JATMAN Menjawab Zaman

Mei 21, 2024
JATMAN Menjawab Zaman

Ada yang menarik dari hasil Muktamar XII Jam’iyyah Ahlith Thariqah al Mu’tabarah an Nadliyyin (JATMAN). Program besar JATMAN dirumuskan berupa program kerja nasional. Ini tertuang dalam garis besar program Idarah Aliyyah JATMAN 2018-2023. Bahwa problem besar ke-jam’iyyah-an salah satunya adalah melawan maraknya al-munkarat.  Ini yang bergerak sistematis di berbagai kehidupan bangsa Indonesia. Munkarat itu berbentuk dua hal; munkarat dalam pemikiran serta munkarat dalam akhlak dan perilaku. Munkarat pemikiran inilah yang mengawali munkarat dalam akhlak dan tingkah laku. Ini menjadi penyakit bangsa yang akut. Munkarat pemikiran ini yang mempengaruhi Tauhid. 

Kemungkaran pemikiran indikasinya dengan semaraknya pemikiran liberalisme, sekulerisme, pluralisme agama. Akarnya adalah paham materialisme yang berkembang di bawah payung kapitalisme global. Perspektif ini yang memantik nafsu syahwat, hingga melanda segala lini kehidupan bangsa dan negara. Mulai dari politik, hukum, ekonomi, social dan lainnya. 

JATMAN menyadari, munkarat pemikiran ini telah menggejala berbagai lini organisasi massa dan sosial. Tentu menjadi ancaman keutuhan bangsa. 

Lantas, dari mana munkarat pemikiran ini berasal? Inilah yang mengakibatkan liberalisme, sekulerisme, pluralisme agama. Secara umum, ini yang disebut modernisme. Modernisme inilah yang menjadi momok zaman kini. Murysid Thariqah Qadiriyya-Shadziliyya-Dharqawiyya dari Eropa, Sayyidina Syekh Abdal Qadir as sufi, Radiallahuanhu, mengatakan, modernisme ini bak psikosis. Penyakit jiwa. Penyakit ini yang kini melanda dunia. Tak hanya di Indonesia semata. 

Virus ini tentu berasal dari barat. Materialisme asalnya. Maka, mari membedah muasal materialisme. Asalnya tentu filsafat. Barat mengenalnya sejak masa renaissance. Mereka mengimpornya dari mu’tazilah. Copernicus, Galileo, menjiplak ajaran kaum mu’tazilah, untuk melawan dogma Gereja Roma. Tapi saat itu kepausan melakukan perlawanan dengan ekstrim. Bruno dibakar karena berfilsafat. Artinya menentang dogma. 

Perjalanan renaissance ini yang melahirkan modernisme. Masa renaissance, barat masih mengusung teori kebenaran ganda. Thomas Aquinas masih menyebutkan bahwa kebenaran itu sumbernya dua; rasio dan wahyu. Tapi era modernitas, barat telah sepakat bahwa sumber kebenaran sumbernya satu, yaitu rasio semata. Inilah yang diusung Rene Descartes. Teorinya yang mahsyur, 'cogito ergo sum', menunjukkan bahwa sumber kebenaran adalah rasio semata. Tidak ada lagi wahyu. ‘Aku Berpikir (Think) Aku Ada (Being)’ menjadi pertanda bahwa kebenaran wahyu dieliminasi. Descartes pengusung filsafat materialisme, dia berkata, ‘Tuhan, manusia, alam semesta, adalah menjadi ajang penyelidikan manusia.’ 

Materialisme meyakini, segala sesuatunya (being) adalah perbuatan manusia. Bukan perbuatan Tuhan. Karena materialisme berpatokan, Tuhan itu hanya bak pembuat jam. Kala jam selesai dibuat, jam berjalan sendirinya. Tuhan, bagi mereka, telah menciptakan dunia ini untuk manusia. Jadi manusia berhak untuk mengatur alam dunia dan isinya. Inilah pijakan materialisme. Francis Bacon pun pengusung teori itu. Ditambah empirisme Immanuel Kant, maka materialisme makin menggeliat. Cartesius dan Kantian, ini menjadi dua pengajar besar materialisme. Dua ajaran ini yang menyebar lebar seantero dunia. 

