Fase Kehidupan di Alam Ruh

Kehidupan manusia di alam arwah atau alam ruh, terjadi jauh sebelum ayah dan ibu kita menikah, sehingga sering disebut dengan kehidupan before zero. Biasanya titik nol sebuah kota adalah di alun-alun kota tersebut. Sedangkan titik nol manusia adalah ketika dia dilahirkan ke alam dunia. Sebagian orang berpendapat bahwa titik nol manusia adalah ketika dia memasuki masa aqil baligh, yakni ketika manusia mulai bertanggungjawab terhadap seluruh amal perbuatannya dan semua keputusan yang diambilnya, karena telah dinilai sebagai manusia dewasa, yang seluruh amal perbuatannya mulai dicatat oleh malaikat dan kelak di akhirat akan diperhitungkan serta dimintai pertanggungjawaban.

Agustus 30, 2023
Fase Kehidupan di Alam Ruh

Kehidupan manusia di alam arwah atau alam ruh, terjadi jauh sebelum ayah dan ibu kita menikah, sehingga sering disebut dengan kehidupan before zero. Biasanya titik nol sebuah kota adalah di alun-alun kota tersebut. Sedangkan titik nol manusia adalah ketika dia dilahirkan ke alam dunia. Sebagian orang berpendapat bahwa titik nol manusia adalah ketika dia memasuki masa aqil baligh, yakni ketika manusia mulai bertanggungjawab terhadap seluruh amal perbuatannya dan semua keputusan yang diambilnya, karena telah dinilai sebagai manusia dewasa, yang seluruh amal perbuatannya mulai dicatat oleh malaikat dan kelak di akhirat akan diperhitungkan serta dimintai pertanggungjawaban.

Sebagian yang lain berpendapat bahwa titik nol manusia dimulai ketika memasuki usia 40 tahun, sehingga muncul ungkapan life begins fourty. Sedangkan bagi para muallaf, titik nol mereka adalah ketika mereka ikrar mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai tanda mulai memeluk agama Islam. Jika kelahiran manusia di alam dunia diilustrasikan sebagai titik nol kehidupan, maka sesungguhnya ada kehidupan manusia yang terjadi sebelum titik nol tersebut, yang biasa disebut dengan “life before zero”, yaitu kehidupan manusia di alam arwah dan alam arham. Berapa lamakah manusia hidup di alam ruh atau alam arwah?

Ternyata tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan dan berapa lama manusia hidup di alam ruh atau alam arwah. Jauh sebelum hidup di alam dunia, bahkan sebelum ayah dan ibu kita menikah, kita sebagai manusia telah diciptakan oleh Allah SWT dan mengalami kehidupan di sebuah alam yang disebut alam ruh atau arwah. Ketika masih berada di alam arwah ini, Allah SWT telah mengambil kesaksian dari setiap jiwa atau ruh manusia. Pada saat itu, seluruh manusia ditanya oleh Allah SWT; “Bukankah Aku adalah Tuhan dan Raja kalian? Dan bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Aku, Dzat Yang Maha Esa yang tiada sekutu bagi-Nya?”. Maka seluruh manusia yang berada di alam ruh atau alam arwah pun menjawab, “Betul, Engkau adalah Tuhan dan Raja kami, dan tiada tuhan yang berhak disembah selain Engkau Dzat Yang Maha Esa, yang tiada sekutu bagi-Nya”.

Jadi ketika berada di alam ruh atau alam arwah, semua manusia telah mengakui (i’tiraf) dan beriman serta meyakini tentang adanya Allah SWT, Dzat Yang Maha Esa. Tidak ada seorang pun yang mengingkari (kafir) terhadap keberadaan Allah SWT. Sebagai mana telah difirmankan dalam surat al-A’raf ayat 172:

(Ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orangorang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”, Sehubungan dengan ayat di atas, Rasulullah SAW telah bersabda dalam sebuah hadits yang artinya; “Ketika Allah menciptakan Adam, Dia mengusap punggung Adam. Maka dari punggung itu setiap ruh yang menyerupai biji atom berjatuhan, yang Dia (Allah) adalah penciptanya sejak itu sampai hari kiamat kelak”. (HR. Imam Tirmidzi)1

Dari Ubay bin Ka’ab ia berkata, “Mereka (ruh-ruh tersebut) dikumpulkan, lalu dijadikan berpasang-pasangan, baru kemudian mereka dibentuk. Setelah itu mereka pun diajak berbicara, lalu mereka diminta berjanji dan memberikan kesaksian, “Bukankah Aku Tuhanmu?” Mereka menjawab “Benar”. Kemudian Allah berfirman;

