Seni sebagai Representasi Islam Rahmatan lil Alamin yang Masuk ke Nusantara

Seni bukanlah hal yang baru lagi di kalangan umat Islam. Sejak zaman Rasulullah, bahkan sebelum Rasulullah hadir, seni sudah memiliki strata yang tinggi di tengah-tengah bangsa Arab, khususnya seni sastra. Sehingga ketika dakwah Islam mulai berkembang, seni tetap memiliki marwahnya sendiri tanpa merusak nilai-nilai Islam yang di bawa sang Nabi Agung.
Tak hanya di kalangan bangsa Arab, seni menjadi daya pikat diterimanya Islam di Nusantara. Jika dilihat dalam jejak-jejak arkeologis, ada banyak akulturasi yang diciptakan oleh orang-orang terdahulu sebagai bukti adanya penerimaan dari bangsa pribumi terhadap masyarakat Islam pendatang. Secara logika, manusia melalui perilaku budayanya menyukai hal-hal yang dapat mengaktualisasi diri. Sehingga dengan adanya ‘sesuatu’ yang baru, manusia dapat membentuk, memanfaatkan dan mengubah hal-hal yang ia sukai sesuai kebutuhannya.
Di Nusantara sendiri, ada banyak ragam seni yang sudah lebih dahulu berbaur dengan masyarakat, seperti seni rupa, seni langgam, seni pertunjukan dan lain-lain sebagai produk kebudayaan dari berdirinya kerajaan Hindu-Budha yang sangat mendominasi pertumbuhan seni di Nusantara. Sehingga kedatangan Islam justru menambah keragaman seni yang sudah ada tanpa menghilangkan warisan terdahulu.
Di Sumatera misalnya, bertengger kerajaan Sriwijaya yang merupakan kerajaan Budha. Tentu saja dari peradaban ini lahir banyak bangunan dan arca yang menjadi visualisasi kedigdayaan kerajaan tersebut berdasarkan perspekrtif seni rupa, seperti pada kompleks Candi Muaro Jambi yang disebut sebagai candi terluas di Asia Tenggara dengan luas 3.981 hektar. Maka tidak heran ketika kerajaan Islam masuk ke wilayah tersebut, yang terjadi bukan mengubah secara total sebuah kebudayaan dan kesenian, melainkan hanya melakukan penyesuaian antara mana yang boleh dan yang tidak boleh diteruskan.
Dalam konteks seni rupa yang sudah bersinggungan dengan unsur Islam, ada beberapa karakteristik yang memperlihatkan perbedaan dari masing-masing ornament. Pertama, bentuk dasar Islam yang dimasuki pesan-pesan Islam dan dapat dikembangkan dengan variasi-variasi baru. Kedua, bentuk baru yang terbawa dari tradisi di luar kebudayaan yang bersangkutan dan telah ada lebih dulu dengan terikat pada pesan-pesan keislaman. Ketiga, bentuk-bentuk yang sama sekali baru yang tidak terikat pada salah satu tradisi tertentu.
Pada konteks lain, jika ditarik pada sumber aslinya, dasar penciptaan seni Islam sendiri adalah al-Quran. Pengaruh al-Quran melimpah pada banyak corak kesenian seperti pada seni sastra, sehingga muncul istilah majaz, bahar, qafi dan lain-lain. Kemudian dari kata-perkata ejaan Arab dalam al-Quran, lahirlah seni rupa yang diaktualisasi dalam seni kaligrafi dan bertransformasi menjadi ornament sajadah, mimbar masjid, dinding dan sebagainya. Adapula seni langgam yang memunculkan nagham bayati, nahawan, jiharkah dan lain-lain.
Masyarakat pecinta seni dengan latar belakang yang berbeda kemudian tanpa canggung membaur dengan kesenian Islam yang diolah sedemikian rupa. Sehingga tidak ada pembatas antara budaya lama dan budaya baru yang memisahkan antara orang Islam pendatang dengan penduduk lokal. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh pendakwah dalam menciptakan media-media baru untuk menarik perhatian masyarakat seperti keberadaan menara, pertunjukan wayang, berbagai kidung, yang masih bercorak kebudayaan lama, tetapi memuat ajaran Islam.