Qadhi Palestina: Tasawuf itu Mengikuti Syariat bukan Membuat Syariat

Artikel ini ditulis oleh Syekh Abdulhamid A.A. Hanini yang merupakan Dewan Hakim di Palestina

November 8, 2023 - 16:53
November 9, 2023 - 13:40
 0
Qadhi Palestina: Tasawuf itu Mengikuti Syariat bukan Membuat Syariat
Dokumentasi: World Sufi Assembly

Definisi Sufi Menurut Beberapa Ulama

Sufi adalah seseorang yang mengikuti jalan tasawuf. Yang paling terkenal tentang asal-usul istilah ini adalah bahwa dinamakan demikian karena dia lebih suka mengenakan pakaian suf untuk hidup sederhana.

Terdapat berbagai definisi dalam terminologi tentang tasawuf, dan salah satu yang paling terkenal Tasawuf adalah pengetahuan tentang prinsip-prinsip yang diturunkan dari perbaikan perbuatan, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi.

Ada yang mengatakan bahwa tasawuf adalah penyucian hati untuk Allah Yang Maha Tinggi dan merendahkan selain-Nya."

Juga ada yang mendefinisikan tasawuf sebagai "kebenaran dengan Allah, pembebasan dari keduniaan, dan perilaku baik dalam berhubungan dengan sesama manusia."

Namun definisi yang lebih komprehensif adalah definisi Ibn Khaldun,

"Berpegang teguh pada ibadah, berpaling kepada Allah Yang Maha Tinggi, menolak perhiasan dunia dan keindahannya, serta menjauh dari kenikmatan, kekayaan, dan kedudukan yang diterima oleh kebanyakan orang, dan berdiam diri dalam ibadah dengan sendirinya."

Mereka disebut Sufi atau Sufiyah karena kemurnian rahasia mereka dan kesucian jejak langkah mereka. Seorang Sufi adalah seseorang yang telah membersihkan hatinya untuk Allah, dan perilaku mereka mencerminkan ketulusan mereka kepada Allah. Sebagai hasilnya, mereka menerima kemuliaan dari Allah Yang Maha Mulia. Beberapa orang mengatakan bahwa dinamai Sufi karena mereka mendekat kepada Allah dengan semangat yang tinggi dan hati yang tulus kepada-Nya, mereka menghadap kepada-Nya dengan penuh cinta dan batin mereka berdiri di hadapan-Nya.

Ada yang berpendapat bahwa dinamakan Sufi karena kesamaan sifat mereka dengan sifat orang-orang yang dikenal sebagai "Ahl al-Suffah" yang hidup pada masa Rasulullah saw. Beberapa juga berpendapat bahwa mereka dinamai Sufi karena mereka mengenakan pakaian suf (pakaian dari wol). Namun, yang lebih menonjol adalah bahwa istilah "Sufi" menggambarkan kemurnian dalam hati, ibadah, akhlak, serta pengikutan mereka terhadap ajaran agama dengan semangat tinggi dan penolakan terhadap dunia, semuanya untuk mencapai kepuasan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sementara itu, Ilmu tasawuf sendiri adalah kumpulan prinsip yang dianut oleh para sufi dan tata krama yang mereka ikuti dalam kehidupan sehari-hari dan praktik-praktik kesendirian mereka.

Disebutkan oleh Imam Al-Sya’rani dalam kitabnya "Al-Anwar Al-Qudsiyah," hakikat ilmu tasawuf adalah melaksanakan ilmu dan hukum Islam dengan ikhlas dan kejujuran. Jika kita melihat para sufi awal yang mendirikan tasawuf, mereka semua adalah ulama yang mengajak kepada Allah melalui Al-Quran dan Sunnah. Karena itu, cahaya mereka bersinar dan warisan mereka tetap ada. Tasawuf sebenarnya adalah tentang belajar ilmu yang mulia, yang merupakan kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah, dan kemudian mengamalkan ilmu yang telah dipelajari. Hal ini dilakukan dengan usaha untuk mencapai kejujuran dan ikhlas dengan memohon pertolongan Allah, berpegang teguh pada zikir dan ibadah untuk membersihkan jiwa, membersihkan diri, dan menyembuhkan hati yang sakit. Tidak ada tasawuf tanpa ilmu, dan ilmu tidak bermanfaat tanpa amal. Siapa pun yang berbicara tentang tasawuf tanpa dasar ini, tidak memiliki hubungan apa pun dengan tasawuf.

