Memahami Konsep Ontologis Wahdatul Wujud dalam Tasawuf

Konsep ajaran Wahdatul Wujud pertama kali dipelopori oleh Muhyiddin Abu Abdullah Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Abdullah Hatimi at-Ta’i atau lebih dikenal sebagai Ibnu Arabi. Dengan julukan Syaikh al-Akbar atau Kibrit al-Ahmar atau Muhiyiddin.

September 15, 2023 - 12:21
Memahami Konsep Ontologis Wahdatul Wujud dalam Tasawuf

Konsep ajaran Wahdatul Wujud pertama kali dipelopori oleh Muhyiddin Abu Abdullah Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Abdullah Hatimi at-Ta’i atau lebih dikenal sebagai Ibnu Arabi. Dengan julukan Syaikh al-Akbar atau Kibrit al-Ahmar atau Muhiyiddin.

Ibnu Arabi tidak menyebutkan istilah wandatul wujud di secara eksplisit di dalam kitab-kitabnya. Namun di dalam syairnya pada kitab Fushus al-Hikam, terdapat suatu ungkapan yang mengindikasikan Wahdatul Wujud.

فالحق خلق بهذا الوجه فاعتبروا. وليس خلقا بذاك الوجه فاذكروا

جمح وفرق فإن العين واحدة  وهي الكثيرة لاتبقي ولا تذر

“Yang Haq itu adalah makhluk dari satu sisi, maka camkanlah baik-baik. Dia bukan pula makhluk di sisi lainnya, maka ingatlah baik-baik

dalam jamak (kombinasi) persatuannya maupun dalam farqu (keterpisahannya), esensi itu Tunggal, namun esensi itu juga jamak, hingga tidak kekal, dan tidak pula tertinggal.

(Kitab Syarah Jami’ al Fushush Al-Hikam, Dar Al-Kotob Al-ilmiyah Beirut hal 156)

Tergambar dengan jelas dalam syair-syair Ibnu Arabi meyakini Dzuq tasawufnya sebagai Dzuq Wahdatul Wujud. Dalam inti Dzuq ini, Ibnu Arabi menyatakan bahwa tidak ada mengada selain Allah, yang merupakan wujud yang Haq dan Yang Mutlaq, bahkan hakikat dan totalitas wujud itu sendiri; dan tidak ada wujud selain-Nya. Ibnu Arabi mengingkari adanya wujud eksternal alam ini yang lahiri yang independen (berdiri sendiri), dengan segenap manifestasi dan bentuk lahiriah. Baginya hanya ada satu wujud hakiki yaitu al-Haq, Yang Maha Haq, Allah Ta’ala.

Istilah Wahdatul Wujud ini dipopulerkan oleh anak angkat Ibnu Arabi yang bernama Ṣhadr al- Dīn Muḥammad bin Isḥāq al-Qūnawī (1207-1274). Shadruddin Al-Qunawi  memaknai wahdatul wujud dengan:

والحق سبحانه من حيث وحدة وجوده لم يصدر عنه إلا الواحد لا ستحالة إظهار الواحد غير الواحد وذلك عندنا هو الوجود العالم المفاص على أعيان المكونات ما وجد منها وما لم يوجد مما سبق العلم بوجود وهذا الوجود مشترك بين القلم الأعلى الذي هو أول موجود المسمى أيضاً بالعقل الأول وبين سائر الموجودات.

“Al-Haq Subhanahu wa Ta’ala dari sisi ketunggalan Wujud tidak akan muncul kecuali yang Wahdah (Tunggal), sebab mustahil kenyataan Wahdah pada selain yang Wahdah dan Sesungguhnya wujud alam yang membias pada segala wujud alam Semesta baik apa yang ditemukan atau tidak termasuk sesuatu yang telah dahulu wujud alam yaitu wujud mustyarak (ambigu) yang terbagi pada Qalam A’la (tertinggi) sebagai awal maujud yang bernama Aqal Awwal sebagai pusat kejadian segala maujud alam semesta.”

(Kitab Miftahul Ghaib Al-Jami wal Wujud, Dar Al-Kotob Al-ilmiyah, Beirut hal 21-22)

Syekh Mustafa bin Sulaiman Balı Zadah al-Hanafi mengartikan Wahdtul Wujud dengan,

“Wujud (Eksistensi) adalah Wahdah (Satu) Realitas, jadi pada mulanya adalah satu Dzat Wajibul Wujud pada Dzat yang Wahdatul Wujud yang keberadaannya diperlukan. Oleh karena itu, esensi adalah satu dan keberadaan (Being) adalah satu realitas. Wujud nyata ini tercermin dalam jajaran semua keberadaan. Refleksi dari makhluk nyata itu seperti bayangan anda di cermin yang berbeda; meskipun anda adalah satu esensi, anda melihat semua multiplisitas ini yang tidak ada dalam kenyataan tetapi memiliki aspek relatif dari penampilan anda di cermin yang berbeda.

