Maroko, Negeri Spiritual Tempat Kelahiran Para Ulama dan Wali

September 20, 2023
Maroko, Negeri Spiritual Tempat Kelahiran Para Ulama dan Wali

Maroko atau dalam bahasa Arab disebut dengan Maghrib, menjadi wilayah Timur-Tengah yang paling barat dan berbatasan dengan Benua Eropa melalui negara Spanyol. Negeri ini sudah menjadi tonggak keilmuan Islam sejak berabad-abad yang lalu pada masa Dinasti Abbasiyyah di bawah pimpinan Khalifah Al Mutawakkil.

Sebagaimana diketahui dari sumber-sumber sejarah Islam, bahwa di masa Dinasti Abbasiyah lah Islam mencapai puncak kejayaannya. Pada masa tersebut banyak lahir ilmuwan-ilmuwan muslim yang menjadi rujukan dari berbagai keilmuan di kemudian hari. Beberapa di antaranya lahir dari universitas Islam tertua di dunia yaitu Universitas Qarawiyyin yang terletak di Fez, Maroko, seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Khatib, al-Bitruji, Ibnu Hazm, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail, Ibnu Rusyd, dan lain-lain.

Lahirnya ilmuan-ilmuan muslim ini, pada dasarnya tidak terlepas dari peranan Masjid Qarawiyin yang pada saat itu menyediakan serambinya sebagai tempat perkumpulan para ahli ilmu. Lambat laun, banyak orang yang membentuk halaqah-halaqah dan talaqqi di sana, sehingga semakin ramai pula pengunjung yang datang. Dalam perkembangannya, masjid-masjid di Maroko bertengger menjadi pusat ilmu pengetahuan.

Masjid yang saat itu disebut dengan Al-Jami’ (الجامع/Masjid Jami’) kemudian mengalami perluasan makna. Tidak hanya sebagai tempat ibadah melainkan juga tempat menuntut ilmu. Inilah mengapa pada masa selanjutnya kata ‘universitas’ ketika diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab menjadi Al-Jamiah (الجامعة) yang berubah menjadi bentuk plural karena ada banyak ilmu yang beragam diajarkan di sana. Maka tidak heran jika banyak ulama-ulama yang menjadi ilmuan terlahir dari tempat tersebut. Karena keberkahan ilmunya disebabkan oleh kesucian yang selalu terjaga setiap kali menginjakkan kaki ke masjid melalui wudlu.

Tidak hanya ulama, Maroko disebut juga negeri para wali. Seperti yang ditulis oleh Dr. Alvian Iqbal Zahasfan dalam bukunya Shalawat Nariyah, Maroko merupakan negeri asal pengarang Shalawat Nariyah, Syekh At-Taji, di mana shalawat ini menjadi yang paling banyak dibaca di Indonesia.

Berkaitan dengan banyaknya wali yang ada di Maroko, Kiai Ilyas, pengasuh pondok pesantren Tahfidz Quran Nurani yang pernah menempuh pendidikan di sana bercerita. Selama berada di negara tersebut, hampir setiap hari beliau selalu melewati Zawiyah Thariqah Tijani (yang mana pengikut tarekat tersebut banyak tersebar di Maroko) yang berada di Qarawiyin. Sayangnya, selama itu pula tak pernah sekalipun hatinya tergerak bersilaturrahmi di tempat itu.

Sekembalinya di tanah air, Kiai Ilyas bertemu dengan ulama yang mengatakan bahwa di Maroko banyak sekali zawiyah-zawiyah yang di sana banyak juga waliyullah, termasuk Zawiyah Tijani. Setelah Kiai Ilyas menyampaikan bahwa ia tak pernah sekalipun mengunjungi tempat itu, ulama itu berkata,

“Rugilah kamu. Kami ini sangat ingin pergi ke sana, tapi hanya mahabbah kami yang mengantarkannya ke tempat itu. Sedangkan kamu tinggal di sana tapi tidak dapat apa-apa.”

Ucapan itu menjadi tamparan keras, meskipun pada akhirnya ia berhasil kembali mengunjungi Maroko dan bersilaturrahmi ke zawiyah tersebut. Bahkan, setela h itu ia menjadi pengamal thariqah yang konsisten hingga saat ini.

Keengganannya berkecimpung di dunia sufi pada waktu itu didasari oleh doktrin tentang  stereotype yang dibangun oleh kebanyakan masyarakat bahwa kaum sufi sangat identik dengan kemiskinan. Sebetulnya, hal ini menjadi sebuah beban di benak beliau karena menurutnya yang bisa membagi kedamaian, keselamatan dan ketentraman dunia hanyalah tarbiyatussufiyah.

Dalam ceritanya yang lain, suatu hari Kiai Ilyas menemani kiai-kiai dari MUI yang sedang berkunjung ke Maroko. Di antara mereka sangat menginginkan bertemu dengan waliyullah yang mastur  (jarang diketahui) di Maroko. Kemudian ia meminta rekomendasi dari seorang mufti yang ada di Qarawiyin. Mufti tersebut menyarankan Kiai Ilyas untuk menemui  ulama besar yang merupakan salah satu penasihat Raja Hasan Maroko.

Setelah menemukan lokasinya, betapa kaget ia karena ulama itu tinggal di salah satu kota tua yang bahkan pintunya terbuat dari seng. Menurut ulama tersebut, ini adalah salah satu cara meninggalkan hal-hal yang bersifat keduniawian.

Kemudian Kiai Ilyas menyampaikan maksudnya untuk meminta doa dan nasihat kepada beliau. Namun ulama tersebut justru menganjurkan untuk mendatangi satu orang yang dianggap paling alim di wilayah itu yang ternyata adalah seorang pedagang makanan ringan di pinggir jalan. Selama Kiai Ilyas mondar-mandir di lokasi tersebut, rupanya wali mastur itu selalu memperhatikannya.

Barulah Kiai Ilyas dan rombongan menemuinya. Ketika ditemui, orang tersebut masih dengan ketawadhuannya dan menolak untuk mendoakan Kiai Ilyas. Kemudian Kiai Ilyas menyodorkan sebuah  kertas dan minta dituliskan beberapa nasihat untuknya dan rombongannya. Sebelum menulis, orang itu menyampaikan bahwa apa yang ia tulis bukan berasal darinya, melainkan kemauan tangannya sendiri.

Di tengah perjalanan, karena penasaran, Kiai Ilyas membuka kertas tersebut dan membacanya. Ternyata isinya adalah sindiran-sindiran telak yang diarahkan kepada Kiai Ilyas beserta rombongannya, termasuk jangan memandang orang hanya dari penampilannya saja.

Ketika menyampaikan hal ini kepada muftinya, Kiai Ilyas malah ditegur,

“Berapa tahun kamu di sini?”

“Lebih dari tujuh tahun.”

Meskipun sudah sangat lama tinggal di negara tersebut, Kiai Ilyas belum banyak menemui wali-wali Allah yang ada di sana. Berdasarkan keterangan sang mufti, di dekat Universitas Qarawiyin ada sebuah masjid yang bernama Masjid Andalus yang di sisinya ada seorang pengemis. Mufti tersebut menyampaikan agar tidak menyangka bahwa orang tersebut sungguhan seorang pengemis. Bisa saja itu adalah waliyullah yang sedang menerapi diri karena ada kesombongan sebesar biji zarrah di dalam hatinya. Maka untuk menghilangkannya, ia menghinakan dirinya di hadapan manusia. Oleh sebab itu, jangan sesekali memandang rendah orang lain berdasarkan tampilannya.