Ibn Khaldun juga mengatakan dalam hakikat tasawuf,

"Ini adalah salah satu dari ilmu-ilmu agama yang berdasarkan pada zaman ini. Prinsip dasarnya adalah bahwa cara hidup mereka selalu ada sejak zaman Nabi dan para Sahabat hingga para Tabi’in. Cara hidup ini adalah cara hidup yang benar dan petunjuk. Dasarnya adalah berpegang teguh pada ibadah kepada Allah Yang Maha Tinggi, menolak hiasan dunia dan kemewahan, menjauhi kenikmatan, kekayaan, dan kedudukan yang diinginkan oleh kebanyakan orang, serta berdiam diri dalam ibadah dengan sendirinya. Ini adalah umum di antara para Sahabat dan generasi awal Islam. Namun, ketika orang-orang mulai cenderung kepada dunia pada abad kedua dan setelahnya, dan manusia mulai terlibat dengan dunia, orang-orang yang mendekat kepada ibadah secara khusus dikenal dengan sebutan sufi dan sufiyah.”

Banyak orang yang menghubungkan tasawuf dengan orang-orang yang zuhud (menolak kenikmatan dunia) dan beribadah. Mereka berzikir dan memuji Allah dan tidak terjerumus dalam bid'ah. Mengingat bahwa para sufi awal sangat membatasi pengetahuan mereka hanya pada Al-Quran dan Sunnah. Imam Junaid pernah berkata, "Ilmu kami berdasarkan pada Al-Quran dan Sunnah. Siapa yang tidak menghafal Al-Quran, tidak menulis hadis, dan tidak memahami fiqh, tidak pantas diikuti."

Imam Junaid juga pernah mengatakan, "Jalan menuju Allah Yang Maha Tinggi adalah tertutup bagi makhluk Allah, kecuali bagi mereka yang mengikuti jejak Rasulullah saw. dan mengikuti sunnahnya."

Abu Al-Husain Al-Nuri pernah mengatakan kepada beberapa sahabatnya,

"Jika Anda melihat seseorang mengklaim memiliki keadaan atau pengalaman dengan Allah yang melebihi batas pengetahuan syariah, jangan mendekatinya. Jika Anda melihat seseorang mengklaim keadaan yang tidak memiliki bukti yang jelas dan tidak ada bukti yang nyata menunjukkan kebenarannya, maka tuduhlah dia terhadap agamanya."

Dalam literatur tasawuf, Sahl al-Tustari menyatakan,

"Prinsip-prinsip kami adalah tujuh hal: Berpegang teguh pada Al-Quran, mengikuti sunnah Rasulullah, memakan rezeki yang halal, menjauhi yang merugikan, menghindari dosa, bertaubat, dan memenuhi kewajiban."

Dalam Risalah Al-Qushayri, disebutkan bahwa Al-Nasrabadzi berkata,

"Asal dari tasawuf adalah ketaatan kepada Al-Quran dan Sunnah, meninggalkan hawa nafsu dan bid'ah, menghormati hak-hak guru-guru spiritual, memahami kelemahan manusia, berpegang teguh pada ibadah-ibadah rutin, dan meninggalkan penggunaan kelonggaran dan penafsiran."

Imam Al-Ghazali mengatakan,

"Saya yakin bahwa sufi adalah orang-orang yang berjalan di jalan Allah dengan sungguh-sungguh, dan perjalanan mereka adalah yang terbaik. Cara mereka adalah yang paling benar, dan akhlak mereka adalah yang paling suci."