Ajaran itu pula yang mempengaruhi Karl Marx. Dia mengatakan, ‘Segala sesuatunya adalah materi.’ Marx mendasarkan, ‘kebenaran’ hanya berlandas pada yang zahir. Yang tampak dan bisa diserap inderawi semata. Yang tak tampak, maka itu dianggap tiada. Albert Einstein makin mendeklarasikan, bahwa mekanika kuantum yang berjalan di alam dunia, adalah karena adanya relativitas ilmu pengetahuan. Jadi bukan Tuhan sebagai penyebab. Dari sana, maka sekulerisme makin menguat dan merebak. 

Dalam tatanan politik, sekulerisme ini mencapaikan kemenangan masa Revolusi Perancis, 1789. Egalite, Liberte, Fraternite, yang jadi slogan kaum revolusioner, berhasil mengukudeta kedigdayaan Gereja Roma dan Raja. Tak ada lagi slogan ‘Vox Rei Vox Dei’ (Suara Raja suara Tuhan). Tapi diganti menjadi ‘Vox populi Vox Dei’ (suara manusia suara Tuhan). Artinya, manusia yang berkehendak dalam menentukan kekuasaan. Bukan lagi dianggap ‘Kehendak Tuhan'. Agama sejak itu hanya didudukkan sebagai urusan privat. Bukan boleh masuk ranah publik. Inilah sekulerisme. Makanya dalam wilayah politik, hukum, ekonomi, tak boleh mengenakan unsur agama. Melainkan aturan yang berlandas rasio manusia. Ini yang melahirkan positivisme, politik, kapitalisme dan lainnya. Ini yang disebut dengan aliran free will (kehendak bebas). Inilah munkarat yang melanda kini. 

Karena modernisme menggiring manusia teracuni pemikiran bahwa manusia yang mutlak memiliki daya dan kehendak. Itu bukan domain Tuhan. Sejak itu pula, manusia merasa memiliki domain untuk membuat hukum. Lahirlah positivisme. Wahyu ditinggalkan. Manusia percaya hukum harus dibuat dan diatur oleh manusia. Karena manusia yang berkehendak. Dalam ekonomi, perdagangan juga tak lagi merujuk pada Kitab. Tapi diatur oleh kehendak manusia. Inilah yang melahirkan kapitalisme. Karena dengan merujuk pada ‘manusia’, lahir adagium ‘modal sekecilnya untung sebesarnya'. Ini pondasi kapitalisme, yang menanggalkan urusan berdagang berbeda dengan riba. Alhasil manusia modern tak lagi bisa membedakan mana berdagang dan riba. Dampaknya, perliaku riba ini seperti orang kesurupan. Itulah yang disebut psikosis (penyakit jiwa). 

Munkarat pemikiran inilah yang merusak Tauhid. Karena Aqidah Qadariyya menjadi dasar. Antitesanya bukanlah menjadi Jabariyya. Masa renaissance, di situlah pertarungan antara Jabariyya --yang dijalankan pengikut Gereja Roma-- melawan Qadariyya, yang dijalankan para filosof barat. 

Sementara Islam telah memiliki pengalaman. Sebelum filsafat masuk ke barat yang melahirkan renaissance, filsafat telah pernah merasuk belantara muslim. Itulah era Mu’tazilah. Era itulah yang ulama ahlul sunnah wal jamaah berhasil membendungnya. Maulana Syekh Abdal Qadir al Jilani, memberikan tunjuk ajar matang. Membendung ajaran ‘segala sesuatunya perbuatan manusia’ dengan menggaungkan tasawuf hingga mendunia. 

Dalam kitab Al Gunyah, Syekh Abdal Qadir al Jilani menegaskan, manusia memiliki kasab (usaha). Kaum Jahmiyyah menihilkan adanya kasab. Manusia seperti pintu terbuka dan tertutup, seperti pohon yang terombang ambing angin. Tanpa ada usaha sama sekali. Inilah kelompok fatalistis. Aqidah ini bertentangan dengan Al Quran. 