“Sesungguhnya Aku akan mempersaksikan langit tujuh tingkat dan bumi tujuh tingkat untuk menjadi saksi terhadap kalian, serta menjadikan nenek moyang kalian Adam sebagai saksi, agar kalian tidak mengatakan pada hari kiamat kelak, “Kami tidak pernah berjanji mengenai hal itu”. Ketahuilah bahwasanya tiada Tuhan selain Aku semata, tidak ada Rabb selain diri-Ku, dan janganlah sekali-kali kalian mempersekutukan-Ku. Sesungguhnya Aku akan mengutus kepada kalian para Rasul-Ku yang akan mengingatkan kalian tentang perjanjian ini. Selain itu, Aku juga akan menurunkan kitab-kitab-Ku”. Maka mereka pun berkata, “Kami bersaksi bahwa Engkau adalah Tuhan kami, tidak ada Tuhan selain hanya Engkau semata”. Dengan demikian mereka telah mengakui hal tersebut. Kemudian Adam diangkat di hadapan mereka dan Adam pun melihat kepada mereka. Di antara mereka ada orang-orang yang kaya dan ada juga orang-orang yang miskin; ada orang-orang yang baik dan ada juga orang-orang yang buruk. Lalu Adam berkata, “Ya Tuhanku, bagaimana kalau Engkau menyamakan di antara hamba-hamba-MU itu?”. Allah menjawab, “Sesungguhnya Aku sangat suka untuk disyukuri”. Dan Adam melihat para nabi di antara mereka seperti pelita yang memancarkan cahaya”. (HR. Ahmad)

Inilah peristiwa yang terjadi di alam ruh atau alam arwah, di mana setiap jiwa dari manusia telah diambil kesaksian dan melakukan perjanjian kepada Allah SWT, bahwa Allah SWT Dzat Yang Maha Esa adalah Rabb mereka. Hal ini disaksikan oleh Nabi Adam dan penduduk langit. Allah SWT sengaja melakukan hal ini, agar kelak pada hari kiamat tidak ada satupun manusia yang mengingkari perjanjian tersebut dengan mengatakan bahwa ketika hidup di alam dunia mereka menyekutukan Allah atau mengikuti agama nenek moyang mereka semata-mata karena tidak pernah ada perjanjian atau petunjuk dari Allah SWT. Kebanyakan manusia memang lupa terhadap perjanjian tersebut. Oleh karena itu, Allah SWT mengingatkan mereka dengan cara mengutus para Rasul serta menurunkan kitab suci untuk mereka. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Hadid ayat 8:

“Dan mengapa kamu tidak beriman kepada Allah padahal Rasul menyeru kamu supaya kamu beriman kepada Tuhanmu. Dan sesungguhnya Dia telah mengambil perjanjianmu jika kamu adalah orang-orang yang beriman”.

Yang dimaksud dengan perjanjianmu pada ayat di atas adalah perjanjian ruh Bani Adam (manusia) sebelum dilahirkan ke dunia bahwa dia mengakui dan bersaksi, bahwa Tuhan-nya adalah Allah SWT. Sebagaimana telah disebutkan pada surat Al A´raf ayat 172 di atas.

Menurut para ahli tafsir, pertanyaan Allah SWT kepada para manusia sewaktu berada di alam arwah bukanlah dalam bentuk wahyu yang disampaikan kepada mereka, tetapi dalam bentuk kehendak dan mengadakan (al-iradah wa al-takwin). Sedangkan jawaban para manusia kepada Allah SWT, bukalah dalam bentuk jawaban dengan lisan (المقال لسان), melainkan dengan sikap (لسان الحال).

Berdasarkan ayat di atas dapat diketahui, bahwa pada dasarnya setiap manusia diciptakan oleh Allah SWT dalam keadaan beriman dan meyakini kebenaraan agama Islam. Inilah fitrah manusia. Jika dalam kehidupan di alam dunia, ternyata banyak orang yang kafir, musyrik (polytheis), mulhid (ateis), atau munafik, maka hal itu adalah sebuah penyimpangan dari fitrah manusia yang diyakini sejak berada di alam arwah. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Rum ayat 30:

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.

Pengertian fitrah pada ayat di atas adalah ciptaan Allah SWT. Yakni manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan memiliki naluri beragama, yaitu agama tauhid, agama yang mengakui keesaan Allah SWT. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka bisa terjerumus pada kesalahan tersebut hanyalah lantaran pengaruh lingkungan hidup mereka.[HR]

1Imam Ibnu Kasir, Tafsir Ibn Katsir, juz 2 h. 261 – 264. Lihat juga Tafsir al-Razi, juz 15 h. 46.

2Prof. Dr. Wahbab al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munier, Daar al-Fikr al-Mu’ashir, Beirut, Cet. I, tahun 1991, juz 9 h. 157.