Ahlus Sufi Bukan Ahlul Bid’ah, Termasuk Ketika Menggunakan Tarian Selama Berzikir

Dalam kitab Al-I'tisam karya Asy-Syatibi tentang sufi, ia menyebutkan,

"Bab keempat adalah apa yang disebutkan dalam mengecam bid'ah dan pengikutnya dari kalangan sufi yang terkenal di kalangan masyarakat. Meskipun sudah banyak yang disampaikan dalam urusan tersebut, namun kami memutuskan untuk menyinggungnya di sini secara khusus, meskipun sudah cukup dengan apa yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini dilakukan karena banyak orang awam yang beranggapan bahwa sufi adalah orang-orang yang bersikap santai dalam mengikuti syariat, menciptakan ibadah-ibadah baru, dan mengikuti apa yang tidak ada dalam syariat, dan mereka percaya serta mengamalkan hal tersebut. Jauhlah dari mereka untuk berpikir demikian atau mengatakan hal tersebut. Yang pertama kali dibangun oleh sufi adalah mengikuti Al-Sunnah dan menjauhi segala sesuatu yang bertentangan dengannya."

Dia juga berkata dalam konteks lain, "Sufi yang dikaitkan dengan tarekat adalah sepakat dalam menghormati syariat, mematuhi Sunnah, dan tidak meninggalkan sedikit pun etiket-etiketnya. Mereka adalah orang-orang yang paling menjauhi bid'ah dan pengikutnya."

Mereka yang mengkritik sufi atas tarian dan gerakan selama zikir, menyatakan bahwa itu adalah bid'ah yang dilarang. Namun, bagi mereka yang memeriksa masalah ini dengan seksama, akan menemukan bahwa tidak ada dalil yang secara eksplisit melarang melompat dan bergerak selama zikir. Prinsip dasarnya adalah kebolehan, dan larangan memerlukan dalil yang menunjukkannya. Bahkan, ada bukti yang mengizinkan tarian dalam konteks zikir.

Dalam salah satu riwayat, Anas bin Malik mengatakan bahwa suku Habasyah (orang Ethiopia) menari dengan senjata di hadapan Rasulullah saw., dan mereka bernyanyi,

"Muhammad adalah seorang hamba yang saleh."

Rasulullah saw. bertanya, "Apa yang mereka katakan?" Mereka menjawab, "Mereka mengatakan bahwa Muhammad adalah seorang hamba yang saleh."

Poin penting dari hadis ini adalah pengakuan dan ketidakpenolakan dari Rasulullah saw. terhadap apa yang mereka lakukan, yang menunjukkan bahwa tarian untuk laki-laki di dalam masjid adalah diperbolehkan karena tarian hanyalah gerakan dalam posisi berdiri atau berjongkok.

Selain itu, ada riwayat lain yang melibatkan Abdullah bin Umar yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw., sambil berbicara di mimbar, terkadang bergerak ke kanan dan kiri sampai orang-orang mengira mimbar itu akan jatuh. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan tubuh yang berhubungan dengan dzikir adalah diperbolehkan.

Namun, penting untuk diingat bahwa praktik tarian dalam konteks zikir atau ibadah harus dilakukan dengan kekhusyukan, maksud baik, dan sesuai dengan norma-norma etika agama.

Dalam hadis ini, terdapat indikasi bahwa Rasulullah saw. berbicara di atas mimbar, memberikan nasehat kepada para sahabatnya, membaca Al-Quran kepada mereka, dan memberikan khutbah. Semua tindakan ini adalah bentuk ibadah yang jelas, dan menjadi bagian dari majelis-majelis zikir. Sementara beliau berbicara di atas mimbar, Rasulullah saw. membaca ayat-ayat Al-Quran sambil menggerakkan tangan kanan dan kiri serta sedikit bergerak. Gerakan ini sangat jelas hingga Abdullah bin Umar melihat mimbar di bawah kaki Rasulullah saw. bergerak, dan dia khawatir bahwa mimbar itu akan jatuh. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan tersebut diperbolehkan selama khutbah, zikir, atau membaca Al-Quran sebagai reaksi terhadap makna dan keagungannya.

