Mahabbah dan Pecandunya

Mahabbah berasal dari kata dasar hubbu yang berarti cinta. Kalimat tersebut mengandung kata ha’ dan ba’. Ada yang mengatakan bahwa hubbu diambil dari kata Habab yaitu gelembung yang selalu berada di atas air. Yang dimaksud adalah bahwa cinta menempati posisi paling tinggi di hati. Ada pula yang mengatakan berasal dari kata Al Habbu yang berarti anting-anting. Disebut demikian karena model anting yang menggantung seperti keadaan seorang pecinta yang menemui kegelisahan. Selain itu kata hubbu juga bisa berasal dari kata hibban untuk yang artinya biji kecil di padang pasir. Maksudnya bahwa cinta adalah cikal bakal tumbuhnya kehidupan.
Adapun dasar-dasar mahabbah adalah sebagai berikut:
– Allah Swt. Berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِۦ فَسَوْفَ يَأْتِى ٱللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُۥٓ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya”
Maqam Mahabbah dipopulerkan oleh Rabiah Al-Adawiyah. Meskipun Bukan pencetusnya, tapi Rabiah mampu membawa eksistensi Mahabbah lebih unggul daripada Ja’far Shadiq sang pemilik konsep Mahabbah. Keunggulannya bahwa ia adalah salah satu Sufi perempuan yang memiliki derajat lebih tinggi dari Sufi lain pada zamannya. Rabiah mendapat julukan “Mahkota Kaum Pria” (Taj Al Rijal) karena ia terjaga dari sifat-sifat yang merendahkan martabatnya sebagai perempuan.
Rabiah terlahir dari keluarga yang miskin. sejak kecil ia ditinggal mati oleh kedua orang tuanya kemudian dijual sebagai budak yang sangat murah sehingga harus melewati kehidupan yang sangat keras dan pahit. Meskipun demikian, Allah memberinya anugerah untuk mengamalkan kezuhudan dan tidak ada keterikatan dengan materi duniawi. Pada suatu hari ia bermunajat kepada Allah. Tanpa ia sadari tuanya telah memerhatikannya. Keesokan harinya itu merdekakan dan kemudian ia hijrah ke Mekkah. Menurut riwayat ketika ia di Mekkah, iya bertemu dengan Ibrahim Al Adham dan keduanya saling berdiskusi sehingga dari sini Rabiah digambarkan sebagai sosok yang telah mengalami pengalaman cinta kepada Allah.
Rabiah sebagai Sufi wanita dideskripsikan sebagai wanita yang tidak ingin membagi cintanya kepada siapapun dan hanya menginginkan Allah semata serta memilih tidak menikah sepanjang usianya. Semasa hidupnya ia pernah dilamar oleh beberapa laki-laki. Namun ia selalu menolaknya dengan berdalih, “akad nikah adalah milik kemaujudan yang luar biasa sedangkan aku terlepas dari hal tersebut. Aku maujud dalam Tuhan dan sepenuhnya milik-Nya. Aku hidup dalam naungan firman-Nya. Maka akad nikah seharusnya diminta dari-Nya bukan dariku.”
Kesetiaannya yang luar biasa terhadap Allah tidak bisa terhianati oleh cinta duniawi semata. Kecintaannya terhadap Allah bukan karena menginginkan surga dan bukan pula karena takut neraka. Cinta seperti inilah yang oleh M. Smith juga disebut cinta tanpa pamrih.
Dalam syairnya Rabiah bersajak:
“Sendiri daku bersama cintaku
Waktu rahasia yang lebih lembut dari udara petang
Melimpahkan karunianya atas doaku
Memahkotaiku, enyahlah yang lain, sirna
Antara takjub atas Keindahan dan Keagungan-Nya
Dalam semerbak tiada tara
Aku berdiri dalam asyik-masyuk yang bisu
Kusaksikan yang datang dan pergi dalam kalbu
Lihat, dalam wajah-Nya
Tercampur segenap pesona dan karunia
Seluruh keindahan menyatu dalam wajah-Nya yang sempurna
Lihat dia, yang akan berkata “Tiada Tuhan selain Dia dan Dia-Lah yang paling mulia.”
Pada bait-perbait sajak di atas, Rabiah tidak henti-hentinya memuji Tuhan yang telah bersemayam pada dirinya sehingga tidak ada sedikitpun celah bagi makhluk. Dalam syair itu tabir ketuhanan telah tersingkap dan Rabiah asik bermadu kasih dengan Tuhan. Dari kalimat yang diungkapkan ia menunjukkan betapa ia menikmati kondisi tersebut. Lalu mana mungkin cinta yang sedemikian agung akan terkalahkan oleh cinta duniawi.
Dari konsep Mahabbah Rabiah mengajarkan bahwa cinta dan ujian adalah satu kesatuan. Tidak akan merasakan cinta jika tidak menemui ujian dan kesakitan serta tidak akan pernah merasakan ujian terdahsyat jika belum pernah mencintai secara total. Maka, hendaklah melihat ujian melalui kacamata cinta agar keduanya dijalani dengan ketulusan.
Oleh: Khoirum Millatin, S.Hum. (adalah Kader MATAN DKI Jakarta dan merupakan mahasiswi Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)