Sementara kaum Qadariyyah, semuanya merupakan andil manusia, tanpa andil Allah sama sekali. “Celakalah mereka yang merepresentasikan Majusi umat ini, sebab dengan kehendak bebas (free will), mereka telah menetapkan sekutu disisi Allah dan menisbahkan-Nya pada kelemahan, sehingga berlaku dalam kerajaan-Nya sesuatu yang tidak masuk dalam skema Qudrah dan Iradah-Nya,” tegas Maulana Syekh Abdal Qadir al Jilani. 

Dari ini, maka tampaknya masalah zaman kini. Karena pepatah Perancis berkata, ‘Le histoire repete’ (sejarah berulang). Masalah zaman, sejak dulu tak berbeda. Karena munkarat pemikiran era dulu yang direpresentasikan Majusi, ini kembali lagi. Bentuknya menjadi materialisme. Paham ini yang meyakini ‘Qudrah dan Iradah’ adalah kehendak manusia. Bukan Kehendak Tuhan. 

Ulama Tasawuf terdahulu telah memberi warisan penting menghalau aliran ini. Karena Tasawuf memiliki pondasi Tauhid yang mumpuni. Mengajarkan bahwa manusia harus mencapai mukasyafah, hingga tercapainya penyingkapan. Sementara filosof mengajarkan sebaliknya. Emanasi, seolah telah terjadi ketika manusia diberikan akal, hingga manusia memiliki kehendak bebas (free will). Dari inilah materialisme itu bermula. Ujungnya, manusia tak lagi percaya pada Qadla dan Qadar. Karena seolah takdir adalah ‘kehendak manusia’ atau meyakini manusia bisa mengubah takdir. 

Pandangan ini yang menjadi mayoritas yang dianut umat manusia di dunia. Di barat, buat materialisme telah membawa manusia pada ateisme. Tapi, beruntungnya, tasawuf malah melesat pesat memasuki kaum barat, hingga mereka selamat dari jerambab Ateisme. Karena kaum barat telah merasakan kejumudan materialisme, dan mereka berhasil menemukan Islam, dengan jalur tasawuf tentunya. 

Sementara di timur, pengaruhi neo-Mu’tazilah masih membahana. Karena sejak modernis Islam menyeruak, sisi yang diserang itulah pondasi Tauhid, yang membuat seolah umat harus kembali pada manhaj Mu’tazilah. Doktrin seolah Islam harus mengejar ketertinggalan dari barat, hanya dengan jalan menjadi neo-Mu’tazilah, ini masih kental diajarkan. Ujungnya, Islam justru makin terpuruk. Bukan berada pada kemenangan. Karena ujung dari Mu’tazilah, telah diketahui endingnya. Mu’tazilah hanya memperlemah kekuatan Islam. Sementara sufisme diperlemah, dari internal dan eksternal. 

Disinilah tantangan kaum ahlut-thariqah. Karena thariqah yang memiliki pengajaran murni ajaran Islam. Pengajaran sahihan perihal Tauhidullah, yang menjadi pondasi umat. Tasawuf yang memiliki ajaran bahwa manusia adalah hamba. Bukan memiliki ‘kehendak bebas’ sebagaimana doktrin filsafat.  

Maka, JATMAN memiliki peran strategis dan penting. Karena ahlut-thariqah inilah ‘ummul Ummat’, yang menjadi tulang punggung umat. Ketika thariqah melemah, di situlah pula Islam menjadi lemah. Karena Tauhid menjadi tidak tegak massif. Ketika thariqah membahana, di situ pula kejayaan Islam. Jadi era keemasan Islam, bukan terletak pada masa mu’tazilah. Tapi ketika tasawuf menjadi mendunia. Karena dalam tasawuf itulah Tauhid menjadi terjaga. Itulah Rahmatan Lil Allamin. 

Sejak 200 tahun terakhir, kaum modernis Islam dan modernis barat, telah berupaya membawa umat kembali pada Mu’tazilah. Sementara JATMAN akan membawa umat kembali pada tasawuf. Sebuah inilah tantangan JATMAN di era modernisme kini. Laa Ghalibah Illallah.

Penulis: Ust. Irawan Santoso Shiddiq (Mudir Idaroh Wustho JATMAN Jakarta)