Dalam buku "Kashf al-Qina" oleh Mansur al-Buhuti, seorang ulama dari mazhab Hanbali, disebutkan bahwa Ibrahim bin Abdullah al-Qalanisi mengatakan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal berkata tentang sufi, "Saya tidak tahu ada kelompok yang lebih baik dari mereka. Mereka mendengarkan dan meresapi. Biarkan mereka merasa sukacita bersama Allah sesaat."

Dalam Kitab Hasyiyah yang terkenal, "Radd al-Muhtar," Muhammad Amin Abidin mengutip kata-kata berikut, sebagai tanggapan terhadap pernyataan dari An-Nahrawi Ibn Kamal Pasha:

ما في التواجد إن حققت من حرج       ولا التمايل إن أخلصت من بأس

فقمت تسعى على رجل وحق لمن       دعاه مولاه أن يسعى على الراس

"Tidak ada kesulitan dalam tawajjuh (kemantapan) jika kau mencapainya, dan tidak ada goncangan jika kau benar-benar tulus dalam kebaikan. Maka bangkitlah dan berusaha sekuat tenaga, karena hak bagi mereka yang Allah panggil untuk berusaha adalah untuk berusaha sampai selesai."

Ini adalah tanggapan yang menegaskan pentingnya tekad dan dedikasi dalam mencapai kemantapan dalam ibadah, serta keberanian untuk berjuang dengan sungguh-sungguh dalam mengejar kebaikan sesuai dengan panggilan Tuhan.

Imam al-Hafiz Ibn Hajar al-Haytami dalam bukunya, "al-Fatawa al-Haditsiyya" menjawab pertanyaan tentang tarian sufi selama zikir dengan mengatakan,

"Ya, tarian tersebut memiliki dasar, karena telah diriwayatkan dalam hadis bahwa Ja'far bin Abi Talib ra. menari di depan Rasulullah saw. ketika beliau berkata kepadanya, 'Wajahmu sangat menyerupai wajahku dan karaktermu sangat menyerupai karakterku.' Hal ini disebabkan oleh kebahagiaan dalam percakapan, dan Rasulullah saw. tidak mengkritiknya."

Zikir Berjamaah Menurut Para Sufi dan Hikmahnya

Zikir secara bersama-sama tidak memiliki larangan yang didasari oleh dalil. Oleh karena itu, kegiatan ini termasuk dalam hal-hal yang diperbolehkan (mubah). Dalam sebuah fatwa dari Dar al-Ifta al-Urdun (Nomor 3564, tanggal 23 Maret 2020) dijelaskan bahwa zikir dan doa adalah salah satu ibadah terbesar dan cara seorang hamba menyatakan ibadahnya kepada Allah Swt. Melalui zikir dan doa, seorang hamba mengumumkan ibadahnya kepada Allah dan mencari mendekatkan diri kepada-Nya. Allah kemudian menghormati hamba-Nya dengan menyertai mereka, menjadi penolong mereka, dan mengabulkan doa mereka. Dalam Al-Qur'an Allah berfirman,

"Maka ingatlah kamu kepada-Ku, Aku akan ingat kepada kamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku" (Qs. Al-Baqarah: 152).

Dalam hadis, Rasulullah saw. juga mengajarkan bahwa Allah senantiasa bersama hamba-Nya ketika mereka menyebut-Nya.

Zikir dan doa secara berjamaah serta pengangkatan suara dalam zikir adalah dianjurkan. Banyak dalil yang menunjukkan hal ini, termasuk dalam Al-Qur'an ketika meminta zikir dan doa dalam bentuk jamak (bentuk jamak adalah penyebutan dalam jumlah lebih dari satu). Hadis Rasulullah saw. juga menganjurkan zikir dan doa secara berjamaah. Sebagai contoh, Rasulullah saw. bersabda,

يَقُولُ اللَّهُ: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَأٍ خَيْرٍ مِنْهُ )متفق عليه(

"Allah berfirman, 'Aku bersamaan dengan prasangka hamba-Ku, dan Aku bersamanya ketika dia menyebut-Ku dalam hatinya. Jika dia menyebut-Ku dalam suatu majelis, Aku akan menyebutnya dalam majelis yang lebih baik darinya.'"

