Prinsip Dasar Menjadi Salik Menurut Pandangan Ulama Tasawuf

September 20, 2023 - 05:40
Prinsip Dasar Menjadi Salik Menurut Pandangan Ulama Tasawuf

Prinsip yang harus dipegang para salik untuk menuju Allah perlu bersandar pada apa yang disampaikan oleh Syekh Abu Junaid al Baghdadi, bahwa seorang salik harus berpegang pada al-Quran, di mana al-Quran ini merupakan induk dari semua kitab.

Dari al-Quran, turun kitab-kitab yang mengurai ayat-ayat di dalamnya yang berisi persoalan tasawuf dan thariqah. Itulah kitab yang dikarang ulama tasawuf dan thariqat. Itulah yang disebut kitab-kitab yang mu’tabarah seperti Ihya Ulumuddin karya al-Ghazali, Al-Insan al Kamil karya Abdul Karim al Jilli, karya-karya Ibnu Arabi, yang semua sepakat merujuk pada al-Quran dan hadis. Sehingga apabila ada orang yang berargumentasi tentang tasawuf dan thariqah namun keluar dari al-Quran dan hadis, maka tidak boleh dijadikan pedoman.

Imam Junaid berkata,

كتابنا هذا “يعني: القرآن” سيد الكتب وأجمعها، وشريعتنا أوضح الشرائع وأدقها، وطريقتنا ”يعني: طريق أهل التصوف” مشيدة بالكتاب والسنة، فمن لم يقرأ القرآن ويحفظ السنة وبفهم معانيهما لا يصح الإقتداء به

“Kitab ini -maksudnya adalah al-Quran- adalah tuan dari kitab-kitab yang sudah terkumpul. Dan Syariat kami adalah syariat yang paling jelas dan dalam. Thariqah kami -maksudnya thariqah ahli tasawuf- dikokohkan oleh al-Quran dan sunnah. Barangsiapa yang tidak membaca al-Quran dan menjaga Sunnah serta tidak memahmi makna-maknanya, maka tidak boleh diikuti”

Maksudnya, dahulu syariat sejak zaman Nabi Muhammad saw, sahabat hingga orang-orang sufi adalah meliputi zahir dan batin. Dalam perkembangan zaman, kemudian terdistorsi bahwa syariat hanya sebatas fiqih. Sehingga seolah-olah jika seseorang shalat hanya berdasarkan fiqih, itu sudah cukup.

Jika dilihat dari aspek fiqih, orang yang melaksanakan shalat sejak diawali dengan berwudhu hingga diakhiri salam, meskipun lupa kepada Allah, maka tetap dihukumi sah.

Tapi secara esensi, ayat yang berbunyi,

اقم الصلاة لذكري = Dirikanlah shalat untuk mengingatku

Tidak bisa ditemukan esensinya dari perspektif fiqih, melainkan hanya dapat diimplementasikan melalui tasawuf yang dipraktikkan melalui pengamalan thariqah. Sehingga orang tersebut bisa merasakan nikmatnya khusyu’.

Selanjutnya, kalimat “وطريقتنا يعني: طريق أهل التصوف مشيدة بالكتاب والسنة “ yaitu senantiasa berpegang teguh kepada al-Quran dan hadis. Jadi jangan sampai ada orang bertasawuf, thariqah, lepas control dan keluar dari al-Quran dan hadis. Bagaimana jika keluar dari kedua pedoman tersebut? Maka turun levelnya menjadi ghairu mu’tabarah. Dan jika benar, maka potensi untuk menyimpang itu terbuka sekali.

Kemudian pada kalimat “فمن لم يقرأ القرآن ويحفظ السنة وبفهم معانيهما لا يصح الإقتداء به” adalah apabila ada orang yang mengajarkan tasawuf, namun tidak menjadikan al-Quran dan hadis sebagai sumber primer dan sekundernya, juga tidak memiliki sanad muttashil yaitu bertemu dengan guru yang dibimbing secara ruhani dan ilmu, zikir yang istiqamah, ia tidak boleh diikuti.

Dalam melihat fenomena thariqah ini bisa menjadi sebuah indikator. Kalau ada orang yang mengikuti thariqah mu’tabarah, dan tidak menyimpang dalam menjalani syariat, thariqah dan makrifat, yaitu  hanya menampilkan praktik syariah yang sudah meliputi zahir dan batin dan menyembunyikan praktik makrifat sebagai rahasia antara dirinya dengan Allah swt. maka yang diajarkan itu benar.

Sebaliknya, jika ada tokoh aliran spiritual yang menghebohkan, tetapi ketika dicek profilnya secara latar belakang pendidikannya ternyata tidak pernah punya guru, di sisi lain kemampuannya meragukan, sementara rujukannya teks arab, lalu bagaimana mungkin ia memperoleh makna yang terkandung di dalamnya. Fenomena semacam ini berpotensi mengajarkan hal-hal yang menyimpang. Dan jika diteliti kemungkinan masuk dalam katagori ghairu muktabarah.

Selanjutnya, Syekh Abdul Wahab as-Sya’roni mengatakan bahwa ciri-ciri thariqah mu’tabarah tampak pada kehadiran sosok mursyidnya. Apabila ada seseorang yang mengaku mursyid, tetapi ia cacat di dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya, secara ubudiyah tidak menunjukkan teladan, yang berpotensi menimbulkan penyimpangan-penyimpangan, maka oleh As-sya’roni diperintahkan untuk dijauhi.

Dari sinilah penting sekali bagi kita mengetahui mursyid yang memiliki sanad muttashil dan ajarannya tidak menyimpang dari Quran dan sunnah dan mengajarkan kitab mu’tabarah. Sehingga ketika praktiknya di masyarakat senantiasa membawa kedamaian baik untuk lingkungan, bangsa dan negara serta tidak menimbulkan keresahan dan masalah.

Disarikan dari penjelasan KH. Ali M. Abdillah, MA