(Kitab Syarah Fusush Al-Hikam, Dar Al-Kotob Al-ilmiyah Beirut hal 78)

Wahdatul Wujud difahami hanya ada satu Wujud Mutlaq yaitu Allah sebagai wajibul wujud. Sementara alam (al-Kaun) dan manusia (al-Insan) adalah ibarat cermin al-Haq dengan kata lain manusia dan alam ini sebagai tajalli atau madhar dari sifat-Nya. Ibarat seseorang berdiri dicermin, ia menyaksikan dirinya pada dirinya. Pada hakikatnya dia itu satu sedangkan dalam cermin sebagai madhar nya. Namun ia dalam cermin bukan dirinya, dirinya tetap satu namun yang ada dicermin bukan selain dirinya.

Selanjutnya pemahaman wahdatul wujud ini diperjelas oleh Abuya Syekh. H. Amran Waly al-Khalidi ,

“Wahdatul Wujud adalah Makrifat secara Dzuq yaitu ibarat matahari yang ada di langit. Sedangkan matahari yang ada di kaca dan dalam kolam merupakan pantulan dari matahari yang ada di langit, sehingga kita tidak tersangkut di dalam bermakrifat pada pantulan-pantulan matahari baik di kaca maupun di kolam. Hanya kita menyaksikan matahari yang ada di langit. Maka Wahdatul Wujud adalah ajaran kesufian. Tidak ada selain Allah, bersama Allah untuk mendapatkan Tauhid haqiqi yang terlepas dari kesyirikan dan kenifakan. Mereka-mereka yang telah dapat Taraqqi dari wujud waham dia kembali kepada Wujud Mahadh, mereka telah mendapatkan Makrifat secara Dzuq atau pemahaman Wahdatul Wujud.

Wahdatul Wujud ini diawali dengan Wahdatul Syuhud, dengan kita menyaksikan keberadaan Allah di dalam batin kita, sehinga selain-Nya akan hilang untuk mendapatkan tajalli keberadaan Allah di dalan batin. Kita harus meningkatkan himmah (kemauan) kepada Allah sehingga dapat terlihat sifat Jamal-Nya (keindahan-Nya) dan hilang di dalam Cahaya Dzat-Nya. Orang-orang yang telah dapat memahami Wahdatul Wujud, merdeka dari alam dan dirinya sehingga ia menjadi hamba-Allah yang senantiasa memandang Wujud-Nya semata.“

Wujud adalah Wahid (satu), karena merupakan sifat esensial Dzat Allah. Wujud adalah sesuatu yang wajib, sehingga tidak boleh berbilang. Dan maujud adalah mumkinat, yaitu alam, sehingga boleh berbilang sesuai dengan hakikatnya. Adanya alam karena adanya Wujud yang Wajibul Wujud dengan dirinya sendiri. Apabila alam musnah, maka Wujud tetaplah Baqa (kekal). Jadi maujud bukanlah Wujud.

Tidak boleh dikatakan  bahwa Wujud ada dua, yaitu Wujud Qadim (lama) dan Wujud Hadits (baru), kecuali yang dimaksud dengan wujud kedua adalah si maujud. Berdasarkan hal ini, tidak ada perlunya peringatan ulama Rasional terhadap Wahdatul Wujud yang dikatakan oleh para ulama Sufi.

Sesungguhnya panca indera tidak melihat selain kerangka atau maujud, dan ruh tidak melihat selain Wujud. Apabila ruh melihat maujud, maka dia tidak melihatnya kecuali sebagai yang kedua, seperti perkataan seseorang, “Aku tidak melihat sesuatu kecuali aku melihat Allah sebelumnya.”

Yang dimaksud dengan penglihatan dalam hal ini adalah syuhud (penyaksian mata ruh), bukan ru’yah (penglihatan mata kepala). Sebab, ru’yah berkenan dengan mata zahir, sedangkan syuhud berkenaan dengan ruh. Oleh karena itu dikatakan  أشهد أن لا إله إلا الله (aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah), dan tidak dikatakan, “Ara” (aku melihat), ‘Bahkan ungkapan demikian tidak sah.

Penulis: Budi Handoyo (Dosen Prodi Hukum Tata Negara Islam Jurusan Syariah dan Ekonomi Islam STAIN Teungku Diruendeng Meulaboh-Kabupaten Aceh Barat)
Editor: Khoirum Millatin