Dan dalam hadis yang lain,

وعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ قَوْمٍ يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ )رواه الترمذي(

“Dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id Al-Khudri ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Tidak ada suatu kaum pun yang menyebut nama Allah kecuali para malaikat akan mengelilingi mereka, rahmat akan menaungi mereka, ketenangan akan turun kepada mereka, dan Allah akan menyebut mereka di antara para malaikat yang berada di sisi-Nya." (HR. At-Tirmidzi)

Dengan demikian, zikir berjamaah seringkali melibatkan pengangkatan suara.

Tidak ada dalil yang menunjukkan larangan melakukan zikir dan doa secara berjamaah, serta tidak ada kontradiksi antara praktik zikir berjamaah dengan zikir pribadi. Sebagai contoh, terdapat sebuah hadis yang diriwayatkan dari Ibn Abbas yang menyatakan bahwa ketika sekelompok orang berkumpul di salah satu rumah Allah untuk membaca Al-Qur'an dan mempelajarinya bersama, maka ketenangan (sakinah) akan turun kepada mereka, rahmat akan meliputi mereka, malaikat akan mengelilingi mereka, dan Allah akan menyebut mereka di hadapan-Nya.

Oleh karena itu, melakukan zikir dan doa secara pribadi atau berjamaah, serta dengan pengangkatan suara atau secara diam-diam, semuanya bisa menjadi sunah tergantung pada situasi dan individu yang melakukannya. Tidak ada masalah dalam melakukannya dengan berbagai cara.

Selain itu, ada zikir dan doa tertentu yang memiliki manfaat khusus. Contohnya, doa yang diajarkan oleh Rasulullah saw. untuk meminta perlindungan dari penyakit seperti kusta, kegilaan, dan penyakit kulit. Ini menunjukkan bahwa zikir dan doa memiliki manfaat tertentu dalam menghadapi permasalahan kesehatan.

Adapun istighfar (memohon ampunan), doa, dan puasa dilakukan bersama-sama adalah dalam rangka kerjasama untuk kebaikan dan ketakwaan. Allah Swt. berfirman,

"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran." (Qs. Al-Ma'idah: 2).

Tindakan ini tidak dianggap sebagai bid'ah (inovasi dalam agama) karena bid'ah adalah segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak memiliki dasar dalam syariat Islam, sementara pertemuan dan kerjasama ini adalah sarana untuk kebaikan dan bukan ibadah yang dikehendaki untuk dirinya sendiri.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafiz Ibn Rajab al-Hanbali,

"Bid'ah adalah apa yang diada-adakan dalam agama yang tidak memiliki dasar dalam syariat dan tidak ada indikasi syar'i yang menunjukkan padanya. Sedangkan apa yang memiliki dasar dalam syariat, maka itu bukanlah bid'ah menurut syariat, walaupun mungkin disebut sebagai bid'ah dalam bahasa." (Jami' al-'Ulum wal-Hikam). Wallau a’lam.

Celaan Ahlus Sufi Kepada Ahlul Bid’ah

Para Imam dalam aliran Sufi mematuhi Al-Quran dan Sunnah serta mewaspadai bid'ah dan orang-orang yang mengada-adakan ajaran baru dalam agama. Sebagian besar ajaran Sufi memiliki dasar dalam Islam yang kokoh.

Imam as-Syathibi mengutip pemikiran Imam Sufi tentang kecaman bid'ah terhadap mereka dengan mengatakan, Jika Allah memperpanjang umur dan memberi pertolongan-Nya,  ia akan mencoba merangkum dalam pandangan golongan ini sebagai contoh yang bisa digunakan untuk memvalidasi jalan spiritual mereka yang sesuai dengan cara yang benar.

Ia mengingatkan bahwa para penyeleweng yang menganggap bid'ah yang dianut oleh kaum sufi sama sekali tanpa dasar syar'i dan tanpa pemahaman tentang tujuan yang seharusnya mereka capai. Akibatnya, pada zaman akhir ini, mereka terkadang berperilaku seolah-olah mereka memiliki hukum agama yang berbeda dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah saw.

