian juga penyatuan di dalam Tuhan adalah searti dengan tersingkapnya tabir penghalang sechingga Dzat Yang Mutlak hadir dalam mata batinya. Situasi yang demikian bukanlah sesuatu yang tidak mungkin karena si penyair (Ibn-Faridh) sedang dalam spiritual yang mistis.

Dengan demikian semakin jelas terlihat, bahwa konsep Wahdat al-Syuhud ini berbeda dari doktrin al-Hulul. Sebab, dalam konsep ini penyatuan itu bukan pada subtansi manusia yang melebur kedalam dzat Tuhan, tetapi fananya seluruh yang ada dari kesadaran dan penglihatan sehingga yang nampak ada hanyalah Dzat Yang Maha Esa dan karenanya disebut Wahdat al-Syuhud bukan Wahdat al-Wujud. Dari situ nampak bahwa dalam pemahaman Ibn al-Faridh antara Wahdat al-Syuhud dan Wahdat al-Wujud itu berbeda.