Thariqah dalam Pandangan Prof. AG. KH. Ali Yafie

Menurut al-Marhum Kiai Ali Yafie bahwa di Indonesia lebih banyak mengenal ajaran tasawuf lewat lembaga keagamaan non-formal yang namanya “tarekat” asal kata thariqah.
“Kita jumpai Tarekat Qadiriyah yang cukup dikenal, di samping Tarekat Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Tijaniyah dan Sanusiyah. Dalam satu dasawarsa terakhir ini, kita melihat adanya langkah lebih maju dalam perkembangan tarekat-tarekat tersebut dengan adanya koordinasi antara berbagai macam tarekat itu lewat ikatan yang dikenal dengan nama Jam’iyah Ahl al-Thariqah al-Mu’tabarah,” ujar Rais Aam PBNU 1991-1992 ini.
Tambahnya untuk lebih mengenal adanya tarekat itu, ada baiknya kita mempertanyakan kapankah munculnya tarekat (al-thuruq al-shufiyah) itu dalam sejarah perkembangan gerakan tasawuf.
“Bahwa Dr. Kamil Musthafa al-Syibi dalam tesisnya tentang gerakan tasawuf dan gerakan Syi’ah mengungkapkan, tokoh pertama yang memperkenalkan sistem thariqah (tarekat) itu Syekh Abdul Qadir al-Jilani (w. 561 H/1166 M) di Baghdad. Ajaran tarekatnya menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam, yang mendapat sambutan luas di Aljazair, Ghinia dan Jawa. Sedangkan di Mesir, tarekat yang banyak pengikutnya Tarekat Rifa’iyyah yang dibangun Sayyid Ahmad al-Rifa’i. Dan tempat ketiga diduduki tarekat ulama penyair kenamaan Parsi, Jalal al-Din al-Rumi (w. 672 H/1273 M). Beliau membuat tradisi baru dengan menggunakan alat-alat musik sebagai sarana zikir. Kemudian sistem ini berkembang terus dan meluas,” jelas Kiai Yafie.
Mantan Ketua MUI tahun 1990-2000 ini menambahkan bahwa pada umumnya Thariqah tersebut walaupun beragam namanya dan metodenya, tapi ada beberapa ciri yang menyamakan yaitu:
1. Ada upacara khusus ketika seseorang diterima menjadi penganut (murid). Adakalanya sebelum yang bersangkutan diterima menjadi penganut, dia harus terlebih dahulu menjalani masa persiapan yang berat.
2. Memakai pakaian khusus (sedikitnya ada tanda pengenal)
3. Menjalani riyadlah (latihan dasar) berkhalwat. Menyepi dan berkonsentrasi dengan shalat dan puasa selama beberapa hari (kadang-kadang sampai 40 hari).
4. Menekuni pembacaan dzikir tertentu (awrad) dalam waktu-waktu tertentu setiap hari, ada kalanya dengan alat-alat bantu seperti musik dan gerak badan yang dapat membina konsentrasi ingatan.
5. Mempercayai adanya kekuatan gaib/tenaga dalam pada mereka yang sudah terlatih, sehingga dapat berbuat hal-hal yang berlaku di luar kebiasaan.
6. Penghormatan dan penyerahan total kepada Syeikh atau pembantunya yang tidak bisa dibantah.
Selamat jalan, Prof. AG. KH. Ali Yafie (1 September 1926 – 25 Februari 2023) sosok Ulama Fikih/Hukum Islam, Profesor, Politikus, Hakim, Birokrat, Dosen, Akademisi, dan Sang Guru Bangsa. Kiprah, perjuangan, dan pemikiran Kiai sangat bermanfaat bagi umat Islam secara luas. Semoga Allah SWT mengampuni segala kesalahan dan membalas segala kebaikan dengan ganjaran Surga.
Editor: Warto’i