Imam Fudhail bin Iyadh mengatakan, "Siapa saja yang duduk bersama pemimpin bid'ah, ia tidak akan memperoleh hikmah."

Yahya bin Mu'adz al-Razi berkata,

"Perbedaan di antara manusia kembali kepada tiga prinsip dasar, dan masing-masing dari mereka ada yang berlawanan. Barangsiapa yang meninggalkan salah satu dari prinsip tersebut, dia akan jatuh ke sisi yang berlawanan; Tauhid berlawanan dengan syirik, sunnah berlawanan dengan bid'ah, ketaatan berlawanan dengan maksiat."

Sementara itu, Abu Ali Hasan bin Ali aj-Jurjani ditanya, "Bagaimana jalan menuju Allah?" Dia menjawab, "Ada banyak jalan menuju Allah, tetapi yang paling jelas dan jauh dari keraguan adalah dengan mengikuti sunnah, baik dalam perkataan, perbuatan, tekad, ikrar, dan niat."

Kemudian dia ditanya, "Bagaimana jalan menuju sunnah?" Dia menjawab, "Dengan menjauhi bid'ah, mengikuti apa yang telah disepakati oleh para ulama Islam generasi pertama dan menjauhi majelis-majelis perdebatan dan orang-orangnya, serta memegang teguh jalan untuk mencontoh (pengikut sunnah)."

Abu Bakar al-Tirmidzi mengatakan, "Tidak ada yang mencapai kesempurnaan tekad kecuali orang-orang yang mencintai Allah, dan mereka mencapainya dengan mengikuti sunnah dan menjauhi bid'ah."

Abu Muhammad bin Abdul Wahhab al-Tsaqafi mengatakan, "Allah tidak menerima amal perbuatan kecuali yang sesuai (benar), dan yang sesuai hanya berasal dari yang ikhlas, dan yang ikhlas hanya berasal dari yang sesuai dengan Sunnah."

Abu Bakr bin Sa'dan, salah seorang pengikut Junaid, dan yang lainnya mengatakan, "Bertahan dengan Allah adalah menahan diri dari kelalaian, dosa, bid'ah, dan kesesatan."

Ahmad bin Abi al-Hawari mengatakan, "Siapa yang melakukan amalan tanpa mengikuti Sunnah, maka amalannya adalah batil."

Abu Utsman al-Jabiri mengatakan, "Bergaul dengan Allah Ta'ala melalui akhlak yang baik, mempertahankan keagungan dan pengawasan. Bergaul dengan Rasulullah saw.  melalui mengikuti Sunnah dan memahami ilmu pengetahuan yang tampak. Bergaul dengan wali-wali Allah melalui penghormatan dan pelayanan."

Abu al-Husain al-Nawawi mengatakan, "Jika Anda melihat seseorang yang mengklaim memiliki hubungan khusus dengan Allah yang menjadikannya keluar dari batasan ilmu syar'i, maka jangan mendekatinya."

Bundar bin al-Hussein mengatakan, "Bergaul dengan orang-orang yang menganut bid'ah akan menyebabkan seseorang berpaling dari kebenaran."

Imam as-Syathibi berkata, "Kami telah mendengar dari banyak ulama yang terkenal, termasuk sekitar empat puluh syekh, semuanya menegaskan atau mengungkapkan bahwa bid'ah adalah kesesatan, berjalan di atasnya adalah kebingungan, menggunakannya adalah menyimpang dalam kerancuan, dan bertentangan dengan usaha mencari keselamatan. Orang yang mengikutinya tidak terlindungi, dia menyerahkan dirinya sendiri, dikecualikan dari mencapai hikmah, dan para sufi yang terkait dengan tarekat itu sepakat dalam menghormati syariat, mematuhi sunnah, dan memelihara semua etikanya. Mereka menjauhkan diri dari bid'ah dan pengikut-pengikutnya."

Tulisan merupakan makalah dari Syekh Abdulhamid A.A. Hanini yang dipresentasikan dalam kegiatan World Sufi Assembly di Pekalongan, 2023

Editor: Khoirum Millatin